Buku yang potonya saya unggah ini adalah buku ke-31 karya Kang Jalal yang saya punya. Total karya beliau mungkin 40-an. Waktu beliau wafat (15 Februari 2021), saya baru punya 23 karya beliau. Dari 30-an buku Kang Jalal yang saya punya itu, beberapa di antaranya sudah saya khatamkan membacanya. Beberapa lainnya ”hanya” diambil bagian-bagian tertentu untuk keperluan pengutipan dalam menulis makalah, artikel, atau buku. Tapi dari semua itu, tiga buku dapat saya tunjuk sebagai ”penyebab” saya ”jatuh-hati” pada Kang Jalal: Islam Alternatif, Islam Aktual, dan Psikologi Komunikasi.
Seminggu lalu, Buku Sore memposting buku terbaru Kang Jalal, ”Halaman Akhir: Percikan Pemikiran Nalar Kritis Religius-Spiritual Islam.” Bukan lantaran judulnya yang ”menantang” yang mendorong saya tanpa pikir panjang men-japri Buku Sore memesan buku ini, melainkan nama Jalaluddin Rakhmat-lah yang membuat saya tak ragu langsung ”menyerbu” buku tersebut. Hanya berselang dua hari dari pemesanan, buku datang dengan selamat di Tulungagung.
Buku ini sebetulnya sama seperti buku Kang Jalal sebelumnya yang berjudul: ”Reformasi Sufistik: ‘Halaman Akhir’ Fikri Yathir” yang cetakan pertamanya terbit tahun 1998. Yaitu sama-sama kumpulan tulisan Kang Jalal di kolom ”Halaman Akhir” pada Majalah Ummat. Di ”Halaman Akhir” itu, Kang Jalal menggunakan nama samaran Fikri Yathir. Ada alasan tersendiri mengapa nama samaran itu dipilih, antara lain, Kata Kang Asep Salahudin dalam Epilognya untuk buku yang sedang kita bincang ini: ”…mungkin dimaksudkan agar tidak menemukan masalah ketika mengoreksi wajah kekuasaan yang despotik, warna politik yang kotor, paham keagamaan yang jumud, dan perilaku sosial menyimpang lainnya. Di samping itu, frasa ‘fikri yathir’ melambangkan pikiran yang terbang mengunjungi tempat-tempat terjauh merayakan kebebasannya tanpa khawatir terendus kekuatan dominan.”
Yang jelas, baik buku yang terbit 1998 yang diterbitkan Pustaka Hidayah itu, maupun yang terbit 2021 yang diterbitkan Bernas Ilmu Utama ini, sama-sama menampilkan kata ”Halaman Akhir” untuk menunjukkan bahwa semua tulisan yang ada di dalamnya berasal dari kolom Halaman Akhir pada Majalah Ummat. Hanya saja, Pustaka Hidayah memandang semua tulisan Kang Jalal di kolom tersebut sebagai renungan-renungan sufistik, sedang Bernas Ilmu Utama lebih melihatnya sebagai kritik Kang Jalal dengan gayanya yang khas terhadap–seperti kata Kang Asep di atas–wajah kekuasaan yang despotik, warna politik yang kotor, paham keagamaan yang jumud, dan perilaku sosial menyimpang lainnya. Dalam hal ini saya condong ke Bernas Ilmu Utama.
Perbedaan lainnya, Pustaka Hidayah mengemas semua tulisan di kolom ”Halaman Akhir” dalam satu buku, sedang Bernas Ilmu Utama mengemasnya secara serial. Yang sedang saya statuskan ini adalah Seri 1. Wajar jika ia lebih tipis dibanding buku ”Reformasi Sufistik” terbitan Pustaka Hidayah, karena setelah Seri 1 tentu akan menyusul seri-seri selanjutnya. Dari sisi perwajahan, buku ”Halaman Akhir” terbitan Bernas Ilmu Utama terlihat lebih ”ganteng”. Selisih 23 tahun antara ”Reformasi Sufistik” dan ”Halaman Akhir” mungkin menjadikan yang disebut terakhir lebih piawai ”memoles” wajah. Bisa juga lantaran tuntutan zaman.
Tulisan-tulisan Kang Jalal di Majalah Ummat itu terbit dalam rentang 1995-1998. Kendati demikian, pemikiran-pemikiran kritis yang dilontarkannya masih pun relevan dengan kehidupan sosial-politik-keagamaan dewasa ini. Bahkan dalam beberapa hal, misal soal kejumudan paham keagamaan, justru kritik Kang Jalal terasa lebih menemukan momentum dan sasarannya. Berikut saya kutipkan beberapa pikiran kritis Kang Jalal dalam kolom Halaman Akhir yang kemudian diterbitkan dalam buku ”Halaman Akhir” ini.
”Muhammad ‘Abduh pernah mengatakan bahwa Islam tertutup oleh orang-orang Islam. Lebih tepat lagi, keindahan syariat Islam sering tertutup oleh cara orang mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Bagaimana orang bisa tertarik menegakkan sistem kenegaraan Islam bila yang tampil sebagai negara Islam adalah gambaran menakutkan tentang Islam. Sukakah Anda tinggal di sebuah negara Islam yang menembaki laki-laki yang tidak berjenggot dan melarang peremuan bekerja? Sukakah Anda kepada negara Islam yang melakukan pengadilan tanpa peluang bagi terdakwa untuk membela diri? Sukakah Anda pada sistem politik Islam yang tidak memberikan kebebasan warga negaranya menyampaikan pendapatnya dan menjalankan agama sesuai dengan apa yang dipahaminya? Sukakah Anda pada Republik Islam yang mencambuk orang di depan umum dan membiarkan kekayaan negara digunakan untuk kepentingan segelintir orang?” (hlm. 74).
”…pseudosufisme mirip dengan perilaku orang yang datang ke toko obat untuk hidup sehat. Ia memilih analgesik untuk menghilangkan sakit atau vitamin untuk meningkatkan vitalitasnya. Tetapi, ia tidak mengubah gaya hidupnya, tidak mengatur cara makan dan minumnya, dan tidak berolahraga. Tasawuf yang sebenarnya ialah gaya hidup yang meliputi sikap, pandangan, dan tingkah-laku. Tasawuf bukan ilmu klenik atau perdukunan. Tasawuf juga bukan mekanisme pelarian. Para sufi bukan meninggalkan dunia. Mereka ingin mengguncangkannya. Mereka tidak menghindari masalah, tetapi menyongsongnya. Mereka tidak mengobati penderitaan; mereka mengubahnya menjadi kehormatan. Mereka tak membenci rasio; mereka meningkatkan dan memperluas kemampuan rasio. Yang paling penting dari semua itu, tasawuf tidak menafikan syariat. Tasawuf berpijak pada syariat untuk menjalani tarekat agar mencapi hakikat” (hlm. 189-190).
”Umat merindukan sosok sufi. Tetapi yang dilahirkan zaman adalah mubaligh dalam sosok baru: bukan sufi, bukan pula faqih. Teknologi modern dan media massa telah melahirkan mubaligh pop. Media massa mengemas dakwah dan mubaligh. Dakwah yang disajikan media massa adalah realitas kedua. Di dalamnya sudah masuk perilaku media, termasuk efek suara, efek tata-letak, dan efek visual. Yang menentukan kualifikasi mubaligh bukan lagi masalah keilmuan, bukan pula integritas moral, apalagi kualitas ruhaniah. Yang menentukan adalah selera para pengelola media massa. Dakwah sekarang menjadi bagian budaya pop” (hlm. 193).
Perhatikan baik-baik tiga kutipan di atas. Yang pertama saya ambilkan dari tulisan berjudul ”Sang Muazin” yang kedua berjudul ”Pseudosufisme”, dan yang ketiga ”Mubaligh Pop.” Ketiganya masih sangat relevan. Sentilannya masih amat mengena. Kritikannya masih tepat sasaran, bahkan–seperti saya katakan di atas–terasa makin menemukan momentum dan sasarannya.
Sudah saya akui, perwajahan buku ”Halaman Akhir” terbitan Bernas Ilmu Utama digarap dengan apik. Saya suka. Poto Kang Jalal dengan wajah cerah di sampul menambah ”kewibawaan” buku. Di luar sampul yang bagus, bagian isinya saya duga dikerjakan agak tergesa. Dugaan saya itu–yang semoga keliru–didasarkan atas beberapa temuan kekeliruan terkait editing. Salah ketik adalah salah satunya! Kekeliruan yang tak seberapa dibanding besarnya suka cita saya memiliki buku bagus ini dan tingginya kebahagiaan saya melihat salah satu mahasiswa saya di Prodi Tafsir dulu (Mas Aris Thofira) mendapat kehormatan memberi endorsement untuk buku bermutu ini.