Alfin Miftahul Khairi*
Masih adakah orang di zaman sekarang yang belum mempunyai akun media sosial? Jika ada, Sukidi Mulyadi salah satunya. Keberadaan beliau tidak akan terendus oleh khalayak ramai jika bukan karena dari unggahan Ulil Abshar Abdala di akun medsosnya. Seorang anak ndeso yang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators di kampus terbaik dunia, Universitas Harvard Amerika Serikat.
Disertasi diuji Prof. William A. Graham, sarjana ahli Islam yang dikenal melalui karya klasiknya Beyond the Written Word: Oral Aspects of Scripture in the History of Religion. Penguji kedua oleh Prof. Roy Muttahedeh, sarjana ahli Iran dan penguji terakhir Prof. Ali Asani, ahli dalam bidang kajian Ismailiyyah.
Kisah Sukidi adalah narasi pejuang mimpi yang menjadi kenyataan. Ketekunan, kegigihan, keuletan dan semangat pantang menyerah menjadi satu kekuatan dalam mewujudkan mimpi tersebut. Andrea Hirata sudah membuktikan dengan Laskar Pelangi-nya, begitu juga dengan A. Fuadi dengan Negeri 5 Menara-nya, dan sekarang Sukidi Mulyadi membuktikannya bahwa mimpi memang harus diperjuangkan.
Sukidi merupakan bungsu dari lima bersaudara kelahiran 1975 silam, dari pasangan suami istri lanjut usia, Muhadi, 80, dan Sukinem, 67. Ia berasal dari keluarga sederhana di jalan raya Tanon-Sukodono, di Dukuh Grumbul RT 003, Desa Pengkol, Tanon, Sragen. Rumah orang tuanya berdinding papan dengan genting sederhana tetapi lantai berkeramik.
Sekolah dasar Sukidi diselesaikan di MIN Pengkol di Ngablak. Kemudian berlanjut ke MTsN Tanon dan meneruskan ke MAN Solo. Kuliah S1 ditempuh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tingkat magister diselesaikannya di Ohio University Amerika Serikat dan tingkat doktoralnya di Universitas Harvard Amerika Serikat.
Seperti yang diceritakan oleh Gus Ulil, sosok Sukidi adalah pribadi yang low profile. Meski kuliah di kampus bergengsi, tidak menjadikannya pribadi yang sombong. Bahkan menjelang ujian disertasinya, istri tercinta tidak tahu sama sekali kabar bahagia tersebut. Pun keluarga besarnya di Sragen, mereka tahu setelah berita tentang Sukidi viral di media sosial. Semua mengalir apa adanya.
Keuletan Sukidi menjadi mahasiswa seperti kontradiktif jika saya melihat fakta dan realita mahasiswa zaman sekarang (meski tidak semua). Smart phone bukannya membuat penggunanya tambah pintar, malah membuat sebaliknya. Seperti yang saya lihat saat menjadi pengawas UAS di kampus sendiri. Meski sifat ujian open book, mahasiswa justru open handphone. Jika ditanya, maka mereka akan menjawab; bukunya sudah saya foto di hp, Pak. Saya hanya geleng-geleng kepala dibuatnya.
Kemalasan membeli buku berbanding lurus dengan ‘asupan’ otak penggunanya. Ditambah jika yang bersangkutan malas membaca. Klop sudah. Agent of change atau apapun itu sebutan untuk mahasiswa menguap sia-sia. Harapan hanya menjadi harapan. Demo yang dilakukan bukan lagi memperjuangkan ideologis, tapi sudah anarkis.
Semangat Sukidi dalam menuntut ilmu sudah semestinya menginspirasi generasi milenial sekarang. Sukidi membuktikan bahwa mitos keangkeran akademik Harvard luluh-lantak dengan semangat dan usaha anak ndeso yang pantang menyerah. Kekuatan mimpi dan cita-cita tidak boleh luruh di depan altar-altar kampus yang menjulang tinggi.
Sebagai penutup, mari kita renungi hadis Nabi Muhamad saw berikut ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
*Aktif mengajar di jurusan Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta.