Khoirul Anam*

Ramadan kali ini terasa cepat berjalan, baru saja ia datang, tak terasa kini kita sudah hampir ada di pertengahan. Artinya, tak lama lagi Ramadan yang dinanti akan segera berlalu pergi. Sebelum perpisahan itu tiba, ada baiknya kita menengok kembali apa yang sudah kita perbuat di bulan yang menjadi surga untuk bertaubat.

Islam memerintahkan umat Muslim untuk berpuasa agar kita bisa turut merasakan menderitanya kaum papa. Mereka tak makan dan minum dengan cukup, bahkan untuk sekadar bertahan hidup. Kerap kali mereka lalui hari dengan kondisi perut terus berbunyi; minta diisi. Meski begitu, ibadah ini tidak dimaksudkan untuk membuat umat Muslim menderita, sebaliknya, dengan turut merasakan susah, umat Muslim diharapkan dapat belajar dan sekaligus merenungi nikmat Tuhan yang maha pemurah.

Tidak makan dan minum serta melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejatinya adalah latihan, tak hanya untuk tubuh, melainkan —dan ini yang utama—untuk jiwa. Puasa mengajarkan kita untuk belajar menahan. Tak semua hal yang diinginkan harus segera terkabulkan. Ada masanya, kita harus menunggu, bijak terhadap waktu.

Bulan puasa seharusnya menjadi momen untuk gantian. Kita yang terbiasa makan dan minum enak seyogyanya memberi kesempatan kepada orang yang tak seberuntung kita untuk gantian turut menikmati dunia. Caranya, dengan memperbanyak shodaqoh, berbagi rejeki terhadap sesama. Puasa sebaiknya memang tidak dirayakan dengan heboh-hebohan melahap buka puasa hingga lupa terhadap orang lain yang mungkin sedang kesusahan merutuki nasibnya.

Lebih dari sekadar urusan perut, puasa mengajarkan kita untuk tak mudah marah, terutama terhadap orang lain yang tak melakukan salah. Karenanya, puasa tak boleh disesaki dengan misalnya, adegan razia di warung-warung makan. Apa salahnya orang makan di siang hari di bulan Ramadan? Apa pula salah penjaja warung yang mencari rejeki dengan cara halal? Ingat, penjaja warung itu menjual makanan, bukan kebohongan yang dibungkus firman Tuhan.

Memang menyenangkan jika ibadah kita dihormati oleh orang lain, namun penghormatan tak boleh datang dari paksaan. Itu sebabnya, tak ada guna melakukan razia terhadap orang yang tak berpuasa. Biarkan Tuhan yang maha adil saja yang mengurusnya. Sementara kita sebaiknya fokus terhadap ibadah masing-masing. Jangan sampai, kita yang ibadah, orang lain yang kena susah.

Melalui latihan menahan selama Ramadan, kita diajarkan untuk dewasa dalam menghadapi perbedaan. Kita memang tak harus selalu bersetuju terhadap suatu hal, namun ketidaksetujuan tersebut tak boleh dijadikan landasan untuk berbuat tak sopan.

Mari isi bulan Ramadan dengan ibadah dan doa mohon ampunan, tak perlu marah dan bertindak onar tak karuan. Semoga Allah menerima ibadah kita dan menjadikan kita lebih dewasa dalam berislam dan berindonesia.

Komentar