Qābil dan Hābil sama-sama mempersembahkan qurbān, tetapi berbeda substansi dan esensi.

Yūsuf dan Zulaikhā sama-sama berlomba lari menuju pintu, tetapi berbeda tujuannya.

Itulah sunnatullah, masih akan selalu ada orang-orang seperti Abu Bakar dan Abu Jahal, Musa dan Fir’aun, pembela kebenaran dan pemuja kealiman sebagai penguji keteguhan iman.

Masalahnya berada di barisan mana kita?

(#PhiloSufi2, 2020: 121)

Kisah Yusuf a.s. bukanlah roman cinta, bukan romantisme asmara yang sering didengungkan di banyak kajian-kajian remaja. Naifnya, ‘dongeng’ tersebut seolah menjadi salah satu lagu wajib saat menjelaskan romantisme percintaan yang direstui agama.

Kalau kita mencermati makna surat Yūsuf saat membacanya, akan kita temukan kisah dan hikmah dari kehidupan nabi Yūsuf. Salah satunya saat beliau dijebloskan dalam penjara atas kesalahan yang tidak pernah dibuatnya. Di sana ia bertemu narapidana yang kemudian memintanya menafsirkan mimpi mereka, karena mereka melihat nabi Yūsuf sebagai orang yang muḥsin “innā narāka min al-muḥsinīn” (QS Yūsuf: 36), sungguh kami melihatmu termasuk golongan para muīsinin (orang-orang yang berbuat baik)

Saat nabi Yūsuf keluar dari penjara karena laporan dari salah satu narapidana tentang akurasi tafsir mimpinya pada sang raja yang saat itu gundah atas mimpi yang ia alami. Yūsuf kemudian diangkat menjadi salah satu menteri Mesir kala itu. Dari penjara menuju istana, bertolak belakang dengan beberapa fenomena yang sering menghiasi portal berita negara kita, dari istana justru berakhir di penjara.

Saat panceklik tiba, sesuai isyarat mimpi sang Raja yang ditafsir oleh Yūsuf, saudara-saudaranya datang ke istana, menghadap padanya untuk meminta jatah gandum yang dibagikan oleh Negara. Adiknya yang bernama Benjamin ‘dituduh’ mencuri dan diminta menetap di istana sebagai jaminannya. Saudara-saudaranya memelas dan memohon untuk melepas adiknya dan mengganti denga salah satu dari mereka, saat itu mereka berkata kepada Yūsuf: “innī narīka min al-muīsinīn” (QS Yusuf: 78), sungguh kami melihatmu termasuk golongan para muīsinin (orang-orang yang berbuat baik).

Begitulah pribadi Yūsuf yang patut kita teladani. Menjadi muḥsin, menjadi orang baik dalam setiap kondisi; saat di penjara, maupun saat menjadi pejabat istana. Kebaikannya tidak berubah sedikitpun, kebaikannya selalu dirasakan oleh sekitarnya, apapun status dan posisinya. Nabi Yusuf menjadi muisinin saat dalam penjara, dan musinīn ketika menjadi penguasa. Menjadi orang baik dengan menebar kebaikan dimanapun berada.

Mari membaca al-Qur’ān sambil memahami dan menghayatinya, bukan tenggelam dalam cerita dongeng asmara yang samar landasannya. Mengambil teladan dan makna yang tersirat di dalamnya jauh lebih bermanfaat dan lebih dekat kepada perintah Allah; dan itulah kenapa Quran diturunkan. Daripada salah tingkah dan baper sambil menghayal kita adalah Yūsuf dan gebetan kita adalah Zulaikhā, atau sebaliknya.

Wallāhu alam

Komentar