Islamsantun.org. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pekan lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen. Pol. Boy Rafli Amar menyebut pihaknya telah mengidentifikasi 198 pesantren terafiliasi dengan jaringan teror. Dari jumlah itu, 11 pesantren terafiliasi dengan Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), 68 pesantren terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI), dan 119 pesantren terafiliasi dengan Ansharut Daulah yang merupakan pendukung ISIS.
Pernyataan Kepala BNPT di atas segera mendapat tanggapan beragam; banyak yang sepaham dan menyerahkan penanganannya kepada pemerintah, tetapi ada pula kelompok yang geram dan memilih menanggapi temuan ini dengan marah. Kelompok yang kedua ini sebenarnya sedikit, tetapi mereka sangat berisik.
Respons cepat namun tak tepat dari kelompok ini berujung pada tudingan bahwa BNPT –dan pemerintah secara umum—anti terhadap pesantren dan Islam. Tuduhan ini tentu mengada-ada. BNPT, sebagaimana ditegaskan oleh Komjen. Pol. Boy Rafli Amar di salah satu TV swasta pekan ini, dalam melaksanakan tugas negara selalu tegak lurus dengan konstitusi dan ideologi dasar negara, yakni Pancasila. Karenanya tidak mungkin lembaga negara sekelas BNPT justru bermanuver menentang tugas utamanya tersebut.
BNPT nyatanya hanya mendasarkan laporan di atas pada kumpulan data yang diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan oleh aparat hukum selama dua puluh tahun penanganan terorisme di Indonesia. Dengan kata lain, ini bukan data baru. Jumlah ini juga tidak muncul dari hasil penelitian, tetapi –sekali lagi—dari proses penyelidikan dan penyidikan. Karenanya, keraguan tentang metode pengambilan data tentu tidak relevan.
Kewaspadaan
Terlepas dari pro dan kontra atas munculnya data pesantren yang terafiliasi dengan kelompok teroris di atas, kita perlu memahami bahwa konteks penyidikan terhadap ancaman terorisme ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kewaspadaan. BNPT hanya menunjukkan data agar kita waspada, itu saja. Soal penanganan dan tindak lanjut dari temuan di atas, biarkan BNPT dan lembaga terkait yang bertugas. Kita tak perlu membuat situasi memanas dengan menghembuskan narasi-narasi tak cerdas ke masyarakat luas. Ini justru kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.
Kita hanya perlu percaya bahwa pemerintah sedang berusaha keras untuk melakukan deteksi dini terhadap berbagai potensi ancaman yang dapat merusak sendi-sendi kebangsaan kita, salah satunya dengan membongkar tempat-tempat persemaian ideologi dan gerakan terorisme. Jika di kemudian hari pemerintah menemukan ajaran dan gerakan kekerasan disebarkan di lembaga-lembaga pendidikan bernuansa keagamaan, kita tak perlu bereaksi berlebihan. Barangkali, memang inilah kenyataan pahit yang harus kita telan saat ini.
Selama ini, kebanyakan dari kita memang terlalu permisif terhadap lembaga-lembaga pendidikan bernuansa keagamaan. Kita bahkan cenderung percaya begitu saja bahwa lembaga-lembaga pendidikan tersebut selalu baik-baik saja; dan karena terlalu percaya, kita selalu tak terima ketika ada temuan bahwa sebagian kecil –sangat kecil bahkan– lembaga tersebut ternyata tak sebaik yang kita duga. Masih ingat, kan, kasus pesantren yang ternyata hanya digunakan sebagai tameng untuk mengeruk dana sumbangan dan pelampiasan nafsu seksual oleh Herry Wirawan?
Ketika temuan ini diungkap, tak sedikit pihak yang menolak dan berusaha menutup-nutupi kebobrokan itu dengan berdalih di balik narasi-narasi kemuliaan lembaga pendidikan, tetapi ketika akhirnya kasus berhasil dibongkar, entah di mana suara para penolak itu sekarang.
Sepertinya, sebagian dari kita memang terlalu mudah percaya dan terlalu susah untuk diajak waspada.
Karena Cinta
Temuan tentang data pesantren yang terafiliasi dengan kelompok teroris harus dipahami sebagai upaya pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan marwah utama pesantren. Jangan sampai, kelompok teroris merasa bebas menyebarkan ajaran dan gerakan kekerasan dengan masuk atau mendirikan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan serupa pesantren.
Salah satu ciri utama pendidikan pesantren adalah ajaran agama yang santun dan damai, anti kekerasan dan melarang kerusakan. Karenanya jika ada lembaga pendidikan serupa pesantren yang justru memberi pengajaran yang bertentangan dengan pakem di atas, kita tak boleh hanya diam dan berpangku tangan sebab lembaga yang demikian hanyalah akal-akalan kelompok radikal untuk merusak kita dari dalam.
Kita perlu aktif menjaga pesantren-pesantren kita dari ajaran dan gerakan radikal-terorisme, salah satunya dengan tidak menghalangi upaya pemerintah untuk melakukan deteksi dini dan kemudian menentukan jenis intervensi. Pemerintah, dan kita, melakukan ini semua bukan karena islamophobia, tetapi justru karena cinta terhadap pesantren dan ulama.