Aly Mashar El Maturidy*
Hurmat dan Ta’dhim Kunci Ilmu Manfaat
Susana tampak hening. Hanya suara para santri nglalar nadhoman sesekali menyapa telinga. Entah, itu nadhom al-fiyah, al’Imrithi, atau ‘Aqidatul ‘Awam. Suara mereka hanya terdengar sayup-sayup tidak jelas, timbul tenggelam mengikuti ritme hembusan angin yang keluar-masuk melalui jendela. Nampaknya, dua jendela di kanan-kiri pintu masuk ruang tamu itu secara sengaja dibuka oleh sang empunya rumah guna memberikan jalan masuk udara dan cahaya. Tak heran, kendati tidak ada kipas atau lampu yang nampak menyala ruangan itu tetap sejuk dan terang.
Setelah mempersilahkan Hakim duduk, Mbah Kyai masuk ke dalam ruang keluarga. Entah apa yang dilakukan oleh Mbah Kyai di dalam.
Sementara di ruang tamu Hakim sendirian. Ia tetap anteng pada posisinya semula, yaitu duduk bersimpuh, kedua tangan dilipat di atas kedua paha, dan kepala menunduk. Sesekali, guna mengisi keheningan ia sedikit mengangkat kepala dan mengarahkan pandangannya ke beberapa sudut ruang tamu. Bagi Hakim, sebetulnya ruangan itu tidaklah asing. Bahkan, ia hafal betul tentang apa saja yang ada di dalamnya dan dimana posisi mereka. Hal ini disebabkan selain karena ia hampir tidak pernah absen mengikuti pengajian pasaran tiap ba’da ‘ashar yang dibacakan langsung oleh Mbah Kyai di ruangan itu, juga karena posisinya sebagai seorang khodim ndalem. Hampir tiap hari ia dan beberapa teman khodim lain membersihkannya. Hal ini bisa saja terjadi 1 kali atau lebih dalam sehari, terutama pada saat musim sowan, yaitu saat Hari Raya atau Harlah Akhirussanah.
“Kim, Kamu sudah Sholat belum?” tanya Mbah Kyai.
“De…de..dereng Mbah Kyai” jawab Hakim sedikit terpatah-patah karena kaget.
“Kalau begitu, sana Jama’ah dengan Bangkit di dalam !” perintah Mbah Kyai.
“Inggih” jawab Hakim singkat.
Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul 14.00 Wib. Hakim yang sedari pukul 11.00 Wib sudah menunggu di teras ndalem dan dipersilahkan Mbah Kyai masuk pukul 13.30 Wib., menjadikan ia belum melaksanakan Sholat Dhuhur. Hal ini kemungkinan telah diketahui oleh Mbah Kyai, sehingga beliau menanyakannya.
Memang, seperti itulah salah satu akhlak tuan rumah kepada tamu yang bertamu ketika waktu sholat akan habis atau jika dilanjutkan perbincangan waktu sholat habis.
Apalagi jika tuan rumah mengetahui bahwa tamu tersebut belum melaksanakan sholat karena menunggu dipersilahkan. Sebelum sang tamu meminta izin untuk nunut sholat, tuan rumah seyogyanya mendahului dalam menawarkannya.
Setelah menjawab, Hakim dengan posisi jengkeng sedikit merangkak segera bergeser menuju ruang Sholat ndalem sebagaimana yang diperintahkan Mbah Kyai. Adalah lazim dalam tradisi pesantren, ketika santri ingin pergi dan berada di hadapan Kyainya yang dalam posisi duduk berjalan jengkeng sedikit merangkak seperti posisi atelit lari pada persiapan tolak. Lazimnya, santri berjalan dengan model ini kurang lebih 3 atau 5 langkang dari posisi Kyai, setelah itu ia akan berubah posisi jalan dengan cara membungkukkan badan seperti orang rukuk dengan posisi tangan kanan dijulurkan lurus ke bawah dan tangan kiri ditekuk menempel di dada.
Akhlak ini dilakukan para santri dengan penuh ketulusan untuk menghormati dan ta’dhim kepada orang yang telah mendidik serta menunjukkan jalan terang yang diridlai Allah Swt. Hasil akhir yang didambakan para santri dari akhlak ini adalah mahabbah dan ridla sang Kyai, yang kemudian berharap ilmu yang mereka dapatkan bisa manfaat dan barokah. Para santri faham betul tentang apa yang diajarkan dalam kitab-kitab akhlak seperti Kitab Ta’lim Muta’allim. Di dalamnya dijelaskan bahwa “ilmu manfaat tidak akan didapatkan seorang murid dengan tanpa adanya penghormatan dan ta’dhim kepada ilmu dan gurunya”.
Hakim langsung menuju ruang Sholat ndalem. Ia tidak menuju tempat wudlu untuk berwudlu. Wudlu Hakim masih belum batal. Bahkan, Hakim merupakan salah santri yang telah lama mengamalkan da’imul wudlu. Salah satu amalan yang dianjurkan oleh agama dengan cara melanggengkan wudlu atau menjaga diri tetap dalam posisi suci dari hadast setiap waktu. Jika wudlunya batal, ia harus segera berwudlu guna memperbaharuhinya.
Betul dawuh Mbah Kyai, sesampai di ruang Sholat ndalem, Gus Bangkit sudah menunggunya. Gus Bangkit adalah putra pertama Mbah Kyai. Ia berusia tujuh tahun. Hakim tahu persis usianya, sebab ketika Gus Bangkit lahir Hakim sudah menjadi khodim ndalem, dan bahkan ia sempat diminta Mbah Kyai untuk momong Gus Bangkit diwaktu masih kecil.
“Kang Hakim, monggo Jenengan jadi imamnya” suruh Gus Bangkit kepada Hakim.
“Mboten Gus, Panjenengan mawon”
Dengan posisi badan sedikit membungkuk, wajah mengarah ke depan, tangan kiri ditekuk menempel dada, dan tangan kanan dengan jemari tergenggam kecuali ibu jari sedikit membengkok dijulurkan ke depan, dengan penuh ta’dhim Hakim menimpali dan mempersilahkan balik kepada Gus Bangkit.
“Mboten Kang Hakim, tadi Abah ngendiko Jenengan yang lebih pantas menjadi imam” Gus Bangkit menjelaskan.
“O…Inggih Gus” jawab Hakim.
Hakim tidak bisa menolak permintaan Gus Bangkit. Entah, apakah hal itu betul karena atas perintah Mbah Kyai atau sebetulnya hanya alasan Gus Bangkit supaya Hakim mau menjadi imam sholatnya. Sebab, kendatipun ia masih berusia tujuh tahun, sikap tawadlu’ Gus Bangkit sudah sangat terkenal di kalangan santri. Bagi Hakim, entah itu betul perintah Mbah Kyai atau bukan, jika sudah dikatakan sebagai perintah dari Mbah Kyai, ia akan mematuhinya. Apalagi yang bilang adalah putra Mbah Kyai, salah satu orang yang juga wajib dihormatinya.
Selain itu, Hakim teringat penjelasan Mbah Kyai ketika ngaji pasaran Kitab Safinatun Naja karya Syekh Nawawi al-Bantani pada bulan Ramadlan tahun lalu. Ketika sampai pada materi syuruth al-qudwah (syarat-syarat bermakmum), Mbah Kyai memulai dengan penjelasan tentang pemilihan imam dalam sholat. Penjelasan Mbah Kyai itu tidak ada dalam Kitab Safinah, namun beliau ambil dari kitab-kitab besar lain.
Ada beberapa kitab dan hadis yang disitir Mbah Kyai, diantara kitab yang disebutkan ialah Kitab Fiqhu as-Sunnah karya Sayid Sabiq. Ketika ada penjelasan tambahan seperti ini, Hakim selalu menuliskan poin-poinnya di ruang-ruang kosong di halaman pinggir kitab. Ketika itu, Mbah Kyai menjelaskan bahwa orang yang pertama berhak dijadikan imam sholat adalah orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya.
Jika ada beberapa orang yang bacaan al-Qur’annya sama-sama baik, maka dipilih orang yang ilmu agamanya paling baik. Jika sama-sama baik dalam bacaan dan kealimannya, maka dipilih orang yang paling awal datang atau menetap di situ (jika dalam konteks bertamu, maka didahulukan tuan rumahnya). Jika sama-sama dalam ketiganya, maka dipilih orang yang paling tua usianya. Mungkin Mbah Kyai atau Gus Bangkit memandang Hakim lebih baik dalam bacaan al-Qur’annya atau lebih alim dibandingkan Gus Bangkit, sehingga Hakim diminta untuk menjadi imamnya.
“Masyaallah.! Astaghfirullahal ‘Adzim, Astaghfirullahal ‘Adzim, Astaghfirullahal ‘Adzi…m!”
Teriak Hakim dalam hati. Ia tersadar bahwa ia telah jatuh dalam dosa besar. Ia telah tersusupi rasa ‘ujub (membanggakan diri), salah satu sifat jelek yang lebih halus dibanding riya’ (pamer) dan dimasukkan sebagai salah satu bentuk kesyirikan. Hakim terus menjerit dalam hati meminta ampun. Saking kuatnya penyesalan Hakim, dengan tanpa sadar kepala Hakim menggeleng-nggeleng, tubuhnya menegang, dan lafadz istighfar itu keluar lirih dari kedua bibirnya.
“Ada apa Kang Hakim..?!” tanya Gus Bangkit.
“Mboten nopo-nopo Gus” dengan sedikit kaget Hakim menimpali.
“Monggo dipun milai Gus sholatipun” lanjut Hakim.
“Usholli Fardladh Dhuhri Arba’a Raka’atim Mustaqbilal Qiblati Ada’an Imamal Lillahi Ta’ala…. Allaaaahu Akbar” Hakim memulai Shalatnya.
“Allaaaahu Akbar” Gus Bangkit mengikuti.
Gus Bangkit terus mengikuti gerakan demi gerakan Hakim selaku imamnya hingga selesai.
“Assalamu’alaikum Warahmatulla…h, Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh”
Seusai salam, Hakim dan Gus Bangkit bersalaman kemudian melanjutkannya dengan dzikir ba’da shalatil maktubah secara berjama’ah. Karena dalam posisi bertamu, Hakim mengambil dzikir yang singkat, yaitu: dzikir astaghfirullahal ‘adhim allazi… 3x, dzikir la ilaha illah wahdahu la syarikalah … 3x, do’a allahumma antas salam… 1x, tahlil 11 x, dan kemudian menutupnya dengan do’a.
Setelah itu, Hakim tidak langsung meninggalkan ruangan. Ia meluangkan waktu sejenak untuk merapikan sajadah dengan cara melipatnya, sisi atas sajadah berada di posisi dalam sedangkan sisi dasar sajadah berada di posisi luar. Cara ini dulu yang diajarkan Mbah Kyai kepadanya. Ngendiko Mbah Kyai, hal ini dilakukan guna menjaga kesucian sisi sajadah yang digunakan untuk shalat. Masuk akal memang, jika selesai shalat sajadah dibiarkan tergelar begitu saja, besar kemungkinan najis akan mengenainya, misalnya kotoran cicak. Karena Gus Bangkit masih melanjutkan aurad-nya, Hakim hanya merapikan sajadah yang tadi ia gunakan. Setelah menaruhnya pada posisi dimana sajadah tadi diletakkan, Hakim memohon izin Gus Bangkit untuk meninggalkan ruangan.
Dengan cara jengkeng sedikit merangkak sekitar 5 langkah dan melanjutkannya dengan posisi badan sedikit membungkuk serta kepala menghadap ke bawah, Hakim secara perlahan berjalan menuju ruang tamu guna menemui Mbah Kyai.
Bersambung …