“Horizon bacaan yang luas, pengalaman hidup yang beragam, persahabatan dengan berbagai kalangan, ketajaman memahami informasi, menjadikan seseorang bersikap moderat dan toleran. Sebaliknya, sikap radikal dan intoleran cenderung lahir karena kondisi kurang bacaan, kurang pergaulan, kebergantungan dan kemanjaan intelektual. Salain juga, tentu karena ngopinya hanya di warung sebelah, pakai produk kopi instan lagi” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).
Lewat refleksinya kali ini, Pak Rektor memberi formula bagi lahirnya pribadi-pribadi yang moderat dan toleran. Sekurangnya ada empat rukun yang harus dimiliki dan diracik begitu rupa oleh seseorang untuk dapat menjadi pribadi yang memilih sikap moderat dan toleran dalam berinteraksi dengan sesamanya dalam bingkai masyarakat yang majemuk pada segala aspek kehidupanya; suku, agama, ras, dan golongan. Dengan ungkapan lain, untuk menjadi pribadi yang moderat dan toleran menghajatkan setidaknya empat piranti di mana satu-sama-lain saling terkait dan menguatkan. Empat piranti itu: bacaan, pengalaman, persahabatan, dan pemahaman.
Bacaan: Bacaan meluaskan wawasan. Kecintaan seseorang pada buku dapat menjadi indikator awal untuk menilai keluasan wawasannya. Pepatah Arab mengatakan: “Sebaik-baik teman sepajang jaman adalah buku.” Sama sekali bukan kebetulan, kata pertama dari wahyu pertama yang turun ke Nabi Saw. adalah kata perintah: Iqra`…Bacalah!
Jika dalam perjalanan berikutnya risalah yang dipanggul oleh Kanjeng Nabi Saw. mampu menorehkan peradaban yang mondial dengan semangat humanitas yang amat kental, tentu itu tak lepas dari kenyataan bahwa para aktor Islam awal sepeninggal Nabi ditenagai dan disemangati oleh nafas Iqra`. Nafas inilah yang menjadi mesin kebudayaan Islam klasik yang, seperti kata Cak Nur, berkarakter kosmopolit. Tidak susah menghubungkan pribadi yang kosmopolit dengan sikap moderat dan toleran.
Pengalaman: Tumpukan buku biasanya ada di perpustakaan, ruang khusus koleksi buku, atau ruang-ruang diskusi. Itu semua adalah buku-buku tersurat sumber pengetahuan. “Melahap”-nya sama dengan memberi nutrisi bagi akal-budi sehingga dapat melesat melepaskan keterkungkungan dalam belenggu kebodohan dan ketiadaan wawasan.
Hanya saja, bacaan berupa buku-buku tersurat saja belum cukup. Kita juga perlu bacaan berupa buku-buku tersirat. Kata para ulama, kitab (buku) bacaan ada dua: kitab masthur, dan kitab malhuzh. Yang pertama berupa buku-buku bacaan di perpustakaan, sedang yang kedua adalah apa yang oleh Pak Rektor dalam refleksinya kali ini disebut pengalaman.
Singkat kata, jangan terus-terusan berada di ruang perpustakaan atau kamar koleksi buku pribadi. Masih ada sumber pengetahuan lainnya yang tidak kalah mengayakan dan meluaskan wawasan. Keluarlah…pergilah…berkelanalah di muka bumi. Serap dan resapi setiap hikmah dari setiap penggal pengalaman mengembara!
Persahabatan: Hidup ini terlalu sebentar untuk dihabiskan dalam kesendirian. Mengasah pengalaman dengan keluar dari ruang perpustakaan atau ruang koleksi buku pribadi merupakan jalan untuk memutus kesendirian. Bersahabatlah dengan siapa saja, terutama dengan mereka yang memiliki visi kemanusiaan dan persaudaraan yang jelas. Pengalaman menunjukan bahwa teramat banyak manfaat dari persahabatan. Kita akan menanggung rugi jika tidak menampung dan mereguk manfaat-manfaat itu. Saya kira benar apa yang dikatakan Sindentosca dalam lagunya berjudul Kepompong: “Persahabatan bagai kepompong || Mengubah ulat menjadi kupu-kupu || Persahabatan bagai kepompong || Hal yang tak mudah berubah jadi indah || Persahabatan bagai kepompong || Maklumi teman hadapi perbedaan.”
Pemahaman: Tiga rukun bagi lahirnya pribadi moderat dan toleran telah pun disajikan. Semua itu memerlukan perekat agar satu sama lain saling menguatkan bagi lahirnya pribadi yang benar-benar moderat dan toleran. Bacaan perlu “dikunyah”, pengalaman penting untuk “disaring”, dan persabahatan perlu juga untuk “dipetakan”. Pemahamanlah yang akan melakukan tugas-tugas itu. Pemahaman yang tajam menjadikan pembacaan bukan pembacaan yang artifisial melainkan pembacaan yang berkesadaran. Pemahaman yang tajam menjadikan pengalaman bukan sekadar pelancongan fisik melainkan pengalaman yang meluaskan dan mengayakan kualitas diri. Pemahaman yang tajam menjadikan persahabatan bukan sekadar ajang pelepas penat melainkan pergaulan yang meluhurkan martabat dan menyehatkan pola relasi antar-sesama.
Adapun kata-kata Pak Rektor tentang “ngopi di warung sebelah, pakai produk kopi instan”, saya rasa itu cuma gurauan tentang orang yang kurang wawasan karena kurang baca, kurang pengalaman, kurang sahabat dan karenanya tidak punya ketajaman pemahaman. Maka ngopilah yang jauh, kopinya hasil racikan tangan seorang coffee roaster dan barista profesional, bukan kopi sachetan.