Islamsantun.org Dalam banyak kajian teologis tentang Islam, syahadat dan salat adalah dua hal yang kerap dijadikan patokan utama dalam memancang pembatas tentang apa yang Islam dan apa yang bukan. Nabi Muhammad saw. –sebagaimana disebut dalam hadis Muslim— menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah “…hendaknya engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.”

Di kalangan muslim Sunni, jawaban nabi terhadap malaikat Jibril yang mendatangi beliau ketika tengah duduk bersama para sahabat di sebuah majlis tersebut kemudian disepakati sebagai “Rukun Islam” yang lima. Kesepakatan ini pula yang mendorong Syekh Salim bin Sumair untuk meletakkan pembahasan perihal Rukun Islam di bagian awal kitab karangannya yang sangat melegenda, yakni kita Safinah An-Naja (nama lengkap kitab ini adalah Safinatun Najah Fiima Yajibu ala Abdi li Maulah, yang artinya adalah ‘Perahu Keselamatan dalam Mempelajari Kewajiban Seorang Hamba Kepada Tuhannya’).

Di kitab itu, Syekh Salim menuliskan Rukun Islam dalam urutan yang sama seperti ucapan nabi, dimulai dengan membaca dua kalimat syahadat, menegakkan salat, berpuasa, memberikan zakat, dan menunaikan haji.

Khusus tentang dua rukun yang pertama, Al-Habib Ahmad bin Umar As-Syatiri dalam kitab Nail Ar-Roja menjelaskan bahwa dua kalimat syahadat tidak cukup diucapkan, tetapi harus diyakini dengan sepenuh hati lalu beri’tikad bahwa tidak ada zat yang wajib dan berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang diutus untuk manusia, jin, dan seluruh alam.

Rukun kedua, Iqamah As-sholat. Al-Habib Ahmad bin Umar As-Syatiri menekankan bahwa “Iqamah” berarti menegakkan, bukan sekadar melaksanakan; artinya, setiap muslim harus melaksanakan salat dengan sempurna, yakni secara terus menerus dengan terpenuhi rukun dan syaratnya, serta sebisa mungkin dengan sunnah dan anjuran-anjurannya. Ini berarti, salat tidak boleh dilakukan secara bolong-bolong; sekarang salat, besok tidak. Salat harus dilakukan secara terus menerus.

Nabi secara gamblang menyebut, “Salat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya, maka ia telah menegakkan agamanya dan barang siapa yang merobohkannya, berarti ia telah merobohkan agamanya”

Penjelasan serupa disampaikan pula oleh pengasuh kajian Majelis Malam Senin (MMS) Depok Ustaz Undang Hidayat, M.Si. dalam keterangannya usai membacakan kitab Safinah, mantan lurah ini menyebut bahwa syahadat harus pula diartikan sebagai kepasrahan untuk sepenuhnya mengakui bahwa Allah adalah tuhan maha segalanya, karenanya tidak ada zat yang berhak untuk dimintai pertolongan kecuali Allah; dan ini adalah konsekuensi dari menghamba kepada Allah.

“Jadi, kalau sudah syahadat, sudah percaya bahwa Tuhan kita adalah Allah Swt. maka hanya kepada-Nya kita minta pertolongan. Bukan ke yang lain, apalagi ke dukun. Bukan! tapi ke Allah Swt,” jelasnya.

Begitu pentingnya syahadat dan salat, tidak sedikit ulama yang menjadikan keduanya sebagai pembatas Islam. Seseorang baru bisa dikatakan sebagai umat Islam jika ia telah mendeklarasikan keimanannya dengan dua kalimat syahadat dan menegakkan salat. Karenanya, jika seseorang hanya mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi masih bersandar kepada selain Allah, ia belum bisa disebut sebagai umat Islam yang baik. Demikian pula jika seseorang mengaku Islam tetapi enggan melaksanakan salat, ia bukan saja tidak bisa disebut sebagai umat Islam, tetapi ia adalah orang yang disebut nabi sebagai golongan yang merobohkan agamanya.

 

*Ubaidillah, Ketua Majelis Malam Senin Depok, Jawa Barat.

Komentar