Sudah banyak penjelasan diajukan kenapa kaum Muslim enggan membaca Alkitab. Dari soal tuduhan falsifikasi hingga segregasi komunal. Juga, persoalan self-sufficiency dan mistrust. Semua penjelasan itu menarik.
Seorang kawan melakukan penelitian tentang sejarah interaksi kaum Muslim dengan Alkitab dan mengungkap temuan cukup menggembirakan. Temuannya dituangkan dalam disertasinya di Yale, yang sedang saya baca.
Disertasinya ini fokus pada kitab2 tafsir yang ditulis dlm bahasa Arab. Dia mentabulasi 153 kitab tafsir dan menelusuri penyebutan kitab-kitab dalam Bible/Alkitab atau kutipan dan paraphrase dari Kitab Suci Yahudi dan Kristen itu dalam kitab2 tafsir.
Dari data kuantitatif, dia menyebut ada perkembangan baru sejak abad ke-19 di mana para mufassir mulai lebih sering merujuk pada Alkitab. Pada era pra-modern, terkecuali karya Biqa’i, para mufassir jarang sekali merujuk pada Alkitab dlm menafsirkan al-Qur’an.
Dia menyebut perkembangan baru sejak abad ke-19 itu sebagai “biblical turn”. Apakah perkembangan yang sama terjadi dalam tafsir-tafsir berbahasa Indonesia? Teman2 yang punya minat di bidang tafsir, ini tema menarik utk diteliti.
Saya tak henti-hentinya mendorong kaum terpelajar Muslim untuk membaca Alkitab. Tak ada larangan mempelajari Kitab Suci agama lain. Hadits yg terkenal “hadditsu ‘an bani isra’il wa-la haraj” bisa dipahami justru mendorong itu.
Di atas segalanya adalah fakta yang tak diketahui bnyk orang: Al-Qur’an menyinggung narasi-narasi Perjanjian Lama melebihi Perjanjian Baru menginggung narasi Perjanjian Lama. Apakah fakta ini tak cukup meyakinkan kita utk membaca Alkitab?