Dapur merupakan tempat terfavorit ketika adan magrib berkumandang. Tempat santap menyantap hidangan ketika waktu berbuka puasa tiba. Bulan Ramadan seakan memberi kenikmatan tersendiri bagi manusia yang menyadari akan kenikmatan. Pada setiap gelas minuman terkandung seribu penghidupan akan kekeringan, juga pada setiap suapan makanan terkandung sejuta penghidupan akan kekosongan. Begitulah bulan Ramadan selalu memberikan segala kenikmatan dan keberkahan bagi siapa pun yang menyadarinya, tanpa terkecuali dan tanpa batasan durasi.
Tak hanya Ramadan tahun ini, juga tahun-tahun sebelumnya. Ramadan juga selalu memberikan surga kepada siapa saja yang ikhlas dan ikhtiar melaksanakan tuntunan ibadah. Pada bulan tersebut pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan Allah SWT memberikan pahala yang berlimpah dengan suka rela. Kita membatalkan puasa dengan menyantap sebutir kurma saja sudah berbuah pahala yang bisa jadi sebagai tiket masuk surga. Makanan saja bisa berbuah pahala, lalu bagaimana dengan yang memasak makanan tersebut? Sungguh tak terkira pahala yang berlimpah diterima oleh sang pemasak makanan.
Ibuku ialah sang pemasak makanan tersebut. Sang koki yang dengan suka rela menghidangkan dan menyiapkan santapan berbuka dan sahur untuk anak-anaknya. Pada bulan Ramadan seperti sekarang ini, ibu tak pernah bisa tidur dengan lelap. Bukan karena memikirkan biaya UKT anaknya untuk semester depan, namun takut jika ketika bangun sudah memasuki waktu imsak.
Dalam artian ibuku sangat memperhatikan santapan untuk buah hatinya sampai lalai dan tak sempat untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bukan perihal santapan yang menjadi sorotan utama, tetapi ketulusan ibu untuk anak-anaknya di setiap waktu tanpa mengenal liku yang patut kita sadari. Bersyukurlah Ramadan kalian masih bisa merasakan dekapan kasih dari seorang ibu. Di luar rumah banyak anak-anak kehilangan sosok ibu yang seharusnya memberikan perhatian dan kesediaannya untuk menyiapkan segala hidangan di meja makan.
Sejenak merenungi kesukarelaan sosok ibu ketika sibuk di dapur. Dimulai pagi hari, ibu bekerja sebagai buruh industri dengan bayaran tak seberapa akibat kebijakan yang kurang menyenangkan dari perusahaan. Bekerja membanting tulang dengan penuh perjuangan dan menahan dahaga juga lapar di tengah panasnya mesin industri yang tanpa berhenti sepanjang waktu. Semua demi menghidupi anak-anaknya. Mengapa ibu bekerja? Karena ibu adalah tulang punggung keluarga.
Dan yang paling mendasar, tidak ada larangan dalam agama Islam untuk perempuan bekerja. Seorang ibu memiliki anggota badan, dan ia berhak atas penggunaan anggota badan tersebut untuk bekerja. Sore harinya setelah pulang kerja, sosok ibu masih berlanjut bekerja.
Namun tidak di tempat industri, melainkan beralih tempat menuju dapur untuk sesuap makanan berbuka puasa. Sibuk sekali sepertinya sosok ibu tersebut, satu jam sebelum adan maghrib berkumandang serba serbi makanan mentah bisa disulap oleh ibu menjadi hidangan penuh cita rasa. Dan pada akhirnya adan magrib berkumandang, kesibukan sosok ibu beralih pada anak-anaknya.
Memastikan mereka sudah berbuka dan mencicipi hasil masakan dari seorang ibu tersebut. Tidak sampai disitu, sosok ibu kembali disibukkan dengan memastikan anak-anaknya sudah berbuka dengan kenyang, betul-betul kenyang tanpa merasa lapar sedikit pun.
Tidak berbeda ketika sahur, sosok ibu selalu bangun lebih awal dari anak-anaknya. Sejam sebelum waktu sahur ibu sudah bangun dan masak, sedang anak-anaknya masih mimpi berkepanjangan entah sampai mana. Terkadang ibu sampai lupa dengan sepiring atau sesuap makanan untuk dirinya sendiri. Begitulah kawan bentuk kasih sayang seorang ibu dikala Ramadan tiba.
Ketika persembahan oleh sang ibu untuk anaknya sudah terpenuhi, maka kewajiban akan ketenangan yang diidamkan sepertinya sudah terpenuhi. Ketenangan hati dari seorang ibu untuk anaknya. Jika ibu memasak makanan menambahkan kasih sayang di setiap racikannya, rasanya teramat kasih yang dirasakan oleh sang anak.
Terkadang saya juga dibuat heran oleh beberapa manusia. Dikala Ramadan seperti sekarang ini, banyak lontaran ceramah dari penceramah dadakan yang mengatakan penghuni neraka paling banyak adalah perempuan, makhluk paling lemah adalah perempuan dan sumber beban hidup kebanyakan disebabkan oleh hadirnya perempuan.
Patriarki jika tak ada perempuan bisa apa? Mungkin mati kelaparan sebelum malaikat Izrail mencabut nyawanya. Ibu bukan perempuan seperti yang mereka bicarakan. Layaknya keadilan kesetaraan gender harus lebih ditegakkan. Perempuan juga memiliki hak atas dirinya untuk memenuhi kewajiban dan tuntutannya. Perempuan seakan terikat oleh rantai, walaupun terkadang rantai tersebut terbuat dari emas.
Bagiku ibu bukan saja sebagai perempuan. Tetapi juga pahlawan keluarga untuk penghidupan. Ia menghidupi hari-hari, membuka pagi dengan cinta kasih dan kemudian menutup malam dengan peluk kasih. Biarlah mereka mengatakan perempuan sebagai penghuni neraka terbanyak, tetapi bagiku ibu adalah surga sebelum akhirat. Sudah sedari dulu, sosok ibu adalah surga yang tak tergantikan, yang banyak dirindukan oleh seorang anak. Bayangkan jika Allah SWT tidak menghadirkan seorang Hawa, rasanya kita semua tidak akan bernyawa sampai detik ini.
Nikmati Ramadan tahun ini bersama ibu, dan rayakan hari kemenangan nanti dengan ucapan maaf dan terima kasih kepada ibu. Untuk kalian kawanku yang sudah ditinggalkan ibu, kirim doa terbaik dan termesra untuk surga yang telah menghuni surga. Alhamdulillah rumah dan dapurku terdapat sebuah surga, dan surga itu adalah ibu.