Al-Zastrouw*

Muhasabah Kebangsaan
(Catatan Perjalanan Ki Ageng Ganjur di Hongkong #7)

Medan dakwah yang terbentang luas di komunitas migran muslim Hongkong ternyata tidak semua berjalan baik dan membawa hasil positif. Spirit keagamaan yang tinggi ternyata justru memancing timbulnya distorsi dakwah. Dalam konteks ini dakwah tidak saja menjadi media menyiaran agama dan penanaman etik religius di kalangan ummat Islam tetapi juga menjadi sarana kapitalisi agama melalui proses konversi antar kapital.

Sebagimana dijelaskan Bourdieu (1986) berbagai jenis kapital; sosial, kiltural, simbolik dan ekonomi, saling bisa dikonversi falam suatu ranah (field) melalui praktik sosial (Zastrouw, 2009). Berbagai kisah berikut ini mencerminkan terjadinya konversi kapital kultural dan kapital simbolik (agama) ke dalam kapital ekonomi (materi) yang dilakukan oleh beberapa oknum muballigh dan ustadz yang melakukan dakwah di Hongkong.

Kapital kultural yang saya makdud di sini merujuk pada pemikiran Bourdieu yaitu kompetensi dan pengetahuan kebudayaan tertentu yang dimiliki oleh seseorang (aktor) dan dibedakan secara khusus (2006; 58). Lawang menjelaskan kapital kultural Bourdieu ini sebagai keadaan yang berujud potensial yang dimiliki oleh seseorang yang berpotensi untuk diuangkan dan dipertukarkan dengan kapital lainnya (Robert Lawang, 2004, 16-18).

Cerita-cerita dari para TKI yang disampaikan secara bisik-bisik menunjukkan terjadinya praktik konversi kapital dari teori Bourdieu tersebut. Misalnya cerita tentang seorang Da’i yang menentukan tarif sangat tinggi dengan fasilitas tiket bisnis dan penginapan di Hotel berbintang. Jika fasilitas tersebut tidak dipenuhi maka sang ustadz tidak mau datang.

Ada lagi cerita sedih para pekerja migran di Hongkong terkait ulah oknum ustadz ini. Pernah suatu kali mereka mengundang penceramah yang namanya sudah populer karena sering tampil di TV. Sang ustadz datang dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Seluruh pembiayaan; tiket, hotel dan uang belanja dibebankan pada panitia.

Ada juga kisah seorang muballigh yang menuntut panitia untuk pindah hotel karena merasa hotel yang disediakan panitia tidak layak. Dengan terpaksa dan sabar panitia menuruti permintaan sang ustadz demi bisa mendengar tausiyahnya. Sambil berseloroh mereka bilang, beberapa ustadz datang dengan tas kecil kemudian pulang dengan membawa koper besar yang berisi penuh barang belanjaan. Yang menyedihkan, ketika panitia sudah menyediakan semua fasilitas; tiket, akomodasi, jemputan dan sebagainya tetapi sang ustadz batal datang hanya karena fasilitas yang diaediakan tidak sesuai kemauan sang ustadz. Hal seperti ini pernah dialami oleh panitia.

Dalam perspektif Beourdieu, kegiatan keagamaan (pengajian, shalawatan, ceramah) telah menjadi ranah pertukaran kapital. Di sini ummat Islam Hongkong yang mayoritas pekerja tidak sekedar menjadikan kegiatan keagamaan sebagai media memperkuat iman dan memperdalam ilmu agama. Ada berbagai kepentngan yang berkontestasi di ranah ini.

Selain kepentingan agama, di ranah ini juga ada kepentingan kanalisasi emosi bagi pekerja yang mengalami tekan batin dan menghadapi masalah, kepentingan melepas rindu terhadap kampung halaman karena di event ini mereka bisa ketemu teman sedaerah dan berbagi cerita serta berbagai kepentingan lain yang saling berkontestasi. Pendeknya, para migran yang menjadi jamaah ini adalah kaum yang rentan secara emosional. Mereka benar-benar membutuhkan bimbingan dan perlindungan.

Dalam kondisi demikian mereka sangat mudah dimanfaatkan. Mereka tidak segan mengeluarkan biaya berapapun untuk mendatangkan para ustadz demi keluasan batin. Dalam suasana emosi yang labil mereka mudah terbius dan hanyut oleh retorika sang usyadz. Kondisi inilah yang sering dimanfaatkan beberapa oknum ustadz untuk menarik keuntungan.

Dengan setengah curhat beberapa orang TKI bercerita tentang seorang pekerja yang rela membiayai seorang ustadz, bahkan rela menyerahkan dirinya pada ustadz idolanya. Tapi setelah berkorban diri dan materi yang cukup banyak ternyata dikhianati, sehingga dia kecewa dan membongkar kasus ini ke publik. Dan anehnya sang ustadz hanya menanggapinya secara dingin bahkan bersikap jumawa.

Inilah sepenggal kisah dari belantara kehidupan para pekerja di Hongkong. Kisah ini hanya merupakan residu dari kenyataan hidup yang beragam dan luas. Dan ini hanya setitik nila di lautan kehidupan. Banyak juga da’i dan ustadz yang tulus berdakwah membimbing para TKI di Hongkong. Bahkan ada yang datang dengan biaya sendiri. Banyak juga da’i yang menerima apa adanya fasilitas yang disiapkan oleh panitia. Mereka tidak menggunakan aji mumpung, tidak pasang tarif dan tidak menuntut honor tertentu.

Berbagai kisah ini menunjukkan bahaimana para oknum Ustadz yang memiliki kapital kultural; kemampuan berorasi dan penguasaan ilmu agama melakukan korversi ke dalam kapital ekonomi (materi). Proses konversi ini terjadi dengan memanfaatkan kondisi sosial para TKI yang membutuhkan bimbingan agama dan event-event keagamaan sebagai sarana kanalisasi emosi. Ada juga yang melakukan konversi dari kapital kultural ke dalam kapital sosial dalam bentuk deversifikasi dan penguatan jaringan sosial dengan para TKI dan jaringan lainnya di Hongkong.

Bebasnya kehidupan dan besarnya jumlah komunitas TKI di Hongkong memungkinkan segala sesuatu terjadi di sini. Dan ini merupakan medan penelitian yang menarik bagi para peneliti dan ilmuwan sosial humaniora. Ayo siapa mau memperdalam cerita ini dengan melakukan penelitian yang lebih serius? (Bersambung)

*Budayawan

Komentar