Ada dua peristiwa menarik pekan lalu. Pertama, insiden penembakan 6 orang laskar khusus FPI (7/12/2020). Kedua, penangkapan Zulkarnaen alias Aris Sumarsono, panglima laskar khos Jama’ah Islamiyah (JI) (10/12/2020). Dua peristiwa ini tidak berhubungan, tapi punya benang merah. Dua-duanya punya laskar khos. Dua-duanya merasa hidup di alam perang, karena itu perlu pasukan. Dua-duanya merasa menjalankan jihad agama, karena itu, jika mati, mati dalam kesyahidan.
Dan, seperti selalu, di setiap insiden seperti itu kurang sedap tanpa bumbu-bumbu penyedap. Tiba-tiba banyak beredar meme tentang jenazah yang tersenyum atau harum semerbak mewangi atau segar dan tidak membusuk. Saya mendapat kiriman meme dari seorang doktor lulus perguruan tinggi negeri beken. Dia percaya dan mempropagandakan meme itu untuk mendukung kesyahidan laskar khos yang ditembak polisi. Saya jawab dengan link dari portal-portal terpercaya yang memastikan bahwa meme itu hoaks.
Jangan anggap enteng dengan gaya propaganda kesyahidan. Metode ini andalan kaum salafi-jihadi untuk merekrut tunas-tunas baru. Pelopornya Abdullah Azzam (1941-1989). Dia bekas aktivis IM (Ikhwanul Muslimin) Palestina, meraih gelar doktor Ushul Fiqh dari Universitas Al-Azhar, Cairo, dan mengajar di King Abdul Aziz University, Jeddah. Muridnya, yang mengikuti kuliah-kuliahnya, antara lain Osama bin Laden. Pada 1981, Azzam berangkat ke Afghanistan setelah negeri itu diduduki Uni Soviet pada akhir 1979. Dia membentuk Maktab al-Khidmat untuk merekrut dan mengorganisasikan mujahidin. Setiap bulan, Osama menyumbang US$250 ribu untuk biaya operasional yayasan. Pada 1983, dia menerbitkan buku berjudul « ايات الرحمن فى جهاد الافغان » (Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Jihad Afghanistan).
Azzam, Buku, dan Polemiknya
Buku ini tidak lazim karena kaum salafi tidak suka hal-hal yang berbau ‘klenik’. Buku ini bercerita tentang peristiwa-peristiwa ajaib yang terjadi selama jihad Afghanistan. Sebagian cerita itu konon disaksikan sendiri oleh Azzam, sebagian lainnya dari cerita-cerita yang beredar di kalangan mujahidin. Buku ini laris manis, dicetak ulang beberapa kali.
Saya cuplikkan beberapa bagian dari buku ini. Azzam menukil cerita-cerita mujahid yang menggambarkan momen-momen ajaib itu:
Satu (1). Saya sama sekali tidak pernah mendapat seorang syahid pun yang jenazahnya berubah atau membusuk; (2). Tidak ada satu pun jenazah syahid yang dipatok anjing, padahal anjing menggondol mayat tentara komunis; (3). Saya membongkar kuburan dua belas orang syahid setalah dua-tiga tahun, tidak ada satu pun yang membusuk.
Ada juga cerita tentang seorang syahid, yang telah dikubur tiga hari, jenazahnya dipindah ke kuburan keluarganya. Bapaknya bicara kepada jenazah anaknya untuk memberinya tanda kesyahidan. Tiba-tiba jenazah itu mengangkat tangannya, menyalami tangan bapaknya, dan menggenggamnya erat beberapa saat.
Ada juga hikayat tentang jenazah syahid yang tubuhnya mengeluarkan cahaya. Ada juga hikayat tentang burung-burung yang datang untuk memberi tanda datangnya pesawat musuh. Ada juga hikayat tentang mujahid yang tidak mati dilindas tank. Ada juga hikayat tentang gudang senjata yang tidak pernah habis amunisinya.
Ini semua, menurut Azzam, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah tentang kebenaran jihad Afghanistan. Cerita-cerita ini, yang kebenarannya wallahu a’lam, memukau banyak orang, termasuk anak muda berusia 16 tahun asal Banten. Dia membaca edisi terjemahan buku itu yang berjudul ‘Keajaiban Dalam Jihad Afghanistan, terbit tahun 1985 (saya tidak punya edisi terjemahannya). Anak muda itu, kelak akan menggoncang Indonesia, mengalami situasi magis setelah membaca buku Azzam dan berdoa dapat bergabung dalam kematian bersama syuhada. Doanya terkabul. Melalui jaringan eks-NII, dia berangkat ke Afghanistan pada 1990. Di sana dia bertemu dengan senior yang telah lebih dahulu datang. Namanya Zulkarnaen alias Aris Sumarsono.
Zulkarnaen bukan orang sembarangan. Dia angkatan pertama yang berangkat ke Afghanistan pada 1987. Dia alumnuns ponpes Al-Mu’min Ngruki dan sempat mengecap beberapa semester kuliah di Fakultas Biologi UGM. Dia ikut jaringan usrah yang digembleng di Masjid Jendral Sudirman, Demangan, Jogja. Konon kemampuannya komplet: bisa merakit bom, meramu bahan-bahan bom, dan merekrut pengikut. Orangnya fokus, disiplin, dan ramah tetapi sedikit bicara. Dia bertemu langsung dengan Azzam dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Dia diangkat sebagai panglima laskar khos Jamaah Islamiyah (JI) oleh Abdullah Sungkar dan bertanggung jawab atas seluruh amaliah JI, termasuk Bom Bali dan bom hotel J.W. Marriott Jakarta. Setelah 18 tahun, otak penting ini baru ditangkap pekan lalu. Sementara anak muda asal Banten, yang terpesona dengan kisah magis Azzam, bernama Abdul Aziz alias Imam Samudera, terpidana Bom Bali 2002. Dia dihukum mati pada 2008. Di pengadilan, Imam Samudera mengaku tidak menyesal dan sengaja menjemput kesyahidan. Dia mendapat apa yang diharapkannya.
Setelah dieksekusi mati, dia seumpama subjek yang diceritakan Azzam. Banyak beredar di medsos tentang jenazahnya yang dikabarkan tersenyum. Beberapa tahun setelah kematiannya, masih ada yang membuat narasi begini di bulan lalu: “Jenazah Imam Samudera masih segar meski telah 10 tahun dikubur. Ini diketahui setelah kuburannya hendak dibongkar untuk kepentingan pembangunan jalan.” Meskipun terbukti bahwa itu hoaks, banyak yang menikmati momen-momen glorifikasi kesyahidan. Narasi ini direproduksi untuk menunjukkan bahwa Pemerintah RI, meskipun dipimpin presiden yang beragama Islam, adalah thoghut, anti-Islam, setidak-tidaknya zalim. Mati melawan mereka adalah syahid. Narasi ini nampaknya heroik, tetapi salah dan berbahaya.