Bayangkan ini: Jalaluddin Rumi, penyair sufi Persia abad ke-13, memiliki akun Twitter (X). Foto profilnya sketsa lembut dirinya yang menari berputar-putar. Biografinya tertulis, “Pencinta abadi. Aku menulis apa yang tak bisa diucapkan jiwa dengan lantang.”
Tweet pertamanya: “Jangan tersesat dalam rasa sakitmu. Ketahuilah bahwa suatu hari rasa sakitmu akan menjadi obatmu.” Terdapat 25 ribu retweet dan 102 ribu suka. Komentar mulai dari “ini sangat mengena” hingga “bro, kau cuma meniru Rumi”.
Tunggu sebentar. Dia adalah Rumi. Skenario imajiner ini mungkin terdengar absurd, tetapi ini menyentuh pertanyaan yang lebih mendalam di zaman kita: bisakah spiritualitas sejati bertahan di tengah kebisingan dunia digital? Dan jika suara abadi dan kontemplatif seperti Rumi hidup di masa kini, akankah ia terangkat—atau ditelan—oleh gulungan konten yang terus-menerus?
Seorang Mistikus di Era Distraksi
Rumi hidup di era keheningan, padang gurun, dan perjalanan panjang. Ia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ia merenung. Ia percaya pada pembakaran ego melalui kerinduan, musik, puisi, dan penyerahan diri. Puisi-puisinya lahir dari pengalaman ilahi yang mendalam, bukan dari kebutuhan untuk menjadi viral.
Sekarang bandingkan dengan lanskap modern: notifikasi tanpa akhir, visibilitas yang digerakkan oleh algoritma, dan budaya yang lebih mengutamakan kecepatan daripada keheningan. Saat ini, yang paling lantang sering kali menang, bukan yang paling bijaksana.
Jadi, apa yang akan terjadi jika Rumi menge-tweet? Akankah kata-katanya disalahpahami, direduksi menjadi teks dangkal di bawah swafoto yang berfilter? Atau akankah ia entah bagaimana menerobos kebisingan, mengingatkan orang-orang bahwa jiwa masih dapat berbisik di tengah kegemerlapan digital yang berisik?
Platform media sosial berkembang pesat dengan konten yang singkat dan tajam. Permenungan panjang lenyap dalam batasan karakter. Ambiguitas disalahartikan sebagai kebingungan. Dan kebijaksanaan spiritual? Ia menjadi estetika belaka, dikomersialkan, dan sering kali disalahartikan.
Rumi tidak asing dengan fenomena ini. Bahkan, ia bisa dibilang penyair yang paling sering dikutip dan disalahkutip dalam spiritualitas digital. Tidak sedikit kutipan-kutipan itu bahkan bukan miliknya. Kendati demikian, hal itu tidak menghentikan jutaan orang untuk mengunggah ulang kutipan-kutipan tersebut di Twitter, Instagram, atau Pinterest, yang seringkali dilucuti dari konteks Islam, kedalaman sufistik, atau kekayaan metafisiknya.
“Di luar gagasan tentang kesalahan dan kebenaran, ada sebuah ruang. Aku akan menemuimu di sana.”
Indah? Ya. Namun, kini juga digunakan untuk membenarkan segala hal, mulai dari hubungan pacaran hingga gagasan samar tentang pengembangan diri (self-help). Puisi Rumi tidak pernah dimaksudkan untuk menghiasi cangkir kopi. Puisi itu dimaksudkan untuk mengganggu jiwa agar tercerahkan.
Daya Tarik Pencerahan Cepat
Salah satu alasan Rumi berkembang pesat secara daring adalah karena orang-orang masih mencari, entah makna, transendensi, atau keindahan. Namun demikian, orang-orang menginginkannya dengan cepat serta instan. Kita menginginkan pencerahan dalam kurang dari 280 karakter, dan dengan font serta gambar yang bagus.
Hal ini menciptakan apa yang kita sebut “mistisisme gelombang mikro”, spiritualitas yang cepat, mudah diserap, dan malangnya jarang dicerna. Praktik-praktik mendalam seperti tawakal, sabar, atau zikir diringkas menjadi jargon-jargon pengembangan diri. Prosesnya dikesampingkan, perjuangannya disembunyikan, dan misterinya diratakan.
Seandainya Rumi masih hidup saat ini, mungkin ia akan mengingatkan kita bahwa transformasi sejati bukanlah perjalanan sekali gulir (scroll). Transformasi membutuhkan penghancuran ego, pembakaran, dan pembangunan kembali. Malangnya, mungkin Rumi tidak akan menjadi tren di medsos.
Namun, terlepas dari semua ini, Rumi mungkin masih menggunakan Twitter, bukan untuk menjadi viral, melainkan untuk menemui para pencari di mana pun mereka berada. Lagipula, ia adalah seorang guru, dan guru yang baik memahami bahasa zamannya.
Ia mungkin mencuit, tetapi kemudian meminta kita untuk menutup ponsel pintar kita. Ia mungkin mengutip puisi-puisinya sendiri, tetapi kemudian menantang kita untuk menghayati kata-katanya. Ia mungkin berbisik, bahkan di tengah dunia yang berisik:
“Keheningan adalah bahasa Tuhan, yang lainnya hanyalah terjemahan yang buruk.”
Tantangannya bukanlah apakah kita bisa mengakses suara-suara spiritual daring. Tentu kita bisa. Pertanyaannya adalah bisakah kita mendengarkannya dengan saksama? Bisakah kita menahan keinginan untuk melewatkannya, untuk menikmatinya seperti permen digital? Bisakah kita duduk dengan sebaris puisi hingga menjadi bagian dari doa kita?
Sekali lagi, bagaimana jika Rumi ada di Twitter? Mungkin ia akan lebih jarang mengunggah dan lebih banyak bermeditasi. Mungkin ia akan lebih jarang me-retweet dan lebih banyak berzikir. Mungkin, mungkin saja, ia akan mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak ada dalam algoritma, melainkan di suatu tempat di ruang-ruang yang sering kita lewati.
Di dunia yang tenggelam dalam informasi, mungkin tindakan paling radikal adalah keheningan. Bukan pertunjukan, bukan estetika, melainkan berserah diri. Seperti yang dilakukan Rumi, bukan dengan ring light, melainkan dengan hati yang berapi-api.
Jadi, jika lain kali kita menemukan aforisme Rumi di linimasa medsos kita, mari berhenti sejenak. Jangan hanya “menyukainya”, melainkan buatlah aforisme itu menghancurkan kita. Dan mungkin—mungkin saja—di antara tagar dan tautan, kita dapat mendengar sesuatu yang menghunjam: “Kau bukan setetes air di lautan,” celetuk Rumi, “kau adalah seluruh lautan, dalam setetes air.”

