Suatu hari di bulan Puasa, serombongan kiai dari Jawa Timur pulang dari rapat di kantor PBNU Jakarta dengan mengendarai mobil. Siang hari perjalanan sampai di daerah Tegal. Sebagai musafir, mereka punya hak untuk membatalkan puasa (rukhsah). Akhirnya para kiai itu sepakat mencari warung untuk makan siang. Karena puasa, banyak warung yang tutup di siang hari. Saat melewati pasar, mereka menemukan ada warung sate yang buka. Warung itu terletak di pinggir jalan tidak jauh dari pasar. Meski tertutup rapat dengan kain, namun bau sate itu menyebar kemana-mana membangkitkan selera.

Mencium bau sate dan melihat warung yang tertutup kain, salah seorang kiai turun dan mencoba mengintip untuk meyakinkan apakah warung itu benar-benar buka. Melihat ada seorang berpakaian surban mengintip warung, pemilik warung mulai curiga dan mulai merapikan dagangannya. Setelah yakin warung buka, para kiai yang ada di mobil segera menyusul turun. Melihat rombongan kiai berpakaian sarung, kopyah dan sorban turun mendatangi warung, sang pemilik ketakutan dan menyembunyikan diri.

Karena warung sepi, para kiai itu berteriak memanggil si penjual, tapi tidak ada sahutan. Mendengar para kiai berteriak memanggil-manggil, si penjual menjadi semakin panik dan ketakutan. Karena tidak ada sahutan, akhirnya salah seorang kiai masuk ke bilik yang ada di warung, mencari si penjual. Kiai tersebut mendapati si penjual sedang sembunyi di balik lemari. Saat melihat sang kiai masuk bilik dan mendapati dirinya, langsung saja si penjual itu bersimpuh mohon ampun di depan kiai.

“Ampun kiai, saya mohon maaf. Bukannya saya tidak menghormati bulan Ramadan, tapi saya buka warung untuk melayani para musafir dan orang-orang yang sedang udzur puasa. Mohon dagangan saya jangan disita kyai, ampun…” Demikian kata sang penjual sambil menghiba. Rupanya dia mengira kedatangan para kiai itu untuk mensweping dan menutup warungnya yang buka di siang hari saat Ramadan.

“Lho Sampean ini bagaimana?” kata sang kiai santai. “Kami datang ke sini ini justru pingin makan, kami ini musafir jadi boleh tidak puasa. Ayo cepat bikin sate, kami semua sudah lapar” Bentak sang kyai sambil tersenyum.

Mendengar jawaban kiai, seketika hilang rasa takut sang penjual sate. Wajahnya yang tegang berubah jadi sumringah. Segera saja dia cium tangan kiai dan bergegas menyiapkan sate untuk para kiai. Karena saking bahagianya warungnya didatangi para kiai, penjual sate itu menggratiskan semua makanan yang dimakan para kiai. Tapi para kiai itu tetap membayar:

“Sampean kan sudah menolong kami menyediakan makan di tengah hari bulan puasa. Kalau tidak ada sampean kami semua bisa kelaparan. Sudah ini diterima, anggap saja sebagai hadiah dari kami” Demikian kata salah seorang kiai sambil menyerahkan uang.

Kisah ini diceritakan Gus Dur kepada kami ketika muncul fenomena sweeping warung di bulan Ramadan. Menurut Gus Dur, peristiwa ini terjadi pada tahun 70-an, ketika transportasi massal belum semassif sekarang. “Ini bedanya kiai zaman dulu dengan orang-orang jaman sekarang.  “Dulu ada kiai yang cari warung supaya buka saat puasa, atas nama perutnya. Sekarang banyak ustadz cari warung untuk ditutup saat puasa atas nama agama” demikian kata Gus Dur saat menceritakan kisah ini.

Cerita ini menggabarkan bagaimana cara beragama para kiai yang manusiawi, wajar dan biasa-biasa saja. Cara para kiai beragama ini tidak ribet dan membebani, apalagi menakutkan. Melalui laku hidup yang biasa-biasa saja ini agama menjadi mudah dipahami dan diamalkan. Kasus ini menggambarkan bagaimana  para kiai mengajarkan pengamalan QS. Al-Baqarah; 185: Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” Ayat ini tidak saja diajarkan di mimbar pengajian, tetapi langsung dipraktekkan dalam laku hidup.

Beragama yang biasa-biasa saja ini menjadi ciri khas para ulama dan kiai sepuh. Ini bukan berarti menyepelekan ajaran dan syareat agama. Sebaliknya melalui beragama yang biasa-biasa saja ini mereka ingin memberikan kesan pada masyarakat awam bahwa ajaran agama itu bisa dilaksanakan oleh siapa saja sesuai dengan kadar kemampuannya. Syariat Islam itu bukan sesuatu yang elitis yang hanya bisa dijalankan oleh mereka yang benar-benar suci. Melalui cara ini, orang-orang awam tidak merasa berjarak dan sungkan bergaul dengan para kiai dan ulama sekalipun mereka masih belum bisa menjalankan syariat agama secara penuh. Bagi para kiai, perasaan orang yang seperti  ini menjadi modal utama untuk melakukan dakwah dan mengajarkan Islam pada mereka.

Kedua cara beragama yang biasa-biasa saja sebagaimana yang dipraktekkan para kiai di atas merupakan contoh bahwa agama itu tidak membebani umatnya. Ibadah itu harus dilakukan secara enjoy dan menyenangkan. Orang tidak boleh memaksakan diri untuk beribadah saat menghadapi kesulitan. Apalagi sampai menyakiti dan membahayakan diri sendiri. Sikap ini  tercermin dalam QS al-Baqarah; 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.

Dari sini lahir kaidah fiqh “idza dzaaqal amru ittsyaq, waidza tasyaqa dzaqa” (ketika ada masalah yang sempit maka lapangkan, dan ketika lapang/liar maka sempitkan/tertibkan). Dalam melaksanakan syariat agama ada juga kaidah “yassir wala tuassir” (permudahlah jangan dipersulit). Kaidah ini untuk membuat orang tidak merasa berat dalam menjalankan syariat Islam karena berhadapan dengan berbagai kesulitan. Pesan ini disampikan para kiai dalam kalimat sederhana: “beragamalah yang enak tapi jangan seenaknya”. Kalimat sederhana yang memiliki makna dalam karena berasal dari kearifan yang tulus dan mendalam. Agama mengharuskan umatnya berbahagia tanpa melecehkan atau menyepelekan agama. Kira-kira begitu makna dari pesan para kiai sepuh dahulu.

Ketiga, sikap bergama yang biasa-biasa saja dari para kiai itu merupakan upaya untuk menjaga diri dari sikap sombong dan riya’. Dengan kata lain, sikap biasa-biasa saja ini merupakan cara para kiai menjaga hati agar tetap bersih. Mereka tidak ingin penampilan dan sikap yang agamis, jaim dan moralis itu justru mengotori hati. Inilah bentuk sikap wira’i dari para kiai, tidak mentang-mentang dan merasa paling suci kemudian memaksa dan menekan orang lain agar mengikuti cara-cara beragama mereka karena menganggap cara beragama orang lain itu belum kaffah. Perasaan inilah yang menimbulkan budaya sweeping dan caci maki dengan alasan menghormati orang yang berpuasa.

Cara-cara beriagama yang biasa-biasa saja namun penuh kearifan ini yang membuat agama menjadi dirindukan oleh setiap orang, temasuk mereka yang awam dan belum bisa menjalankan syariah sebagaimana mestinya. Mengajarkan agama memang tidak cukup dengan tekanan dan ancaman tapi diperlukan kearifan dan kesabaran, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ulama dan kiai sepuh Nusantara. Rasanya kira perlu berguru pada mereka tentang makna kesabaran dan kearifan agar bisa beragama yang biasa-biasa saja untuk bisa membuat hati menjadi luar biasa.****

 

Komentar