Islamsantun.org – Beberapa bulan ini saya kurang aktif dalam menuliskan beragam argumentasi yang sebelumnya saya tuangkan dalam bentuk opini atau esai. Semacam ada rasa yang hilang ketika mendekati seminggu saya tak pernah menuliskan satupun esai. Terlintas mungkin kesibukan akademik kampus, administrasi sebagai mahasiswa tingkat akhir, kesibukan berorganisasi, dan beban pekerjaan lainnya yang menjadikan saya agak lemot dalam menulis.
Setelah nggrahito atau yang dikenal dengan bertanya kepada diri sendiri akhirnya saya menyadari bahwa bukan keempat alasan diatas yang menyebabkan saya tak kunjung lagi menuangkan karya tulis yang beragam jenis genrenya. Salah satu sebab musababnya adalah karena saya seringkali membanggakan dengan apa yang telah saya peroleh dan mencoba melegalkan beberapa mendapatkan keuntungan dari anugerah yang telah diberikan olehNya.
Tentunya sebab musabab tersebut harus saya tutupi dan bungkus rapat-rapat agar tak diketahui sembarang orang karena hal tersebut merupakan dari privasi saya sendiri. Tetapi hal tersebut sangatlah bersinggungan dengan etika keorisinalan karya tulis yang memang harus berpegang teguh pada segala aspek, yang utamanya adalah kejujuran.
Waktu demi waktu, bulan demi bulan akhirnya saya menyadari bahwa salah satu perang antara logika dan batin ini haruslah segera diselesaikan untuk membangkitkan kembali produktifisme saya yang hilang. Lantas bagaimanakah caranya agar otak dan hati dapat bersinergi sehingga menghasilkan imajinasi yang kuat? Jawabannya adalah dengan nggrahito!.
Eling
Kultur orang jawa diajarkan sebagai suku yang selalu menyadari bahwa segala tindak tanduk “tingkah laku” didasarkan pada agama. Hal ini dijelaskan dalam Tembang Pangkur yang liriknya agama ageming aji atau yang diartikan agama sebagai landasan perbuatan.
Agama manapun selalu mengajarkan kita bertindak, berucap dan bertingkah laku sebagai orang yang jujur, karena kejujuran merupakan bagian ajaran tertinggi dalam agama. Tidak cuma jujur ke orang lain, melainkan juga harus jujur kepada diri sendiri karena diri sendirilah yang tak mampu kita bohongi bagaimanapun caranya.
Konsep seperti inilah yang melarbelakangi penulis untuk mengkritisi diri sendiri, dengan apakah benar segala cara dalam menjalani arti kehidupan ini tanpa ada unsuru untuk mencari pembenaran dan pembelaan atas segala tingkah laku penulis.
Satu kata yang penulis temukan adalah kita sebagai makhluk yang mengetahui jati diri sebenarnya kita adalah bahwasannya kita haruslah eling atau sadar bahwasannya seringkali segala bentuk rasa, terutama penyesalan yang dating belakangan menjadikan kita tak mampu lagi untuk berpangku tangan dan menyerahkan segala hal yang tidak kita temui jawabannya untuk disandarkan kepada Tuhan.
Bakat yang terurai
Sebagai salah satu mahasiswa yang dikenal dengan beragam prestasi, saya jujur kadang menjadikan diri semakin santai dalam meningkatkan kemampuan, alasannya adalah karena saya percaya bahwa di kampus belum ada yang mampu menyaingi atas apa uang telah saya hasilkan dalam kurun waktu satu hatun ini.
Bukan tanpa alasan saya beranggapan seperti demikian, sebagai mahasiswa yang dikenal sebagai makhluk yang mengedepankan nilai-nilai intelektualisme diri saya beranggapan bahwa di Kampus masih sedikit orang yang sadar dan mau untuk mempublikasikan segala macam bentu argumentasi, gagasan dan opini di muka umu, seperti lewat media massa ini.
Gejala semacam ini kadang harus saya syukuri karena tak maunya mahasiswa dalam seni berlitarasi sebagai khas kampus menjadikan pribadi mencari keuntungan. Tak harus saya sebutkan apa keuntungan itu, tapi hal tersebutlah yang menjadikan diri penulis merasakan dilema dalam diri.
Terlepas daripada itu semua dilema yang menjadi-jadi didalam diri kadang berupaya untuk melepaskan. Karena sebaiknya kita mencari sebuah pembenaran saat batin dan hati mengatakan itu salah, ya memang salah. Kadang otak dan pikiran dikontrol oleh nafsu dan segala macam jenis hasutan, maka menulisnya saya dalam esai ini mencoba untuk menguraikan segala macam bentuk ketidaknyamanan batin akan kesalahan yang memang saya jadikan sebagai privasi.
Tentunya tak mudah untuk melepaskan segala pergolakan batin ini, perlu waktu untuk berhenti. Tak munafik saat kita menerima beragam macam keuntungan walaupun cara tersebut terkesan tidak merugikan orang lain, tapi tetap saja hal itu salah. Berkaca daripada itu semua, semuanya perlu waktu agar antara sifat idealis kembali bergerak didalam diri. Selain itu sifat matrealistis akan memang realitas kehidupan yang tak jauh akan kebutuhan material menjadikan diri belum mampu untuk berhenti.
Mungkin yang penting satu prinsip yang harus ditanamkan dalam diri yakni, apabila sudah memulai sesuatu harus tau kapan harus bergerak dan kapan berhenti. Terdengar ambigu memang tulisan ini, tak terkecuali sayapun menganggap begitu. Namun terasa lega saat sebuah pergolakan batin dapat diuraikan dalam tulisan.
Lantas apakah memang ketidakjujuran dalam karya tulis yang menyebabkan Tuhan akan mencabut bakat menulis? Semoga saja tidak.