Judul diatas memang mengerikan, tapi memang begitulah kenyataan.
Begitu mudah laknat dan sumpah serapah terlontarkan kepada sesama, meski minim bukti dan klarifikasi, bahkan setitik informasi dari sumber yang masih disangsikan kredibilitasnya, ditelan mentah-mentah tanpa filter yang kemudian melahirkan sederet kata-kata sampah dan sumpah serapah.
Mari sejenak bertanya pada nurani:
“Sejahat apa orang yang kita benci?”,
“Sebiadab apa orang yang kita caci?”.
Apa dia sejahat Abu Lahab yang menyiksa para Sahabat? Apa dia sekeji peradaban jahiliyah yang mengubur anak mereka yang perempuan? atau dia sekufur Fira’un yang jumawa menyamakan dirinya dengan Pencipta?
Kepada Abu Lahabpun, Rasulullah mendoakan kebaikan untuknya saat beliau berdoa agar Islam dimenangkan dengan salah satu dari dua Umar.
Sekufur-kufurnya Fir’aun, Allah masih menyuruh dua NabiNya yang mulia; Musa dan Harun untuk berbicara pada Firaun dengan lemah lembut.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya:
“Apa kita sebaik Nabi Muhammad yang mulia sehingga dengan mudah mencaci sesama?”,
“Apa akhlak kita setara dengan Nabi Muhammad, sehingga dengan mudah melaknat?”,
“Apakah kita setaat Nabi Muhammad sehingga dengan mudah menuduh orang lain sesat?”.
Kalau orang yang kita benci, kita laknat dan sesatkan tidak selevel dengan Fir’aun atau Abu Jahal, dan kita sendiri tidak sebaik, setaat dan semulia Nabi Muhammad, Musa dan Harun, mari kita jaga setiap perbuatan dan perkataan, menghargai orang lain, menghargai perbedaan.
Bila kita punya banyak kesamaan, lantas kenapa hanya dengan satu dua perbedaan kita rusak makna persaudaraan?
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imran 3:105)