al-Zastrouw*

Muhasabah Kebangsaan
(Catatan Perjalanan Ki Ageng Ganjur ke Hongkong #8)

Di negeri sekuler kapitalis Hongkong sama sekali tak pernah terdengar suara adzan di ruang publik. Selama beberapa hari di sana saya juga tidak menemukan massa bergerombol mengendarai sepeda motor sambil membawa bendera memenuhi jalan dengan suara knalpot yg bising hingga menggangu pengguna jalan lainnya untuk mendatangi pengajian. Selama puasa orang makan dan minum di sembarang tempat, warung buka tanpa ditutup dengan kain. Semua berjalan seperti hari2 biasa tanpa takut disweping atau dipersekusi kelompok pembela agama dengan tuduhan pelecehan agama dan tidak menghormati orang yang sedang beribadah.

Namun bukan berarti tidak ada orang yang beribadah. Meski tanpa suara adzan di publik, saat waktu shalat orang tetap saja berbondong2 ke masjid. Mereka tetap.menunaikan shalat sesuai waktunya, ada yang diawal waktu ada juga yang di akhir sesuai dengan kesempatan masing2. Yang puasa juga tetap biasa melihat warung buka tanpa penutup dan orang makan minum di sembarang tempat. Mereka tidak merasa terganggu atau tidak dihormati. Yang berpuasa bisa memahami yang berpuasa dengan cara lain.

Tidak hanya itu, ketika ummat Islam melaksanakan kegiatan keagamaan seperti pengajian, shalawatan dan perayaan hari besar Islam, masyarakat tidak keberatan bahkan cenderung cuek, sekalipun kegiatan tersebut dilakukan di ruang publik. Sebagaimana yang pernah penulis lihat saat kelompok majlis dzikir Riyadul Jannah menyekenggarakan kegiatan dzikir akbar di taman Causeway Bay. Juga informasi dari para TKI yang sering menyelenggarakan pengajian dan perayaan hari besar Islam; maulid, halal bi halal dan shalawatan di lapangan Victoria Park. Kedua tempat ini merupakan ruang publik, namun ummat Islam bisa menyelenggarakan kegiatan keagamaan secara aman dan terlindungi asal tidak menggangu ketertiban dan hak-hak orang lain.

Hal ini juga dirasakan oleh penulis saat mengisi acr tausiah dan konser religi Ki Ageng Ganjur di gedung Islamic Kasim Tuet Memorial College Chaiwan Hongkong. Meski tidak seheboh dan sebesat di Indonesia, namun kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar, aman dan sukses. Jamaah bisa mengikuti acr dengan penuh suka cita tanpa perasaan was-was dan takut dipersekusi.

Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari fenomena ini, pertama di negara sekuler kapitalis yang menjunjung tinggi kebebasan dan kelihatan tidak peduli pada agama ternyata justru bisa menumbuhkan spirit keberagamaan ummat Islam. Sikap ini tumbuh bukan karena banyaknya fasilitas dan perlindungan yang berlebihan, tetapi justru karena tingginya tantangan dan ketatnya kompetisi. Kebebasan individu, termasuk kebebasan beragama, yang dijamin oleh negara membuat ummat Islam merasa nyaman beragama, meskipun tidak bisa menuntut berlebihan.

Kedua, posisi sebagai minoritas justru membuat ummat Islam menjadi dewasa, kreatif dan bijak. Kenyataan hidup membuat mereka mandiri, mampu menentukan batas2 terjauh dalam mengekspresikan sikap keberagamaan dan beribadah. Mereka bisa menjaga ibadah hanya sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan dan ekspresi keimanan, bukan sebagai alat menunjukkan eksistensi diri dan kompok untuk mengeksklusi kelompok lain. Mereka bisa membedakan antara syiar dan unjuk kekuatan. Pendeknya, mereka mampu beragama secara beradab, yaitu beragama yang sesuai dengan keadaban publik.

Kondisi ini sama sekali berbeda dengan sikap sebagian ummat Islam di Indonesia yang cengeng dan Arogan. Sekit-sedikit minta dibela dan dilindungi, menuntut hak berlebih dengan sikap arogan karena merasa menjadi mayoritas. Atas nama agama, mereka merebut ruang publik seenaknya tanpa mempedulikan keoentingan orang lain yang merasa terganggu. Merasa bebas melakukan apa saja jika sudah membawa simbol agama apalagi jika sedang beribadah. Akibatnya ritual ibadah lebih terlihat sebagai ajang unjuk kekuatan yang menakutkan daripada ekspresi keimanan yang menyejukkan dan mententramkan publik. Jika ditertibkan akan dianggap melecehkan dan melawan agama (Islam).

Ketiga, Agama publik yang beradab yaitu sikap dan ekspresi beragama yang memperhatikan kepentingan piblik, ternyata justru bisa menciptakan ketentraman dan kedamaian tidak hanya bagi pemeluknya tetapi juga bagi publik. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin Hongkong. Meski tanpa hingar bingar simbol agama dan suara gaduh di ruang publik namun Islam tetap syiar dan eksis melalui berbagai aktivitas yang bermanfaat.

Dengan sikapnya yang bijak, dewasa dan penuh keadaban ini, umnat Islam tidak menjadi beban pemerintah karena bisa duduk setara dengan warga bangsa lainnya. Inilah yang membuat pemerintah bisa berkonsentrasi melaksanakan tugas membangun negara menciptakan kesejahtaraan rakyat. Pemerintah juga bisa bersikap tegas menegakkan hukum untuk melindungi kepentingan publik tanpa mendapat perlawanan dari rakyat karena dituduh melecehkan agama dan anti Islam.

Mungkin ummat Islam di Hongkong tidak mengerti dan memahami aspek esoterik dan eksoterik dari agama sebagaimana yang dikonsepkan oleh Olaf Schumann. Tapi secara praktis mereka telah menerap kedua aspek tersebut secara tepat dan akurat dalam kehidupan nyata sehari2.

Hasilnya, saat ini Hongkong menjadi destinasi wisata dunia, sekalipun tidak memiliki lokasi wisata yang eksotik dan menarik. Berdasarkan data pemerintah Hongkong, penduduk Hongkong sekitar 7,4 juta, namun turus yang datang ke Hongkong sekitar 65jt per tahun. Bandingkan dengan jumlah turis asing yang datang ke Indonesia yang berjumlah 15,81jt pd tahun 2018. Para turis yang datang ke Hongkong rata2 meikmati wisata belanja dan suasana yang aman dan nyaman.

Saya membayangkan jika sikap keberagamaan kaum Muslim Indonesia bisa sedewasa saudara mereka di Hongkong, maka pemerintah tidak akan terlalu banyak beban dan para turis akan lebih banyak yang datang ke Indonesia. Karena mereka merasa aman dan nyaman. Jika ini terwujud ummat Islam Indonesia akan menjadi teladan dan menjadi mercusuar dunia. Karena mampu mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan dalam lehidupan nyata.*** (Bersambung)

*Budayawan

Komentar