Islamsantun.org. Adanya kompetisi antara nafsu yang baik dan buruk dalam diri manusia yang nantinya menentukan seseorang tersebut akan berlaku baik ataupun buruk. Apabila nafsu yang buruk (nafs al-amarah) yang menang dalam berkompetisi di diri manusia, maka yang terjadi ialah timbulnya gejolak tidak sehat dalam jiwa seseorang, dan jika tidak terkendali maka bisa mengarah ke tindak kekerasan dan kejahatan. Sebaliknya jika yang memenangkan kompetisi ialah nafsu yang baik (nafs al-muthma’innah), maka seseorang tersebut akan menjadi sosok yang arif, piawai dan terpuji (Khaeron, 2014: 113-114).
Untuk mewujudkan kemenangan bagi nafsu yang baik, maka seseorang harus bisa meningkatkan kualitas diri dalam semua aspeknya. Hal itu baik dalam segi akidah, ibadah, akhlak, spiritual, sosial, pemikiran maupun jasmani secara menyeluruh dan seimbang sehingga dapat menyampaikan seorang hamba kepada tingkat penghambaan diri secara mutlak kepada Allah swt.
Dalam sebuah hadis dijelaskan “Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Bahkan dijelaskan dalam al-Qur’an “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”(Eldeeb, 2009: 142). Maka dari itu hendaklah kita berakhlak baik dengan meneladani Rasul dan berpegang teguh dengan al-Qur’an.
Perlu dimengerti bahwasannya akhlak ini penting, karena akhlak bukan hanya merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan alam semesta. Para ulama memberikan pengertian akhlaq sebagai suatu kondisi jiwa yang tertanam dalam diri seseorang, dimana dengannya seseorang terdorong melakukan perbuatan dengan tanpa proses pemikiran atau pertimbangan yang mendalam serta tanpa rencana atau usaha yang dibuat-buat (Mujahidin Mawardi, Gatot Supangkat, Miftahulhaq, 2011: 19).
Salah satu contoh kepribadian yang berpendidikan al-Qur’an ialah menjadi orang yag tidak melupakan Allah karena kesilauan melihat mewahnya dunia sebagaimana dalam firmannya: “orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),” (Eldeeb, 2009: 143). Dalam ayat lain juga dijelaskan :
…….وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“…… Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali hanyalah kesenangan yang menipu”. Quraish Shihab (2006: 37) dalam tafsirnya menjelaskan dan tidaklah kehidupan dunia bagi mereka yang terlengahkan oleh gemerlapnya kecuali hanyalah kesenangan sementara dan segera lenyap lagi yang menipu manusia yang lengah-lengah itu.
Jika seseorang berhasil menghindari gemerlapnya dunia maka tujuan pokok akhlak yakni agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam akan terwujud. Setiap muslim yang berakhlak baik dapat memperoleh: Pertama, ridha Allah Swt. selalu melaksanakan segala perbuatannya dengan hati yang ikhlas, semata-mata karena mengharapkan ridha Allah Swt. Kedua, kepribadian Muslim, Perilakunya baik ucapan, perbuatan, pikiran ataupun kata hatinya mencerminkan sikap ajaran Islam. Ketiga, perbuatan yang mulia dan terhindar dari perbuatan tercela (Fadliyani et al., 2020: 173).