Abd. Halim*

Suatu hari saya ngopi di sebuah warkop milik salah satu sahabat saya di Yogyakarta. Nama warung kopinya adalah Secangkir Jawa. Warkop ini terletak  bawah samping jembatan di daerah Maguwoharjo, Sleman. Yang membuat menarik dari warung kopi ini adalah tempatnya sangat asri, di samping warkop masih banyak pepohonan rindang. Ditambah lagi, tepat di samping warung ini ada sungai yang cukup besar mengalir.

Pada waktu itu, saya sedang makan di samping sungai sambil memandangi pemandangan alam yang sangat indah. Nah, di tengah-tengah makan, tiba-tiba ada sesuatu yang membuat saya terhenyak karena ada sesuatu yang lewat di hadapan saya, berwarna kuning, yang ternyata itu adalah kiriman beol dari ujung antah berantah. (Maaf, jika bahasa kurang sopan).

Sontak, nafsu makan saya menjadi berkurang dan berada dalam kondisi yang tidak mengenakkan sama sekali. Saat itu, saya sebel sekali dan langsung update status, dengan kata-kata “Wow, natural sekali, ‘Secangkir Jawa’” Teman-teman saya di dunia maya yang tidak memahami konteks status saya itu langsung ikut berkomentar tanpa mengetahui duduk persoalannya. Akhirnya, percakapan berjalan apa adanya dan tidak nyambung.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini adalah betapa pentingnya memahami sesuatu dengan konteksnya. Sebuah pesan yang disampaikan memiliki konteksnya masing-masing. Tanpa memahami konteks, seseorang sering tergelincir kepada kesalahan bahkan kesalahan yang sangat fatal sekali.

Konteks ini jika dalam kajian al-Quran disebut asbab nuzul. Hamiduddin al-Farahi menyebutnya dengan sya’nun nuzul. Sedangkan dalam kajian hadis, ia disebut dengan asbab wurud al-hadis. Yakni konteks yang mengitari sebuah pesan lahir. Para ulama sepakat bahwa tanpa memahami asbab nuzul dan asbab wurud al-hadis ini, seseorang tidak akan bisa memahami al-Quran dan hadis dengan baik.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita juga banyak menemui pernyataan atau pesan yang dipotong konteksnya sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Salah satu contohnya adalah Prof. Quraish Shihab yang sedang menjelaskan hadis tentang  semua orang masuk surga karena rahmat Allah bukan karena amalanya. Penjelasan ini dipotong konteksnya dan menjadi sebuah narasi baru bahwa Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa Rasulullah Saw. tidak dijamin masuk surga. Akhirnya, beliau klarifikasi pernyataan beliau karena menimbulkan banyak kegaduhan.

Kasus lain, misalnya video yang menayangkan cuplikan pernyataan Gusmus dalam konteks tertentu yang kemudian dipotong konteksnya dan digabungkan dengan persoalan pilpres seolah-olah beliau mendukung salah satu paslon dan mengkritik paslon presiden yang lain.

Kasus lain juga misalnya adalah Kiai Said Aqil yang sedang ceramah di hadapan kader NU yang memberikan semangat kepada kadernya untuk ambil bagian dalam berbagai bidang, termasuk bidang agama untuk menjadi imam-iamam dan pimpinan di mushalla dan masjid-masjid. Pernyataan ini dipotong konteksnya kemudian melahirkan narasi baru yang keluar dari pesan yang disampaikan.

Pemahaman terhadap suatu pesan atau kejadian di luar konteks seringkali menimbulkan kegaduhan dan kekisruhan karena pesan yang sebenarnya baik berubah menjadi pesan yang tendensius dan sinis. Pesan tersebut diberi penjelasan tambahan, di-framing sedemikian rupa sehingga menyulut emosi khalayak ramai, terutama di media sosial.

Oleh karena itu, di bulan Ramadan ini, penting bagi kita untuk menahan diri untuk tidak berkomentar terhadap apa yang sebetulnya tidak kita pahami secara utuh. Alangkah bagusnya pesan Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa “Beruntung orang yang menahan kelebihan dari ucapannya” jadi, ucapan, perkataan dan omongan itu seperlunya saja tidak usah berlebihan.

Ada pesan yang sangat bagus sekali dari Imam Ja’far Shadiq. Beliau adalah guru imam Hanafi dan Imam Maliki. Dalam sebuah kesempatan, beliau menyatakan, “Min akhlâqil jâhil al-Ijâbah qabla an yasma’, wal mu’âradlah qabla an yafham, wal hukmu bimâ la ya’lam.”

“Diantara ahlak orang dungu ialah: menjawab sebelum mendengar yg sebenarnya; membantah sesuatu padahal ia belum faham  permasalahannya; menghakimi sesuatu padahal ia tidak punya ilmunya.

Mari berhenti menjadi orang dungu dan orang bodoh dengan tidak mengomentari segala sesuatu yang kita belum paham!

 

 

Komentar