Waktu sudah menunjukkan hampir jam 00.00 dini hari. Telp istri saya berbunyi. Ternyata dari Gus Muwafiq; “Gimana dik, jadi ke rumah?” Demikian istri saya bertanya, pada Gus Muwafiq yang ada di ujung telpon.
Sore itu kami memang bermaksud silaturrahim ke rumahnya, karena kebetulan kami sedang berada di Yogya. Tapi dia bilang lagi sibuk nanti dikabari setelah selesai acara. Kami memahami kesibukannya sehingga menunggu kami saja kabar darinya.
Sampe akhirnya beliau telpon ke istri dan bilang; “Biar aku saja yang sowan ke tempat sampean Mpok (demikian dia biasa panggil istri saya) supaya bisa ngobrol lebih santai, kalo di rumahku kita gak bisa pisuh-pisuhan karena banyak tamu”.
Semula aku mengira ini pernyataan basa-basi yunior kepada senior. Mengingat kesibukannya yang luar biasa, mau nolak tidak enak maka dia bilang saja mau datang ke rumah. Saya sendiri sdh merasa terhormat dengan jawaban seperti itu.
Kami sudah melupakan janji yang kami anggap basa basi tersebut. Tapi menjelang jam 00.00 dini hari, setelah ada telpon masuk, istri mengarahkan jalan menuju rumah, tiba-tiba masuk mobil putih di halaman rumah tempat kami menginap (rumah kakak di dekat Pesantren Pandanaran di jl. Kaliurang). Kami terkejut setelah tahu penumpang yang turun dari mobil tersebut adalah Gus Muwafiq bersama istrinya. Ya dia hanya datang bersama istrinya, berdua saja.
Akhirnya jadilah kita benar-bener ngobrol santai berempat sampai dini hari. Mulai mengenang nostalgia saat jadi aktifis jalanan, hasil sowan ke para masayikh dan habaib, sampai membahas situasi masyarakat yang mulai kehilangan ruang bahagia kerena direbut oleh para makelar agama.
Dalam perbincangan yang sangat santai dan penuh canda itu, kami saling menceritakan pengalaman masing-masing sambil mengungkap masa lalu waktu kami dikejar-kejar aparat karena demonstrasi melawan Orba.
GM bercerita soal suka duka menjadi penceramah yang dianggap menebar bid’ah dan melakukan kultus saat menjelaskan berbagai tradisi Islam sebagai sarana mencintai Nabi. Namun, ia dituduh menista Nabi saat menjelaskan sejarah Nabi dengan bahasa dan logika rakyat. Sebagai pengamen, saya bercerita tentang betapa enjoy dan bahagia kumpul dengan anak-anak jalanan, para musisi, budayawan dan seniman. Meski ruang kreasi mereka sudah direbut oleh para makelar agama karena selalu diancam dengan “mantra” penista agama yang bisa membuat orang celaka dan hancur keriernya, namun mereka selalu memiliki celah untuk bercanda agar tetap bisa bahagia.
Dari cerita Gus Muwafiq, terbayang betapa sulitnya berbuat kebaikan dan menebar kebahagiaan di tengah masyarakat yang sensitif karena belenggu curiga dan monopoli kebenaran.
Suasana malam itu benar-benar mengingatkan kami pada tradisi silaturrahmi yang dilakukan oleh para kiai sepuh. Mereka selalu memiliki kesempatan dan meluangkan waktu bersilaturrahmi di tengah kesibukan masing-masing. Suasana yang akrab dan dekat untuk berbagi ilmu, mengasah ketajaman batin dan kepekaan nurani.
Dalam suasana seperti ini biasanya para kiai benar-benar dalam keadaan “telanjang sosial”. Artinya mereka benar-benar melepas seluruh attibut sosial yang penuh privelese yang disematkan oleh masyarakat kepada mereka. Dengan demikian mereka bisa tertawa lepas dan bebas. Saling ledek dengan penuh suka cita.
Saya pernah melihat dan merasakan kehangatan seperti saat nderek Gus Dur keliling mengetuk pintu rumah kiai saat dini hari untuk bersilaturrahmi. Dan malam itu saya merasakan seolah kembali pada suasana beberapa puluh tahun silam. Malam itu kita sudah tidak lagi menjadi penderek kyai, tapi justru menjadi pelaku atas apa yang pernah dilakukan para kiai sepuh.
Demikianlah adab dan akhlak. Selalu menjaga silaturrahmi dan ta’zim pada senior meski sudah jadi orang hebat dan terkenal. Terima kasih, Dik Yai Muwafiq yang telah menjaga tradisi silaturrahmi ala santri yang sudah semakin langka. Semoga tetap sabar, ikhlas dan istiqomah menjalankan amanah membina umat.*