Islamsantun.orgJujurly, sepanjang hidup saya cuma dua kali diwisuda. Tahun 2000 di Ciputat setamat S2 dari IAIN Jakarta dan 2008 juga di Ciputat setelah kelar S3 dari UIN Jakarta. Tamat S1 tahun 1996. Gak ada wisuda kala itu. Universitas Al-Azhar gak ngadain wisuda bagi lulusannya. Kalo sudah tamat kuliah, ya sudah tamat saja. Silakan urus ijazah, pulang ke Tanah Air, atau lanjut S2 jika minat dan lulus ujian masuk. Saya lulus S2 Al-Azhar jurusan Hadis. Tapinya gak diseriusi. Saat ada kesempatan jadi “kuli” haji tahun 1997, saya ambil kesempatan itu. Dari Saudi bablas pulang ke Ciamis sambil menggondol ijazah S1.

Balik ke wisuda. Sejak 2006 hingga 2022 ini saya gak pernah absen duduk di kursi senat untuk ikut mewisuda para sarjana, magister, bahkan belakangan doktor jebolan STAIN, lalu IAIN kemudian UIN Tulungagung. Hanya jabatannya saja yang berganti: 2006-2014 sebagai Ketua Jurusan Ushuluddin, 2014-2018 sebagai Dekan FUAD, dan 2018 – sekarang sebagai U know what lah!

Di UIN Tulungagung, sejak tahun kapan gitu, satu-tiga hari sebelum wisuda, setiap fakultas ngadain apa yang mereka sebut sebagai Yudisium. Orasi ilmiah dan pengumuman siapa saja lulusan terbaik di tingkat Prodi dan Fakultas digelar di acara Yudisium. Adapun di acara Wisuda lebih banyak dihelat acara yang mirip-mirip resepsi dalam pernikahan. Ibaratnya, Yudisium adalah akad nikah, sedang Wisuda adalah resepsi; pesta nikah!

Baik di Yudisium maupun di Wisuda, tampak wajah-wajah sumringah cerah-ceria dari para sarjana, magister, dan juga doktor. Alami belaka. Delapan semester waktu yang telah dilalui seorang sarjana dengan segala suka-dukanya, empat semester lama waktu yang sudah dijalani seorang magister dengan segala dinamikanya, dan lima-enam semester yang telah dilewati seorang doktor dengan segenap pahit-manisnya; semua itu mengantarkan mereka ke gerbang kebahagiaan yang tak seorang pun berhak menggugatnya. Biarkan mereka bersuka-cita, tak mengapa mereka mengumbar keceriaan dan gelak tawa. Perjuangan yang telah mereka tunaikan memantaskan mereka untuk mendapat kebahagiaan.

Tapi, terutama bagi para sarjana yang rata-ratanya belum bekerja, sepertinya kebahagiaan Yudisium dan Wisuda akan dirasa nggak terlalu lama. Beberapa hari ke depan mereka akan dicubit oleh kenyataan bahwa mereka adalah sarjana yang belum dapat pekerjaan. Saya gak sampai hati berkata mereka adalah pengangguran terdidik. Meski S1 saya dulu gak “disempurnakan” dengan wisuda, tapi kegalauan serta beban mental sebagai sarjana pengangguran saya alami dan rasakan pula. Terlebih, di keluarga bahkan di kampung kala itu, hanya saya yang menyandang predikat sarjana. Entah sungguhan ataukah sindiran, sepulang dari Mesir ada bapak-bapak di kampung bertanya, kalau lulusan Mesir itu nanti jadi Menteri Agama ya? Aya-aya wae!!

Sarjana anyaran belum dapat kerjaan bukanlah cela. Atau nanti dapat kerjaan yang “genre”-nya gak linier dengan bidang ilmu kesarjanaannya, itu juga bukan kecelakaan. Sarajana apa pun; pendidikan, hukum, agama, ekonomi, dan seterusnya, menurut saya, mereka sama: sama-sama sarjana. Menjadi sarjana, bagi saya, adalah menjadi dewasa. Dewasa menghadapi dan menyikapi kenyataan; dewasa mengelola tantangan menjadi peluang; dewasa mengelola dan memacu diri jika nanti ternyata mendapat kerjaan yang gak sesuai dengan bidang ilmu yang tertera dalam ijazah.

Penting diingat juga, pada umumnya manusia terdapat kemampuan atau potensi untuk mampu beradaptasi. Kesarjanaan seseorang bisa menjadi modal kapital sekaligus modal sosial untuk mampu beradaptasi dengan “dunia” yang mungkin gak pernah kebayang kala duduk di bangku kuliah. Di tengah masyarakat, seorang sarjana akan lebih dilirik, “diperhitungkan” dan diharapkan ketimbang non-sarjana. Kesadaran akan hal itu dapat memantik potensi adaptasi membuncah jadi kekuatan untuk capaian-capaian sosial dan profesi yang setimpal dengan gelar sarjana.

Ujug-ujug benak saya melayang ke Ciputat saat pontang-panting, jungkir-balik, kepala tetap jadi kepala, kaki tetap jadi kaki, membiayai kuliah S2 di IAIN Jakarta kala itu. Waktu itu sempat terbersit jangan-jangan saya ini akan berkerja di bidang perbukuan, penerbitan, atau serupa itu. Tak lain lantaran saat itu, untuk menutupi biaya kuliah saya bekerja sebagai editor sekaligus penerjemah buku-buku berbahasa Arab di sebuah Penerbit di Jakarta. Nyatanya, kini saya bukan boss Penerbit, bukan Editor di sebuah Penerbit. Tapi pernahlah melahirkan tujuh buku terjemahan dari buku-buku berbahasa Arab. Sia-siakah kesarjanaan saya ketika saya bekerja di sebuah penerbit sebagai penerjemah? Enggak sama sekali, justru kesarjanaan saya itu yang membantu saya dipercaya Penerbit untuk jadi penerjemah tetapnya waktu itu.

Selamat dan Sukses Wisuda ke-29 UIN SATU Tulungagung yang (lagi-lagi) diselenggarakan secara Drive Thru.
———
AB
15 Februari 2022
Panggung Senat Wisuda ke-29 UIN SATU Tulungagung

Komentar