Terdapat beberapa hal menarik yang dapat kita catat dan cermati pada tulisan Noor Huda Ismail di Kompas (16/5/19) yang berjudul Teroris Amatir yang Berbahaya. Tulisan itu diawali dengan apresiasi kepada Densus 88 yang berhasil menggagalkan rencana teror ISIS di Sibolga, Lampung dan Bekasi. Hanya saja, menurut saya, bagian menariknya bukan pada rencana teror itu, tapi cerita tentang Gigih Rahmat Dewa yang dikisahkan Noor Huda Ismail.
Gigih Rahmat Dewa adalah pemimpin jaringan teror di Batam. Noor Huda Ismail bertutur: ketika di Batam, Gigih ingin menjadi suami dan bapak yang baik. Karena itu, ia mulai belajar agama. Akibat kesibukan bekerja di sebuah perusahaan Jepang di Batam dan menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, Gigih memilih belajar agama online.
Sampai di sini ada hal yang menarik. Bukan tentang Gigih yang berada di Batam atau bekerja di sebuah perusahaan Jepang, tapi tentang “belajar agama online”. Ya, karena kesibukan, Gigih memilih jalan yang praktis, cepat dan mudah. “Belajar agama online” adalah jawaban. Ia tak memilih mendatangi masjid-masjid, kajian-kajian atau mejelis-majelis yang ada di Batam.
Nahasnya, Gigih justru bertemu kelompok radikal saat “belajar agama online”. Menurut Noor Huda Ismail, kelompok radikal mampu menyajikan informasi tentang Islam dengan kreatif dan menarik di dunia maya. Dan di dunia maya (Facebook) Gigih bertemu dengan Bahrun Naim. Dari sanalah segalanya bermula.
Mesti diakui, kehadiran internet, masifnya penggunaan sosial media dan murahnya harga gawai memudahkan persebaran konten radikal. Noor Huda Ismail melihat persebaran konten radikal di era dulu hanya berkutat di wilayah tertentu, di daerah-dearah konflik saja misalnya. Namun, karena internet bersifat “tanpa batas” konten itu kini menyebar ke banyak tempat.
Salah satu solusi yang kemudian ditawarkan adalah dengan memenuhi internet dengan konten-konten Islam moderat/wasatiyah. Kabar baiknya, para kiai/ustadz berpaham moderat mulai banyak hadir di di media sosial. Sebut saja misalnya Gus Mus, Nadirsyah Hosen dll. Sejumlah laman yang teguh menyuarakan Islam damai juga terus bermunculan. Seperti islami.co, alif.id, islamsantun.org dll.
Noor Huda Ismail menyebut para teroris amatir itu sebagai orang-orang yang beragama secara dangkal. Sebagian adalah orang yang baru bertobat lalu belajar Islam tanpa pembimbing (Gigih misalnya, dulunya ia pernah jadi atheis dan cukup ikonik karena rambutnya dicat hijau). Sebagian lagi adalah orang yang sudah merasa memahami agama dengan belajar via Telegram, Youtube dan Facebook.
Solusi lain yang diajukan adalah pentingnya literasi digital. Anak-anak muda, yang masih sering bimbang dan galau itu, harus mendapat perhatian para orangtua, terutama dalam memanfaatkan internet. Salah-salah mereka mereka tersesat ke lorong radikal yang gelap dan pengap. Sudah banyak cerita tentang anak-anak muda yang direkrut masuk kelompok teroris melalui media sosial.
Tulisan Noor Huda Ismail di Kompas adalah peringatan bagi kita. Terutama bagi kita yang banyak berinteraksi dengan anak-anak muda. Adalah suatu keniscayaan bahwa mereka hari ini banyak menghabiskan waktu di media sosial. Namun, mereka harus terus ditemani. Pelarangan total tentu bukan jalan keluar yang baik.
Selain butuh teman/pembimbing, mereka juga butuh “obor”. Saya selalu mengibaratkan berselancar di internet dan sosial media adalah seperti berjalan di sebuah hutan yang luas dan lebat pada malam hari. Tanpa membawa obor sebagai penerang, mereka bisa terperosok ke jurang, jatuh terantuk akar pohon, bahkan diterkam hewan buas. Lalu, dari mana obor itu bisa kita dapat?
Pendidikan yang baik adalah kunci. Belajar agama kepada ahlinya merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Pesantren dapat menjadi jawaban. Pun begitu, tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan ke pesantren. Peran orangtua dan keluarga juga mesti optimal. Jika hal tersebut dilakukan, semoga terorisme dan radikalisme yang menyasar anak muda dapat terkikis.