Rezim Masjid hari ini terus berlanjut. Iya terus mengedarkan beberapa program penting andalannya. Baginya, yang terpenting bagaimana menyulut amarah keagamaan umat. Amarah keagamaan ini nantinya dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyeret mereka ke dalam gubangan-gubangan fatamorgana.
Apa yang telah terjadi di masa lalu menjadi bahan referensi bagaimana mengolah amarah umat untuk bisa masuk pada gelenggang masyarakat yang normal. Masyarakat normal ini adalah masyarakat yang murni tidak terjemah oleh kepentingan-kepentingan oposan politik keagamaan, seperti yang dipertontonkan oleh FPI, HTI, dan ormas kanan lainnya.
Mempertontonkan Narasi Kezaliman
Mereka mempertontonkan nuansa agama yang seolah-olah dizalimi oleh beberapa aktor lawan mereka. Dan itulah yang menjadi salah satu bahan campuk mereka. Dongkol sendongkolnya dan bahkan hoaks sebisa mungkin diproduksi sebagai alat amunisi tambahan untuk menyulut amarah di atas.
Misalnya, narasi umat Islam akan dibinasakan geraknya di Indonesia menjadi solar mereka. Narasi-narasi bahwa PKI akan menjadi panglima yang bakal memimpin Indonesia kedepan, sehingga dipastikan agama Islam akan raib fungsinya. Dan ulama-ulama Islam bakal dijegal dan dihinakan kalau yang lain menjadi pemimpin terus diobrolkan. Narasi-narasi seperti itulah terus disiram ke tengah-tengah publik umat Islam.
Akhirnya, apa yang disebut sebagai muslim yang murni, yang lepas (tidak terjamah) dari/oleh huru-hara politik keagamaan, telah ikut masuk ke dalam pandulum rezim Masjid ini. Dan secara pasti, suara umat ini, tradisi umat ini, pandangan, gagasan, dan tafsir-tafsir terhadap keagamaan dan kenegaraan berubah secara total. Umat murni membayar rezim Masjid ini dengan seluruh tenaga dan tingkat fanatik yang tinggi. Umat murni ini membayarnya secara kontan!
Padahal, faktanya, ia sesungguhnya tertipu. Dalam lanskap keagamaan di Indonesia, baik yang dijalankan lewat peraturan undang-undang negara, atau ormas keagamaan maenstrem, tidak ada satupun yang visi-misinya ingin mengikis habis umat Islam dan keislaman kita di Indonesia. Justru yang ada, umat Islam diberi tempat yang super lebar dalam menjalankan ritual keagamaannya, kalau tidak bisa disebut sebagai mendemonstrasikan keagamaan mereka.
Contohnya, ulama-ulama terus manggung mengedukasi umat. Pesantren terus mashur bergerak berdiri. Pesta pora acara keagamaan terus berlangsung di berbagai tempat. Tradisi-tradisi keagamaan berjalan legang dalam panorama kegembiraan dan kezuhudan. Ritus keagamaan dipopulerkan dan dibesarkan bahkan pada skala yang lebih lebar: jika dulu cukup di ranah privat, kini go publik dan dipublikasikan.
Apa yang kurang dari semua ini? Apa yang masuk dalam dakwaan-dakwaan para oposan politik keagamaan, bahwa umat Islam bakal mengalami ajal? Apa yang terkonfirmasi bahwa ulama dan seterusnya akan dijegal sampai tuntas? Jauh panggang dari api. Jauh dari cinta bagi mereka yang tidak memahami perjuangan yang suci.
Mengapa Mereka Mau?
Namun faktanya, umat muslim terutama yang urban, mau-mau saja mengikuti ritme politik di atas. Persoalannya bukan mereka tidak paham. Mereka paham bahkan paham dengan dampak-dampaknya. Namun mengapa demikian mereka terus menjalani itu?
Di sini kita bisa melihat dengan dua faktor. Pertama, mereka ingin eksis sebagai wujud nyata dalam proses menjalankan keagamaannya. Dalam proses ini, mereka membutuhkan pengakuan, kesalehan, dan cuan. Pula eksis di sini, bukan semata-mata mereka bisa pentas manggung di dalam berbagai forum. Akan tetapi mendapat pengakuan dari orang-orang yang memiliki pengaruh dan kebijakan. Goalnya adalah program dan cuan.
Kedua, mereka ingin kembali kepada kehidupan lamanya. Biasanya, umat “urban” ia memiliki pengalaman keagamaan yang dibawa dari kecil. Tapi kemudian mereka sengaja jedakan untuk bernegosiasi dengan kehidupan kota dan ragam kepentingan di kota. Namun, dengan perjalanan waktu, di samping mereka sudah kaki-kakinya kuat, mereka mencoba untuk mengorganisir umat untuk berjalan bersama pada pengalaman keagamaannya yang lama: radikal.
Pengalaman keagamaan yang lama ini adalah pengalaman yang tidak mudah diterima oleh umat luas. Biasanya, mereka menepi di arus ombak kehidupan. Di sana, mereka membangun dinasti keagamaan. Santri-santrinya jadi umatnya. Sementara alumninya menjadi panglima tempur, jika kelak mereka terjamah oleh masyarakat luar, yang mencoba untuk menggangu sistem dan ekosistem kehidupannya: Rezim Masjid.
Doktrin Buta
Di dalam dunia itu, mereka melakukan doktrin buta. Umatnya dikenalkan pada hal-hal yang hanya bermanfaat dan berdampak pada dirinya. Umatnya dijauhkan pada hal-hal yang kelak akan mengancam pada dirinya.
Maka itu, umatnya dengan mudah terbodohi. Umatnya dengan mudah dilacurkan pada politik keagamaan yang sebenarnya bersimpangan dengan tujuan-tujuan meraka. Namun atas dahaga dan nasu angkara murka keagamaan yang meletup-letup di dadanya, keharaman menjadi kehalalan.
Rutinitas politik yang haram ia halalkan. Pekerjaan menipu umat yang dilarang menjadi penghidupan yang dilezatkan. Seperti kriuk Mie Sedap, lezat di tayangan iklannya, tapi tengi bila dimakan aslinya.
Apa yang tersingkap dari semua rezim Masjid ini? Mereka menjalankan tabiat apa pun yang keluar dari seseorang yang bersurban tebal di kepalanya. Mereka rela mati-matian dalam mengusahakan umat agar mau berdiri bersama dirinya karena pitutur buta dari seseorang yang kencang meneriakkan takbir!
Sayangnya, seseorang yang bersurban ini bertekuk lutut di sepuluh jarinya kaki seseorang yang bisa menyawer ia dengan uang-uang berwarna merah dan biru. Sesekali dengan aset tanah. Seperti itulah riwayat kabilah rezim Masjid ini. Dan kita akan terus melihat itu..