Ketika istilah hijrah semakin populer akhir-akhir ini, sejumlah mahasiswa saya bertanya: sebenarnya apa itu hijrah? Selama ini mereka melihat artis-artis yang menyatakan diri telah hijrah di layar kaca. Yang paling mencolok dari hijrah para artis adalah dalam hal busana. Jika perempuan, mereka “hijrah” dari tak berhijab menjadi berhijab, sedangkan para laki-laki tampil dengan celana di atas mata kaki dan berjenggot. Kesalehan simbolik yang oleh sebagian muslim “disembunyikan”, oleh beberapa pelaku hijrah malah ditampilkan di ruang publik.

Hanya saja sebagian mahasiswa masih bertanya-tanya: seperti itukah hijrah? Mereka tidak puas dengan hijrah yang ditampilkan di televisi dan medsos. Lebih-lebih bagi sebagian mahasiswa hijrah bermakna sederhana: berpindahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Mereka mencari tahu perbedaan hijrah dan taubat, bertanya sejak kapan istilah hijrah muncul dan mengapa kini makin menjamur komunitas-komunitas hijrah.

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu saya merasa terbantu dengan penjelasan Habib Husein dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta. Di acara itu Habib Husein menjelaskan dengan gamblang sisik melik hijrah. Diskusi soal hijrah di acara itu juga diperkaya dengan perspektif Ismail Fajrie Alatas (dosen New York University), Moch. Bukhori Muslim (Sekjen Lembaga Dakwah PBNU), Sakdiyah Ma’ruf (komika), Yuki Arifin (musisi hijrah).

Habib Husein menjelaskan bahwa secara substansial hijrah adalah bergerak dari kagelapan menuju terang cahaya. Namun, yang perlu dicatat, hijrah bukan hanya perkara fisik tapi batin. Hal utama dan pertama yang harus dihijrahkan sebetulnya adalah hati, bukan pakaian. Sebab hati adalah penggerak segala sesuatu.

Satu pertanyaan menggelitik muncul dari pembawa acara: apakah jika hati sudah hijrah maka pakaian wajib ikut hijrah juga? Habib Husein, pemilik channel Youtube Jeda Nulis itu menjawab jika Islam memang mengatur soal menutup aurat, namun jenis pakaian untuk menutup aurat dibebaskan. Tak menjadi soal memilih berbatik, berjubah, bersarung, bercelana, berkaus atau apapun. Sesuai konteks lebih baik. Maka, jika telah memilih “hijrah” tidak wajib memakai jubah atau surban biar seolah Islami.

Benar belaka apa yang disampaikan Habib Husein: hati adalah kunci. Tentu akan lucu sekali jika misalnya seorang dengan jilbab lebar tapi gemar membagikan kabar bohong, atau berjubah dan berjenggot tapi suka menebar kebencian.

Selanjutnya, Habib Husein menyampaikan bahwa hijrah itu harus karena Allah dan untuk Allah, bukan yang lain. Bukan agar follower di medsos bertambah, karier di dunia hiburan menanjak naik, atau biar bisnisnya makin melejit.
Lantas, apa ukuran hijrah yang “berhasil”? Masih menurut Habib Husein, ukurannya adalah akhlak. Mereka yang memutuskan hijrah mestinya memiliki akhlak yang semakin baik, terutama dalam interaksi dengan sesama. Karena memang Islam bukan hanya perkara hubungan manusia dengan Allah semata, namun juga hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Adapun tantangan berat para pelaku hijrah justru ada pada “pakaian hijrah”. Jangan sampai pakaian itu justru menghadirkan kesombongan. Apalagi pakaian hanyalah fase awal dalam hijrah. Intisari dari hijrah, sebagaimana disampaikan di awal, adalah akhlak atau baiknya budi. Pun demikian, cara berpakaian yang berubah sedemikian rupa bukan merupakan hal yang salah. Walakin, jangan sampai pemakainya merasa paling suci daripada orang lain dengan pakaian itu.

Saya jadi teringat unggahan seorang kawan di Twitter: mampu salat Subuh berjamaah di masjid secara rutin adalah hal baik, namun menjadi buruk jika salat Subuh berjamaah di masjid itu malah mendatangkan rasa sombong dan angkuh.

Lebih jauh, Habib Husein membagi hijrah menjadi empat: hijrah spiritual, hijrah kultural, hijrah filosofis, dan hijrah sosial. Empat macam hijrah itu merupakan satu kesatuan utuh. Jika empat macam hijrah itu dapat dipahami secara menyeluruh, niscaya kita terhindar dari jebakan pemaknaan hijrah yang sempit.

Diskusi tentang hijrah di stasiun televisi swasta itu menjadi salah satu diskusi terbaik tentang hijrah yang pernah saya tonton. Diskusi yang semoga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa saya. Terima kasih, Bib.

Komentar