Oleh: Abd. Halim *
Hatib bin Balta’ah adalah sahabat yang ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah (muhajirin). Ia juga sempat ikut dalam beberapa pertenpuran termasuk di dalam perang Badar. Ia juga memiliki harta dan anak-anak yang ia tinggal di Mekkah.
Di Madinah, Nabi berencana membebaskan kota Mekkah dan meyiapkan alat-alat untuk berperang. Hal ini dilakukan Nabi sebab, kaum kuffar Mekkah melanggar perjanjian Hudaibiyah yang sebelumnya sudah mereka sepakati dengan Nabi. Di saat itulah, Hatib menulis surat—melalui seorang wanita yang bernama Sarah—kepada orang-orang musyrik Mekkkah bahwa Nabi berencana untuk menyerang Mekkah. Rasulullah ternyata mengetahui—dari malaikat Jibril—tengtang surat yang dikirim oleh Hatib. Kemudian, Rasulullah langsung memerintahkan beberapa sahabat untuk menyusul perempuan yang sedang membeawa surat tersebut. Di antara sahabat yang diutus Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khattab, Ammar bin Yassir, Thalhah dan yang lain. Setelah perempuan tersebut ditemukan, ia tidak mau memberikan surat yang dikirim oleh Hatib, namun Ali bin Abi Thalib memaksa perempuan tersebut sehingga ia mau memberikan surat tersebut. Membaca surat tersebut, para sahabat kaget ternyata surat tersebut berasal dari Hatib yang ditujukan kepada orang-orang msuyrik di Mekkah. Isinya adalah pemberitahuan tentang rencana Nabi mau menyerang Mekkah.
Para sahabat merasa dikhianati oleh Hatib dan membawa surat tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah setelah mengetahui hal itu dengan mata kepalanya sendiri memanggil Hatib dan menyakaan hal itu,
“Apa-apaan ini wahai Hatib?”
Mendengar pertanyaan Rasulullah yang sedikit marah, Hatib langsung mengiba dan memohon kepada Rasulullah agar beliau tidak tergesa-gesa mengmbil keputusan dan kesimpulan. Ia bersumpah bahwa ia tidak murtad dan tidak berkhianat. Ia menjawab,
“Kaum muhajirin semuanya memiliki orang-orang yang melindungi keluarga mereka di Mekkah, kecuali aku, padahal keluargaku berada di tengah-tengah mereka. Aku hendak member jasa kepada kepada mereka dengan harapan mereka tidak mengganggu keluargaku!”
Rasulullah menjawab, “Dia berkata benar! Jangan berkata mengenai khatib kecuali yang baik!”
Melihat kajadian itu, Umar bin Khattab naik pitam karena kegeramannya melihat Hatib yang seolah-oleh mengkhianati Nabi dan sahabat yang lain. umar langsung berakat,
“Ijinkan saya ya Rasul untuk memenggal orang munafik ini!” Ujar Umar.
Namun Rasulullah melarang Umar dengan menjawab,
“Bukankah dia telah ikut berperang dalam perang Badar ya Umar,,,! boleh jadi Allah—yang mengetahui jasa mereka yang terlibat dalam perang Badar—telah berfirman, ‘lakukanlah apa yang kamu suka. Saya telah mengampunimu.’ Mendengar ayat ini, air mata Umar berlinang. Allah dan RasulNya mengampuni dan memaklumi sikap Hatib bin Balta’ah karena melihat motif yang kelakuan Hatib.
Berkanaan dengan kisah ini, Allah mewahyukan Q.S al-Mumthanah:1 kepada Nabi,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu contoh kelemahan manusia ketika menghadapi masalah keluarga. Hatib yang begitu dekat dengan Rasulullah dan ikut andil dalam perang Badar masih terjerumus ke dalam perbuatan kesalahan karena ingin melindungi keluarganya di Makkah. Allah memaafkannya dan Rasulpun memahami motif tindakannya
Dari kisah ini, kita bisa belajar banyak hal. Di antaranya:
- Ajaran yang dibawa Rasulullah adalah ajaran kasih sayang memaafkan. Hatib, dalam cerita di atas, bisa dikatakan sebagai penghianat sebab ia membocorkan rahasia politik Nabi kepada kaum Quraisy. Hukuman bagi seorang penghianat pada umumnya adalah mati, sebagaimana dipahami Umar yang ingin membunuh Hatib, namun Rasulullah berkata lain, dan memaafkannya dengan penuh lapang.
- Menghukumi seseorang yang salah tidak boleh dengan emosi. Sebab, ketika emosi seseorang kehilangan akal sehatnya.
- Jangan sampai satu kesalahan yang dilakukan orang lain membuat kita buta terhadap kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan sebelumnya. Sebagaimana Hatib yang merupakan sahabat Nabi yang memiliki andil besar dalam dakwah Nabi.
Sumber Tulisan Abd. Halim, Problem Solving Ala Nabi SAW: Belajar dari kearifan Nabi dalam Memecahkan Masalah (Yogyakarta, Yayasan Wakaf Buku Indonesia, 2016)