Tajul Muluk*
Aku ucapkan dengan suara lantang dan penuh percaya diri, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.
Berkali-kali ku ulang kalimat pernyataan itu, hingga entah sudah berapa kali tak mampu lagi ku hitung dan ku ingat kembali.
Hingga suatu saat, dalam sebuah perbincangan dengan kesunyian, kesendirian dan keheningan, aku ditegur oleh diriku. Bertanya, benar kah pernyataan dalam perkataanku itu? Benarkah aku menghamba pada Tuhanku? Atau jangan-jangan, itu sekedar omong kosong belaka yang tiada makna dan tak berguna.
Lidahku fasih, suaraku lantang, pengucapakanku jelas dan terang benderang. “Hanya kepada Engkau kami menyembah-menghamba, dan hanya kepada Engkau pula kami meminta pertolongan”.
Lalu, pada kenyataannya, ku sembah diriku sendiri. Ku puja dan ku sanjung diriku sendiri. Ku sucikan diriku sendiri, hingga tanpa ku sadari, ku tuhankan diriku sendiri.
Dalam teriak lantangku, “iyyaaka na’budu“, dalam hatiku, ada engkau yg lain selain Engkau. Saat lidah ku menyebut Engkau, di saat bersamaan, muncul engkau yang lain. Ku sembah dia meski tak serupa cara menyembahMu, ku patuhi meski ku balut agar tak sama seolah patuh kepadaMu.
Bahkan, ku anggap Engkau tak tahu apa yg sedang kubayangkan, apa yg sedang ku katakan, apa yang sedang ku lakukan.
Lalu ku menampak, seolah aku adalah hamba sejatiMu, seolah Engkau satu-satunya sesembahan yg kupatuhi. Padahal kenyataannya, banyak engkau yang lain jauh lebih ku patuhi dariMu.
Maka benar cara memperingatkanku. Menghamba kepadaMu bukan perkara mudah. Meski lidah sangat fasih dan lincah. Sebab itu, Engkau ajari kami mengucapkan dg kata “na’budu” bukan “a’budu” . Seolah Kau suruh kami menyadari lemahnya diri kami, meski kami ngotot menolak mengakui kelemahan itu. Seolah kau menyuruh kami untuk mengakui, bahwa menjadi hambaMu, tidak kuasa dilakukan sendiri. Butuh orang lain setidaknya agar saat aku lemah, masih ada orang lain yang kuat sehingga ia menguatkanku.
Sebab beratnya menghamba kepadaMu, kau suruh kami melapisi pernyataan “iyyaaka na’budu” dengan segera berucap “waiyyaaka nasta’iin”. Engkau buka mataku, jewer telingaku, agar mengakui kelemahan penghambaanku, ketidak tulusanku, ketidak sungguhanku, dengan meminta pertolongan dariMu.
Tapi, sejujurnya, aku tidak sungguh meminta kepadaMu. Meski mulutku berteriak “iyyaaka nasta’iin“, tapi aku sering tak merasa butuh pertolonganMu. Aku sering percaya diri, bisa selesaikan segala urusanku tanpa harus menunggu tolongMu.
Kadang pula, aku lebih percaya pada pertolongan selainMu; relasiku, popularitasku, harta-bendaku dan kuasaku.
Memang, mulutku tak mengatakan, tapi sikap dan tingkahku yg menyatakan.
Lalu, apa maksudku sering berkomat kamit merapal dua pernyataan itu,
“iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin“, jika hati, sikap dan laku ku, tak benar-benar ber-na’budu dan ber-nasta’iin.
Aku berbohong kepadaMu, dan parahnya lagi, aku berbohong pada diriku sendiri.
Ternyata, aku bukan lah diriku!
****
*Dosen Tasawuf Sekolah Tinggi Agama Islam Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta