Dalam buku The Road to Allah, Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan macam-macam perwujudan amal (tajassum al-a’mal).
Pertama, amal-amal kita akan membentuk jati diri kita. Amal-amal buruk akan membentuk jati diri yang buruk. Sebaliknya, amal-amal baik akan membentuk jati diri yang baik. Seseorang yang terbiasa melakukan perbuatan buruk, seperti mendendam, memfitnah, dengki, membunuh, menganiaya, akan jatuh pada jati diri kebinatangan. Dan kelak, ia akan dibangkitkan dalam wujud jati dirinya itu.
Kedua, amal-amal kita akan diciptakan Tuhan dalam wujud makhluk yang menyertai kita; sejak alam kubur hingga dibangkitkan pada hari kiamat nanti. Amal saleh akan mewujud sebagai sosok yang rupawan, indah dan harum. Kehadirannya akan membuat kita bahagia. Sedangkan amal buruk akan mewujud sebagai sosok yang menakutkan, kotor dan bau. Kehadirannya membuat kita ketakutan.
Ketiga, amal-amal kita akan berwujud dalam bentuk dampak atau akibat. Amal saleh akan muncul dalam akibat-akibat yang baik, dan sebaliknya, amal-amal buruk akan menimbulkan berdampak buruk.
Setiap manusia akan melihat amalnya masing-masing kelak di akhirat. Mungkin juga dampak dari amalnya sudah dirasakan ketika di dunia, seperti pengertian tajassum al-a’mal yang terakhir. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Zalzalah: 7-8 yang menyebutkan, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa jati diri kita, teman setia kita kelak di alam kubur, serta hal-hal yang terjadi pada kita adalah akibat dari amal-amal kita.
Amal saleh akan membentuk karakter pribadi yang baik, menciptakan teman setia yang baik dan indah di alam barzakh, serta menimbulkan dampak yang baik dalam kehidupan kita. Sedangkan amal buruk akan membentuk karakter pribadi yang buruk, menciptakan teman yang buruk dan menakutkan di alam kubur, serta mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan kita.
Jika sudah jelas demikian kenyataannya, masihkah kita memilih untuk melakukan tindakan (amal) buruk? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada pada diri kita masing-masing. Secara tegas al-Qur’an sudah menyatakan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Fushshilat: 34-35, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan…. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa pada hakekatnya kita memiliki dua macam mata: mata lahir (bashar) dan mata batin (bashirah). Dengan mata lahir, kita hanya akan melihat bentuk lahiriah, tampilan fisik diri kita dan orang lain di sekitar kita. Ia bukan jati diri kita atau jadi diri orang lain di sekitar kita. Sedangkan dengan mata batin, kita dapat melihat jati diri kita dan jati diri orang lain yang sebenarnya.
Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dengan bashar kita hanya melihat khalq (fisik, jasmani), sedangkan dengan bashirah kita dapat melihat khuluq (wujud ruhani).
Dalam pandangan kasat mata atau secara lahir, bisa jadi kita melihat diri kita atau orang-orang di sekitar kita tampil begitu memesona, tampan dan cantik, tetapi secara hakiki dengan pandangan batin, bisa jadi kita dan orang-orang di sekiling kita tak ubahnya binatang buas yang menakutkan. Dalam alam lahir, mungkin tubuh kita menebarkan aroma harum parfum yang kita pakai, tetapi sangat mungkin di alam batin hanya bau busuk bangkai yang meliputi diri kita. Tubuh kita tampak gagah, tegap dan utuh di alam lahir, bisa jadi di alam batin, hanya seonggok kerangka yang terkoyak-koyak.
Demikianlah, dalam pandangan batiniah, jati diri kita adalah wujud dari amal yang kita lakukan.
* Ruang Inspirasi, Rabu, 19 Mei 2021.