Aulia Rosada*
Santri dan ngaji Quran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, seorang santri yang tidak mengaji Alquran maka akan dipertanyakan status ke-santri-annya. Kita dapat menjumpai di sudut-sudut pesantren, sayup-sayup suara mereka yang melantunkan ayat-ayat Alquran saling bersahut-sahutan. Beberapa diantaranya adalah membaca mushaf dengan tartil dan khidmat, sedangkan sebagian lainnya membaca berulang-ulang ayat demi ayat untuk menghafalkannya. Sesuai maghrib, mereka akan duduk berbaris rapi mengantri di hadapan kiai ataupun pengurus pesantren yang ditunjuk sebagai wakil atau badal kiai untuk menyetorkan bacaan dan hafalan mereka. Bacaan-bacaan tersebut akan disimak dan dievaluasi dengan teliti hingga sesuai dengan bacaan kiai atau badal yang jelas memiliki sanad bacaan yang kredibel.
Tradisi tersebut adalah tradisi luhur warisan Nabi SAW yang telah melewati proses transmisi dan transformasi panjang. Proses panjang yang melibatkan kedua bentuk dasar Alquran, yakni oral dan literal. Meski begitu, bentuk oral adalah bentuk dominan dalam pembentukan tradisi sima’an atau setoran hafalan tersebut. Bermula dari Alquran oral yang diperdengarkan oleh malaikat Jibril a.s. kepada Nabi SAW (w. 632 M), kemudian ditransmisikan pada para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan berlanjut hingga pada para ulama dan kiai di zaman kita. Proses transmisi tersebut, tradisi pra-skriptif muncul sebagai bentuk tradisi Alquran sebelum berbentuk mushaf. Berorientasi pada tajwid dan makharijul huruf diajarkan secara turun-temurun yang kemudian menunjukkan keteraturan dan sistematisasi bacaan yang dapat terjaga dengan sangat baik.
Tradisi yang muncul kemudian adalah tradisi eksploratif, yang mana transmisi Alquran mulai mempertimbangkan aspek kesenian dan keindahan bahasa. Hal tersebut sejatinya telah tampak sejak masa Islam awal (650 M) dan berkembang sebagaimana perkembangan Islam dengan karakter yang beraneka ragam. Orientasi tradisi ini bertumpu pada nagham, irama, lahjah, dsb. yang unik pada tiap wilayah. Sebut saja irama bacaan Alquran di Asia yang jelas berbeda dengan irama di wilayah Eropa. Perbedaan ini merupakan perbedaan yang niscaya, dimana pengajaran Alquran yang menyebar ke berbagai wilayah itu akan berdialog dan berinteraksi dengan seluruh aspek eksternal dan internal masyarakat. Karakteristik masyarakat tersebut kemudian membuat warna yang beragam pada Alquran.
Tradisi-tradisi Alquran, baik bersifat pra-skriptif dan eksploratif, berkembamg dan memunculkan tradisi pengajaran Alquran yang beragam. Sima’an dan setoran bacaan ataupun hafalan Alquran merupakan salah satu bentuk pengajaran Alquran tersebut. Transmisi yang terjadi itu, meski berhasil, tetap mengalami pergeseran bentuk yang memang sama sekali tidak mempengaruhi esensi Alquran. Pengajaran dengan basis hafalan yang diperdengarkan dari kiai atau guru pada santri atau murid kemudian bergeser menjadi pembacaan dan hafalan format mushaf Alquran. Kiai atau guru tersebut selain membacakan ayat Alquran juga menggunakan mushaf dengan format tertentu untuk menunjang pengajaran dan proses hafalan santri atau muridnya.
Pergeseran yang terjadi ini merupakan bentuk transformasi Alquran itu sendiri. Alquran oral yang diajarkan dengan basis hafalan bergeser pada bentuk mushafi yang literal sebagaimana sekarang. Hal ini dimulai secara resmi sejak terkodifikasinya Alquran menjadi Mushaf Utsmani pada zaman Khalifah Utsman ibn ‘Affan (w. 656 M). Mushaf tersebut dijadikan rujukan dalam penyalinan Alquran sebagai proses produksi massal. Pengajaran Alquran pada masa-masa selanjutkan kemudian menggunakannya sebagai rujukan kedua setelah hafalan para kiai dan guru Alquran di berbagai wilayah. Meski keberadaan mushaf ditujukan sebagai salah satu tolak ukur, ia tetap menciptakan warna dan karakteristik lokal pada masyarakat yang ditemuinya.
Transmisi dan transformasi Alquran yang panjang dan beragam tersebut menunjukkan keistimewaan Alquran itu sendiri. Tradisi-tradisi yang timbul kemudian juga menjadi wujud dialektika Alquran terhadap masyarakat sekitar. Simaa’an dan setoran bacaan ataupun hafalan Alquran tetap dilakukan berjuta santri maupun non-santri sebagai upaya memposisikan Alquran tersebut dekat dengan kehidupan mereka. Kedekatan dengan Alquran ini mereka harapkan mampu mengantarkannya pada petunjuk-petunjuk Ilahi yang menuntun pada berbagai kebaikan.
*Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Yogyakarta