Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang memuja pencapaian material, terdapat sebuah gagasan klasik yang menantang: bagaimana jika tujuan tertinggi manusia bukanlah kekayaan atau kekuasaan, melainkan ‘menyerupai’ Tuhan? Ini bukan klaim mistis yang mengawang, tetapi inti ajaran etika mendalam dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī (1058–1111), Sufi ternama yang karyanya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menjadi fondasi spiritual bagi jutaan Muslim. Dalam buku Al-Ghazālī and the Ideal of Godlikeness, Sophia Vasalou (2025) mengupas bagaimana al-Ghazālī merangkai filsafat Yunani, mistisisme Sufi, dan ajaran Qur’ān menjadi visi etika yang relevan hingga hari ini.

Al-Ghazālī hidup di era persimpangan budaya. Pengaruh filsafat Aristoteles dan Plotinus -yang menekankan keutamaan (virtue) sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia- bertemu dengan ajaran Islam tentang taqwā (ketaatan) dan ikhlāṣ (ketulusan). Namun, al-Ghazālī tidak sekadar menyalin-tempel ide-ide Yunani. Ia mengkritik rasionalisme murni, sekaligus mengingatkan bahwa kesempurnaan manusia bukanlah mimpi mustahil, melainkan proses penyesuaian diri dengan sifat-sifat Ilāhī seperti kasih sayang (Raḥmān), keadilan (‘Ādl), dan kesabaran (Ṣabr).

Dalam karyanya Al-Maqṣad al-Aṡnā (Tujuan Tertinggi), ia menguraikan 99 nama Tuhan sebagai panduan moral. Setiap nama bukan sekadar simbol dan label teologis, tetapi seruan untuk bertransformasi. Membayangkan Tuhan sebagai “Pemberi Rezeki” (al-Razzāq), misalnya, mendorong manusia untuk berbagi; mengenal-Nya sebagai “Pemaaf” (al-Ghafūr) menginspirasi permaafan dan pengampunan.

Menjadi Seperti Tuhan dalam Batas Kemanusiaan
Al-Ghazālī tidak mengajarkan antropomorfisme -menyerupai Tuhan bukan berarti mengklaim kesempurnaan mutlak. Ia menekankan konsep iqtidā’ (mengikuti) dan takhalluq (mengikuti/meneladi sifat), yaitu usaha manusia untuk memperbaiki karakter dengan menjadikan Tuhan sebagai model. Dalam surat-suratnya, filsuf Stoik Epikuros pernah menulis bahwa kita perlu “seseorang sebagai standar bagi diri kita”. Bagi al-Ghazālī, Tuhan adalah standar tertinggi itu.

Gagasan ini penuh paradoks. Bagaimana mungkin makhluk fanā’ menyerupai Sang Khāliq? Al-Ghazālī menjawab dengan membedakan antara essensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manusia tak mungkin memahami esensi Tuhan, tetapi dapat meneladani sifat-Nya. Seperti seorang seniman yang terinspirasi oleh karya agung, manusia terpikat oleh keindahan moral Tuhan dan berusaha mereplikasinya dalam skala kecil.

Etika dan Psikologi: Mengapa Kita Tertarik pada Akhlak Mulia?

Menurut Vasalou (2025), al-Ghazālī memahami psikologi manusia dengan cermat. Ia percaya bahwa kecintaan pada keutamaan akhlak -seperti keberanian, kebijaksanaan, atau kemurahan hati- adalah naluri universal. Dalam Iḥyā’, ia menulis bahwa manusia secara alami mencintai orang yang berbudi luhur, bahkan jika mereka tidak mengenalinya secara langsung. Kekaguman terhadap keutamaan ini, menurutnya, adalah “jembatan” menuju kecintaan pada Tuhan, yang memiliki semua keutamaan itu secara sempurna.

Namun, al-Ghazālī tidak mengabaikan tantangan. Dua dosa besar mengancam perjalanan ini: ‘ujb (kesombongan) dan kibr (kesombongan diri). Kesombongan muncul ketika manusia merasa pencapaian moralnya membuatnya lebih unggul dari orang lain. Al-Ghazālī mengingatkan bahwa semua kebaikan berasal dari Tuhan; manusia hanya wakil (khalīfah) yang dipercaya untuk menjalankannya.

Etika di Tengah Manusia Nestapa
Apa yang bisa kita pelajari dari al-Ghazālī hari ini? Dalam dunia yang seringkali memuja kesuksesan individual, gagasannya mengajak kita untuk melihat moralitas sebagai proyek kolektif dan transendental. Keutamaan bukan sekadar alat untuk reputasi, tetapi cerminan hubungan kita dengan yang Tuhan.

Misalnya, konsep taqwā (ketaatan) yang sering disalahpahami sebagai amalan ritualistik yang kaku, dalam pandangan al-Ghazālī, adalah latihan untuk membentuk karakter. Seperti atlet yang berlatih setiap hari, manusia yang berusaha bersabar dalam kesulitan atau jujur dalam bisnis sebenarnya sedang “melatih” sifat-sifat Ilahi.

Lebih jauh, idenya tentang keindahan moral relevan dengan gerakan kontemporer seperti pendidikan karakter dan filsafat kebahagiaan. Al-Ghazālī mengingatkan bahwa keutamaan tidak hanya membuat kita “baik”, tetapi juga menawan. Orang yang memiliki sifat ilahi -seperti empati atau keadilan- memancarkan daya tarik yang melampaui kecantikan fisik atau kekayaan.

Al-Ghazālī bukan hanya filsuf abad ke-11; ia adalah mentor moral untuk zaman kita. Ide bahwa manusia bisa ‘menyerupai’ Tuhan -dalam tindakan, bukan esensi- menegaskan bahwa keutamaan bukanlah impian kosong, tetapi tujuan yang bisa diraih dengan tekad dan refleksi.

Dalam dunia yang penuh konflik dan ketidakpastian, ajarannya mengingatkan: keindahan moral tidak terletak pada kesempurnaan, tetapi pada usaha terus-menerus untuk menjadi lebih baik. Seperti kata al-Ghazālī, “Barang siapa yang berusaha untuk menyerupai Tuhan, maka ia akan menjadi cermin bagi cahaya-Nya.” Mungkin inilah jawaban untuk krisis nilai yang melanda peradaban modern: bukan mencari Tuhan di langit, tetapi menemukan-Nya di muka bumi, pada diri sendiri.

Komentar