Alfin Miftahul Khairi*
Bahagia itu sederhana yaitu kumpul dengan keluarga. Atau bahagia itu jika kita bisa tersenyum. Dan yang sering kita dengar ‘Jangan Lupa Bahagia’. Pemaknaan kata ‘Bahagia’ sangat multi tafsir. Tergantung kita mengambil dari perspektif mana. Situasi, materi atau hati. Semua benar. Seperti perempuan yang selalu benar, eh.
Sangat sulit memaknainya jika kita dalam kondisi terpuruk. Tertimpa musibah. Atau kondisi diri dalam mode bad mood. Sepertinya ingin segera mengakhiri hidup ini saja (maaf, ini lebay). Tapi kenyataannya memang semua tergantung dari kondisi hati. Karena multi tafsir, maka semua orang bisa memaknainya dengan sesuka hati.
Buya Hamka menggaris bawahi makna bahagia itu. Dalam bukunya Tasawuf Modern (2016), beliau memaknai sebagaimana apa yang diajarkan oleh Al-Ghazali. Bahagia erat kaitannya dengan nikmat Allah. Meskipun begitu nyata dan tidak dapat dihitung nikmat-nikmat Allah yang ada di dunia ini, tapi secara garis besar tingkatannya terbagi menjadi lima bagian.
Bagian Pertama, Bahagia akhirat. Bahagia yang hakiki. Karena semua akan menuju ke alam baka. Tidak ada jabatan, gelar, harta, kedudukan, apalagi kenalan orang dalam. Semua sama rata dalam pandangan-Nya. Kecuali orang yang bertaqwa. Taqwa lah yang membedakan kedudukan kita di hadapan Tuhan.
Tetapi tidak ada yang menjamin kita akan sampai ke sana (akhirat) tanpa seizin Tuhan. Dia lah yang bisa menunjukan umat-Nya, mana jalan yang diridhoi dan mana jalan yang dimurkai. Tidak akan tercapai pula nikmat yang pertama tanpa melewati terlebih dahulu nikmat bagian kedua.
Bagian Kedua, Keutamaan akal budi. Keutamaan akal budi terbagi pula menjadi empat bagian: Pertama, sempurna akal. Sempurnanya akal ialah dengan ilmu. Kedua, ‘iffah (dapat menjaga kehormatan diri). Sempurnanya ‘iffah ialah dengan wara’, artinya tiada peduli bujukan manisan dunia. Ketiga, syaja’ah, yakni berani karena benar, takut karena salah. Sempurnanya syaja’ah ialah dengan jihad (jihad dengan makna yang sebenarnya, tanpa menghunus pedang dan mengangkat senjata). Keempat, keadilan. Sempurnanya keadilan ialah dengan insaf.
Dengan keempatnya sempurnalah akal budi. Dengan sempurna akal budi timbul perasaan wajib mengerjakan perintah agama. Dengan kesadaran diri dan tanpa paksaan.
Manusia sadar bahwa dia dilahirkan di dunia ini memang untuk beribadah kepada-Nya. Tidak akan sempurna bagian kedua jika belum melaksanakan bagian ketiga.
Bagian Ketiga, Keutamaan yang ada pada tubuh. Terkandung pula apa yang ada dalam keutamaan dalam tubuh itu empat perkara; Pertama, sehat. Kedua, kuat. Ketiga, elok, yaitu gagah bagi laki-laki dan cantik bagi perempuan. Keempat, umur panjang.
Bagian Keempat, Keutamaan dari luar badan. Keutamaan dari luar badan ini mengandung pula akan empat kecukupan. Pertama,kaya akan harta-benda. Kedua, kaya dengan keluarga, anak-istri, kaum-kerabat. Ketiga, terpandang dan terhormat. Keempat, mulia keturunan atau dari nasab yang baik.
Bagian Kelima, Keutamaan yang datang lantaran taufik dan pimpinan Allah. Mengandung empat perkara pula. Pertama, hidayah Allah (petunjuk). Kedua, irsyad Allah (pimpinan). Ketiga, tasdid Allah (sokongan/dukungan). Keempat, ta’jid Allah (bantuan.
Dengan ini nyatalah bahwa ada lima tingkatan dan keutamaan yang harus kita tempuh untuk mencapai mahligai bahagia itu. Yaitu mencapai bahagia akhirat dengan membahagiakan budi, tubuh luar, jasad, dan pimpinan. Yang saling berkaitan, tidak dapat dipisahkan. Rasulullah saw sudah menganjurkan bagi umatnya untuk selalu mengamalkan doa sapu jagad. Agar hidup lebih seimbang dan tidak timpang. Antara dunia dan akhirat. So, sudahkah Anda bahagia?
*Dosen Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta.