Adalah Ibn Abbas r.a., sahabat sekaligus khadim, yang setia melayani Rasulullah Saw semasa hidup beliau, dan pernah didoakan secara khusus oleh Rasulullah untuk kecerdasan serta pemahamannya yang baik terhadap agama dan al-Qur’an, pernah ditanya oleh para tabiin tentang hakekat kebahagiaan. Beliau menjelaskan bahwa ada tujuh tanda kebahagiaan hidup seseorang di dunia.

Pertama: Hati yang selalu bersyukur (Qalbun Syakirun). Seseorang yang memiliki hati yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadanya, akan selalu merasa bahagia. Dia sadar sepenuhnya bahwa Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya.

Dia tidak pernah mempertanyakan ketetapan (qadla) serta ukuran (qadar) yang telah Allah tentukan kepadanya. Berapa pun rezeki yang didapat, apa pun peristiwa yang menimpanya, selalu disikapi dan diterimanya dengan syukur dan sabar.

Ketika kesulitan menimpanya, dia akan berpikir positif bahwa pasti ada hikmah di balik kesulitan yang menimpanya itu. Pun ketika kelapangan dan kemudahan tengah dinikmatinya, dia akan segera menyadari bahwa Allah sedang mengujinya, apakah ia akan bersyukur ataukah kufur.

Kedua: Pasangan hidup yang baik (al-Azwaj ash-Shalihah). Kehidupan rumah tangga akan berjalan harmonis ketika sepasang suami istri shalih dan shalihah.

Ada kedamaian dan ketenteraman di dalam rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri yang dilandasi pondasi keimanan dan ketakwaan. Saling asah, asih, asuh menjadi ciri kehidupan rumah tangga yang baik.

Suami sebagai imam dan kepala keluarga menjalankan perannya dengan baik. Memberikan nafkah yang halal, memenuhi kebutuhan keluarga, menjadi panutan di dalam rumah tangga bagi istri dan anak-anaknya. Seorang istri berperan mengurus rumah tangga, menjaga kehormatan dirinya, mendidik anak-anaknya, mendampingi dan melayani suaminya dengan penuh ketulusan dan keihklasan. Betapa bahagia kehidupan rumah tangga yang demikian ini.

Ketiga: Anak-anak yang saleh (al-Aulad al-Abrar). Anak-anak saleh yang taat beribadah kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tua dan bermanfaat bagi sesama adalah permata indah yang akan menghiasi kehidupan kita. Bahkan, kelak ketika kita sudah ada di alam barzakh pun, doa anak-anak saleh tersebut akan terus menerangi kehidupan kita di alam baka sana. Sungguh, anak-anak saleh adalah salah satu sumber kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti.

Keempat: Lingkungan yang baik (al-Bi’ah ash-Shalihah). Lingkungan tempat tinggal kita, tempat kita bergaul dengan masyarakat, tempat kita menghabiskan hidup akan turut menentukan kebahagiaan kita.

Lingkungan yang baik dan kondusif untuk kehidupan kita, lingkungan yang nyaman untuk kita menjalankan aktivitas duniawi (bekerja, mencari nafkah, bergaul) dan ukhrawi (beribadah, beramal saleh) akan menjadikan hidup kita penuh kebahagiaan.

Bersahabatlah dengan orang-orang saleh yang akan mengajak kita kepada kebaikan dan mengingatkan kita ketika berbuat salah. Jika kita berada di lingkungan seperti ini, berbahagialah!

Kelima: Harta yang halal (al-Mal al-Halal). Tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki harta adalah keinginan setiap manusia. Dengannya kita bisa memenuhi kebutuhan hidup ini, mulai dari kebutuhan primer, seperti sandang, pangan dan papan, kebutuhan sekunder berupa perabot rumah tangga serta perangkat teknologi, hingga kebutuhan tersier seperti berlibur, rekreasi dan sebagainya.

Namun demikian, Islam sangat menekankan pentingnya cara memperoleh harta dengan jalan yang baik dan benar sesuai syariat Islam. Dengan kata lain, Islam mewajibkan umatnya untuk mencari harta yang halal. Harta yang halal meskipun sedikit jauh lebih baik dan berkah daripada harta yang banyak dan berlimpah tetapi diperoleh dengan cara-cara haram.

Harta yang berkualitas, yang diperoleh dari jalan yang halal, dan memberi manfaat untuk kehidupan kita, meski tidak banyak, akan memberikan keberkahan dan kebahagiaan dalam hidup ini.

Keenam: Semangat mempelajari agama (Tafaqquh fi al-Din). Dalam sebuah hadis disebutkan, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka Allah akan pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. al-Bukhari)

Maksud dari hadis di atas adalah bahwa ketika Allah menghendaki seseorang menjadi baik, maka Allah akan memberikan pemahaman agama yang baik kepadanya.

Pertanyaannya kemudian, kita sering menjumpai orang-orang yang memiliki pengetahuan agama yang dalam, tetapi perilaku kesahariannya tidak mencerminkan pemahaman agama yang dimilikinya. Mereka justeru makin jauh dari nilai-nilai ajaran agama. Mereka tenggelam dalam perbuatan dosa dan maksiat. Apanya yang salah kalau kenyataannya demikian?

Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah pernah mengingatkan, “Yang disebut orang alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, tetapi orang alim adalah orang yang bisa mengamalkan ilmunya.”

Jika merujuk pendapat Sayyidina Ali tersebut, maka orang-orang yang memahami agama, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan tingkat pemahaman yang dimilikinya tersebut, itu dikarenakan mereka salah dalam mengamalkan ilmunya. Mereka hanya kaya ilmu tapi miskin iman. Karena miskin iman, maka mereka juga miskin amal. Mereka hanya pandai beretorika saja, tetapi tidak memberi teladan. Mereka adalah para pengikut NATO, alias No Action Talk Only.
Allah Swt sangat mengecam keras orang-orang yang berilmu, yang pandai berbicara menyampaikan petuah-petuah agama, tetapi tidak mengamalkan ilmu yang disampaikannya. Dalam Q.S. Ash-Shaff: 3 Allah Swt menegaskan, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Rasulullah Saw juga mengingatkan kita melalui sabdanya,“Barangsiapa makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia semakin bertambah jauh dari Allah swt.”

Dengan demikian, maksud dari tafaqquh fi al-din, yaitu semangat mencari dan mempelajari ilmu agama yang dapat membahagiakan adalah jika dengan ilmu agama yang dimilikinya, seseorang dapat menjalani hidup ini lebih terarah, sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Semakin tinggi ilmunya, semakin cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin baik ibadahnya, semakin mulia akhlaknya. Inilah yang dimaksud dengan tanda kebahagiaan yang disebut Ibn Abbas r.a.

Ketujuh: Umur yang berkah. Makna umur berkah di sini adalah bahwa kesempatan hidup di dunia ini benar-benar dimanfaatkan untuk beramal saleh, berbuat baik setiap saat setiap waktu. Tiada hari yang berlalu sia-sia. Semakin bertambah umur, semakin mulia.

Sungguh malang nasib orang-orang yang tidak memanfaatkan umur yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya. Padahal, sampai kapan jatah hidup kita di dunia ini tidak ada seorang pun yang tahu. Hanya Allah yang Mahamengetahui kapan seseorang akan dipanggil kembali kepada-Nya.

Seseorang yang hanya mengejar kesenangan duniawi semata ketika masa mudanya, maka ketika datang masa tua, ia akan merasakan kekecewaan tiada tara. Beruntung jika dia sempat bertobat sebelum maut menjemputnya. Jika tidak, kesengsaraan akan bertambah di akhirat kelak.

Sebaliknya, seseorang yang ketika muda sudah mempersiapkan bekal, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat kelak, maka di hari tua ia akan merasa bahagia, menikmati hidup penuh ketenangan dan kedamaian. Tidak ada rasa takut, khawatir maupun cemas jika sewaktu-waktu maut menjemputnya. Ia sudah siap menghadapinya dengan tenang.

Demikianlah, keberkahan umur yang dimiliki seseorang akan menjadikannya bahagia di dunia ini, dan juga di akhirat kelak.

Kebahagiaan di Akhirat

Ibn Katsir dalam Kitab Tafsirnya menjelaskan bahwa makna kebaikan di akhirat adalah diselamatkan dari siksa dan penderitaan di alam kubur, dimudahkan pada saaat perhitungan (hisab), rasa aman pada saat pengadilan di padang mahsyar, dan yang tertinggi adalah masuk surga dan mendapat ridla Allah Swt.

Tahapan pertama, sebelum kita menjalani perhitungan di akhirat, kemudian ditentukan tempat yang paling layak buat kita nanti, apakah surga atau neraka, adalah kehidupan kita di alam barzakh atau alam kubur, setelah Allah mencabut nyawa kita.

Sesaat setelah jenazah kita kelak dimasukkan ke dalam liang kubur, tidak lama kemudian akan datang dua malaikat yang akan menanyakan beberapa hal kepada kita. Ketika kita mampu menjawab beberapa pertanyaan tersebut dengan baik, maka saat itulah kebaikan akhirat (baca: nikmat kubur) akan kita dapatkan. Tetapi sebaliknya, jika kita tidak mampu menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh kedua malaikat tersebut, maka kemalangan dan kesengsaran (baca: azab kubur) yang akan kita peroleh. Na’udzu billahi min dzalik.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Ketika seorang mayit telah selesai dikuburkan dan dihadapkan pada alam akhirat, maka akan datang padanya dua malaikat (yaitu Munkar-Nakir) yang akan bertanya kepada sang mayit tiga pertanyaan. Pertama, “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu)? Kedua, “Wa ma dinuka?” (Apa agamamu)? Ketiga, “Wa ma hadza al-rajul alladzii bu’itsa fikum?” (Siapakah orang yang telah diutus di antara kalian ini)?” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Tiga pertanyaan ini merupakan awal dari nikmat atau adzab di alam kubur. Orang-orang yang bisa menjawab pertanyaan tersebut adalah mereka yang paham, yakin dan mengamalkannya selama hidup hingga akhir hayat mereka tetap dalam keimanan. Mereka inilah yang kelak akan mendapatkan nikmat kubur, dan selanjutnya insya Allah mendapat kebaikan dan kebahagiaan di akhirat.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak mampu menjawab ketiga pertanyaan tersebut, karena semasa hidupnya bergelimang dengan kemaksiatan dan dosa, mereka inilah yang akan mendapatkan siksa kubur, dan tentu pada gilirannya akan mendapatkan kesengsaraan dan penderitaan di akhirat nanti.

Dalam Q.S. Ibrahim: 27 Allah Swt menyatakan, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dgn ucapan yang teguh itu dlm kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah akan menyesatkan orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud “ucapan yang teguh” adalah seorang mukmin akan teguh di atas keimanan dan terjaga dari syubhat. Sedangkan di akhirat, ia akan meninggal dalam keadaan husnul hatimah serta bisa menjawab tiga pertanyaan dari malaikat munkar dan nakir.

Setelah melewati alam barzakh, tahap selanjutnya adalah hari kebangkitan (yaum al-ba’ts), dimana pada hari itu seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya kemudian dikumpulkan di padang mahsyar, untuk selanjutnya dihadapkan di pengadilan Allah Swt. untuk dihisab, dihitung amalnya ketika hidup di dunia.

Pada saat itu, ada orang-orang yang akan menerima buku catatan amalnya dari sebelah kanan. Mereka (orang mukmin) inilah yang akan menjalani perhitungan (hisab) dengan mudah. Dan akan kembali berkumpul dengan mukmin lainnya penuh suka cita. Sedangkan orang-orang yang menerima catatan amalnya dari balik punggungnya, mereka akan berteriak, “celaka aku”, dan akan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala. Demikian dijelaskan dalam Q.S. al-Insyiqaq: 7-12.
Tahap selanjutnya, orang-orang mukmin akan ditempatkan di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan serta diridali Allah. Sementara orang-orang kafir akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Na’udzu billahi min dzalik.

Betapa indahnya hidup ini, jika kebaikan di dunia sudah kita raih, kebaikan dan kebahagiaan hidup di akhirat pun kita dapatkan. Tentu, ini merupakan harapan setiap orang yang beriman kepada Allah Swt. Semoga kita termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang beriman, yang kelak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Amiin.

* Ruang Inspirasi, Ahad, 1 Mei 2022.

Komentar