Menghadapi pandemi, setiap orang kiranya harus siap dengan sejumlah perubahan dan kejutan. Perubahan terlihat tidak hanya pada bidang ekonomi dan pendidikan tapi juga dalam hal beragama. Dibolehkannya mengganti salat Jumat di masjid dengan salat zuhur di rumah misalnya. Pandemi mengajarkan kita: beragama mesti kontekstual dan berbasis akal sehat.

Laku beragama yang berubah juga dapat dilihat saat masuk bulan Ramadan. Ramadan tahun ini terasa berbeda dari sebelumnya. Anjuran untuk tidak berkerumun membuat tradisi buka puasa bersama yang marak di bulan puasa kini nyaris tak ada. Kalupun ada hanya di rumah bersama keluarga. Demikian juga salat tarawih dan salat subuh berjamaah di masjid yang lazimnya disambung dengan kultum. Begitu pula dengan salat Idul Fitri dan silaturahmi di hari lebaran. Semua ibadah dianjurkan untuk dilakukan dari rumah.

Beberapa penyesuaian tersebut dapat dimaklumi karena kondisinya memang tidak memungkinkan. Perlu dipahami, bukan ibadahnya yang dilarang, tapi berkerumun atau berkumpulnya yang sementara ini dibatasi. Ibadah jalan terus, tapi dari rumah. Sebagai efek dari kondisi itu, tak aneh jika banyak orang menyesap pengetahuan agama melalui internet, sesuatu yang dapat mereka lakukan dari rumah sambil rebahan dengan bermodal gawai dan paket data.

Menjalankan ibadah puasa sambil mengikuti anjuran untuk tetap di rumah membuat sejumlah orang memiliki lebih banyak waktu luang. Sebagian besar mengisi waktu luang dengan mengakses internet (media sosial). Salah satu platform yang banyak diakses netizen selama Ramadan di rumah adalah Youtube. Youtube menyediakan beragam konten, mulai dari kuliner hingga ceramah agama.

Di Youtube kita bisa mendapatkan konten-konten keagamaan dari tokoh-tokoh agama yang mumpuni. Salah satu contohnya adalah program Shihab dan Shihab di channel Youtube presenter kondang Najwa Shihab. Tanya jawab agama beraneka tema yang tayang sebelum berbuka itu menjadi asupan bergizi di bulan Ramadan. Lebih-lebih diisi oleh Habib Quraish Shihab yang tak diragukan lagi kedalaman ilmunya.

Selain itu, ada pula channel Youtube dengan konten keislaman yang cocok untuk anak muda, yakni channel Jeda Nulis. Channel tersebut dikelola oleh Husein Ja’far Al Hadar atau yang populer dengan panggilan Habib Ja’far. Konten Youtubenya menarik karena mengajak netizen untuk beragama dengan pikiran jernih dan ber-Islam dengan penuh cinta. Habib Ja’far juga sering berkolaborasi dengan para komika, menghasilkan konten-konten segar dan sarat makna.

Habib Ja’far, kita tahu, semakin moncer lantaran menjadi tamu Deddy Corbuzier podcast. Di episode yang menuai 12 ribu komentar dan 63 ribu like itu Habib Ja’far mengatakan musik yang haram adalah suara sendok dan garpu saat kita makan dan terdengar oleh tetangga kita yang kelaparan. Tak mengherankan jika episode “Islam Newbie ketemu Habib Ja’far” yang gayeng itu mendapat banyak komentar positif.

Hari ini, di Youtube kita juga menjumpai channel RDK Mardliyyah UGM. Selama Ramadan channel tersebut menyajikan konten berkualitas, berisi ceramah para tokoh agama dan cendekiawan muslim. Misalnya saja ceramah mengenai hakikat hijrah yang disampaikan oleh Prof. Noorhaidi Hasan. Ceramah itu membuka wawasan kita mengenai fenomena hijrah yang banyak kita jumpai pada muslim kelas menengah perkotaan. Channel tersebut juga membuat ceramah Ahmad Rafiq, Ph. D, Dr. Nur Rafiah, Prof. Haedar Nashir, Prof. Amin Abdullah, Prof. Oman Fathurrahman, dll.

Kita butuh lebih banyak konten-konten keren semacam itu di Youtube. Sebelum pandemi sebetulnya kita sudah bisa menyimak ceramah/pengajian tokoh-tokoh agama yang berkualitas di Youtube, Cak Nun dan Gus Baha’ misalnya. Kita bersyukur, kini jumlahnya terus bertambah, makin variatif dan peka zaman. Youtube hari ini juga kebanjiran “dokumentasi” ngaji online yang banyak diadakan para kiai di bulan puasa. Tentu ini menggembirakan.

Youtube sudah sejak lama menjadi “sarana pelepas penat” kawula muda, khususnya di perkotaan. Perlahan tapi pasti, Youtube tampak mulai menggeser eksistensi televisi. Semata karena variasi tayangan dan kualitas konten yang tersaji. Kita beruntung sejumlah tokoh agama dengan ilmu yang tak diragukan turut merambah jagat Youtube. Ada alternatif ketika (untuk sementara waktu) kita tak bisa ke masjid dan mejelis-majelis.

Dunia maya, bagaimanapun, memang berbeda dengan dunia nyata. Pun demikian, “belajar agama” di ranah virtual layak dipertimbagkan di tengah kepungan wabah seperti sekarang ini. Bukankah salah satu kunci sukses menghadapi pandemi adalah adaptasi?

Komentar