‘Tombo ati iku limo awernane
Kaping pisan, moco Qur’an sak maknane
Kaping pindho, sholat wengi lakonono
Kaping telu, dzikir wengi ingkang suwe
Kaping limo, wong kang sholeh kumpulono
Salah sawijine, sopo bisa anglakoni insyaAllah gusti pengeran ngijabahi’

Begitu kira-kira salah satu ajaran Sunan Bonang dalam syi’ir tombo ati (obat hati) yang populer di kalangan masyarakat Muslim Jawa bahkan Nasional semenjak dipopulerkan oleh penyanyi religi Opic.

Dalam sya’ir tersebut ada 5 hal yang harus dilakukan bagi seseorang untuk mengobati hati dari gundah gulana kehidupan ini. Kelima ajarannya yakni; Baca Qur’an dan Maknanya, Mengerjakan sholat malam, Berlama-lama melakukan dzikir malam, Berlapar-lapar (melakukan puasa), Berkumpul dengan orang-orang shalih. Meskipun sederhana dan enak untuk dilantunkan sebagai puji-pujian, rasanya penting untuk kita resapi maknanya, khususnya di saat-saat hiruk pikuk kontestasi pemilu ini.

Dalam syi’ir ini kita tidak diharuskan mengerjakannya semuanya, namun boleh memilih salah satu sesuai kemampuan. Tentunya, dapat dipahami jika salah satu saja dikerjakan dapat memberikan efek yang dahsyat, apalagi jika dikerjakan semuanya. Meskipun demikian, mengerjakan ajaran-ajaran di atas tidaklah mudah. Buktinya saat ini banyak dari masyarakat kita yang sering sekali gundah (baca: galau) terhadap persoalan-persoalan hidup, terlebih di era sosial media ini.

Jika dicermati, kelima ajaran tersebut mengandung makna yang tidak sederhana. Secara syariat, memuat ajaran hubungan manusia dengan Tuhan (hablu minallah) sekaligus ajaran hubungan sosial sesama manusia (hablu minannas). Di dalamnya ada ajaran untuk menggali petunjuk dengan membaca Al-Qur’an dan maknanya (kandungannya).

Memang secara teologis, membaca Al-Qur’an saja sudah mendapatkan pahala (kebaikan), namun tidak cukup. Sebagai kitab yang berfungsi memberi petunjuk (hudan), kita juga harus membaca maksud dan kandungannya.

Bagi masyarakat Indonesia, memahami kandungan Al-Qur’an bukan perkara mudah. Bahasa Al-Qur’an berbeda dengan bahasa sehari-hari kita. Selain itu, banyak kaidah lain yang dipersyaratkan dan dipenuhi. Maka kita perlu membuka penjelasan para ulama’ dalam kitab-kitab tafsir. Karena terjemahan Al-Qur’an saja sering kali belum memuat makna terdalam dari Al-Qur’an. Oleh karenanya, ilmu tafsir dengan kaidah-kaidahnya menjadi penting di sini.

Dari memahami membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an, muncul ajaran-ajaran lainnya seperti mendirikan sholat malam (wa min al-laili fatahajjat bihi nafinatan laka) yang tujuannya adalah an yab’atsaka maqaman mahmuda (ditempatkan oleh Allah di tempat yang terpuji), baik di dunia maupun di akhirat.

Sholat malam kemudian disambung dengan dzikir wengi ingkang suwe (berlama-lama dalam berdzikir). Ajaran ini juga merupakan ajaran Al-Qur’an, ala bi dzikrikllahi tathmainnul qulub (dengan mengingat Allah dapat menentramkan hati).

Selanjutnya, ada ajaran yang merupakan pra-syarat untuk dapat melakukan ketiga yakni weteng iro kudu luwe (berlapar-lapar/ perut yang lapar). Makna sempitnya adalah berpuasa sebagaimana umumnya. Namun makna luasnya adalah kita harus menjadi pribadi tidak suka ‘makan’. Ini sesuai ajaran Islam yakni qana’ah (nerimo), tidak serakah, rendah hati, ridho, dan sebagainya.

Mengapa lapar menjadi pra-syarat, karena orang yang suka makan (perutnya kenyang), -baik dalam makna sempit atau makna luas- biasanya sulit mengerjakan ajaran-ajaran tiga awal.

Terakhir, wong kang sholeh kumpulono (Berkumpullah dengan orang-orang shalih). Ajaran ini bisa dipahami sebagai syarat lainnya selain puasa. Jika puasa mengasah penguasaan hati, maka berkumpul dengan orang sholeh menjadi jalan untuk dapat memahami Al-Qur’an di majelis-majelis ilmu. Bergaul dengan orang sholeh tidak hanya dipahami dengan bertemu, namun juga membaca karya dan petuah para ulama’ dan para kyai. Dengan begitu, kita dapat menyerap ilmu dan ajaran mereka tentang berbagai hal. Karena untuk mengamalkan ajaran-ajaran di muka, kita membutuhkan petunjuk dan penjelasan dari para ‘alim dan ‘ulama’.

Akhirnya, kita dapat berkata bahwa meskipun kelimanya nampak merupakan ajaran yang berdeda-beda pelaksanaannya, namun sebenarnya saling terkait. Karena ajaran ini bukan perkara mudah, dan agar tidak menyulitkan, syi’ir ini ditutup dengan “salah sawijine, sopo bisa anglakoni insyaAllah gusti pengeran ngijabahi” (barang siapa bisa mengerjakan salah satunya saja, maka insyaallah, Tuhan Meridhoi).
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

*Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta

Komentar