Nur Rohman*

Pada bulan November hingga Desember tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti program shortcourse pengabdian kepada masyarakat berbasis riset yang diselenggarakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag di Kudus, Jawa Tengah. Selama kurang lebih sebulan, saya dan peserta lainnya diberi pelatihan intensif terkait dengan metodologi, filosofi, dan aksi mengabdi kepada masyarakat yang berbuah hasil riset.

Banyak pakar dari beberapa kota didatangkan untuk menemani kami belajar. Proses belajarnya, tak hanya teori, namun juga sekaligus praktik pada hal-hal yang bersifat teknis aplikatif. Sehingga banyak sekali hal mengesankan di dapat dalam acara itu. Salah satunya adalah materi tentang kepenulisan kreatif yang diisi oleh Mas Doktor Aguk Irawan, MN. Seorang novelis, sastrawan, budayawan, dan juga kiai karena beliau adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren Baitul Kilmah di Bantul Yogyakarta.

Kebetulan, kedatangan beliau ketika itu bertepatan dengan diluncurkan novel terbarunya “Sosrokartono”. Menurut info yang saya terima saat itu, novel itu dibedah di beberapa kampus, salah satunya di IAIN Surakarta sehari sebelum beliau ke Kudus. Info itupun membuat saya semakin penasaran dengan sosoknya, karena saya belum pernah melihat sosoknya selain hanya menikmati karya novelnya. Dan ternyata humbel dan seru sekali orangnya seperti tulisannya.

Keseruan dalam sesi yang beliau ampu, membuat kami berbondong-bondong menyerbu karya-karyanya. Saya sendiri membeli novel terbarunya ‘Sosrokartono’, yang kebetulan makamnya beliau terletak tak jauh dari lokasi kursus. Sehari sebelum mendapatkan novel ini, kami sempat berziarah ke makam beliau. Entah menjadi sebuah kebetulan atau memang berkah.

Banyak kisah dan inspirasi penting dalam novel Sosrokartono ini.  Salah satunya yakni kisah Sosrokartono menyembuhan seorang raja yang frustasi hingga ia diganjar semua harta kerajaan itu. Bahkan konon kerajaannya pun diberikan kepada Sosro, namun beliau menolak.

Selain itu, ada juga kisah tentang penyelamatan Sosrokartono terhadap dua orang perempuan bermata biru yang membawa peti berisi emas. Hingga akhirnya dua orang puteri kerajaan ini meyerahkan dirinya kepada Sosrokartono untuk mengabdi kepadanya sepanjang hanyatnya, namun Sosro juga menolak.

Kisah itu, disebut-sebut oleh Sudjiwo Tejo dalam pengantarnya sebagai sikap sepi pamrih tebih ajrih yang dijarkan oleh Sosrokartono. Bahwa ketika melihat orang lain bertahta, bukankah tahta itu milik kita juga. Bahwa ketika melihat orang lain bahagia, bukankah bahagia itu milik kita juga. Nilai dari kisah itu adalah bahwa ketika menolong orang lain, kita tak perlu berfikir kita akan mendapat apa, dan sebagainya. Keyakinan kepada Tuhannya itulah yang mengantarkan Sosrokartono sampai pada ajaran digdoyo tanpo aji-aji (sakti tanpa senjata).

Jika seseorang sudah memiliki sikap seperti itu, maka sudah tidak ada lagi yang ia takuti. Sebagaimana pernah suatu ketika Sosrokartono pergi ke suatu daerah di Eropa, yang ditetapkan oleh masyarakat di sana sebagai tempat ‘gelap’ atau penuh keburukan. Begitu tiba di sana, Sosro diberhentikan oleh sekelompok preman. Gerombolan preman itu hendak meminta harta benda Sosro dan membunuhnya. Ketika ditanya soal harta, Sosro pun mengatakan tak punya apa-apa. Lalu ketika hendak dibunuh, Sostro mengeluarkan secarik kertas yang bertuliskan permohonan terakhir untuk mengabarkan kepada Ibundanya di tanah air, bahwa Sosro telah terbunuh. Sikap tanpa takut Sosro ini pun membuat para preman ini bingung dan kemudian melepaskannya.

Inilah yang kemudian dikenal dengan ajaran “sepi pamrih tebih ajrih” (sunyi dari mengharapkan imbalan, jauh dari rasa takut). Sosrokartono mengajarkan manusia hendaknya mengutamakan ketulusan. Di dalam hatinya hanya Allah sebagai tujuan, bukan materi. Maka jika sudah begitu, dia tidak ada lagi rasa takut kepada siapapun. Tak takut tak mendapat bagian harta, tak takut tidak mendapat jabatan, dan sebagainya. Semoga kita bisa meneladani kehebatan sikap baliau. Lahu al-fatihah.

Komentar