Terdapat sebuah hadis yang masyhur yang seringkali disebut oleh umat Muslim dengan redaksi, “al-jannatu tahta aqdamil ummahat” (syurga itu ada dibawah telapak kaki ibu). Secara redaksional, hadis tersebut tidak akan kita temukan didalam kitab hadis manapun, kecuali dalam beberapa kitab akhlak dan adab, beberapa di antaranya disebut dalam kitab: “al-Jāmi’ li Akhlāq al-Rāwi wa Adāb al-Sāmi’” yang ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (1002-1071 M).
Semetara itu, kemudian terdapat “Musnad al-Syihāb” karya al-Qadli Muhammad bin Salamah al-Qudha’i (w. 454/1062); terdapat juga dalam kitab “al-Kuna’ wa al-Asmā” yang ditulis oleh Abu Basyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad ad-Daulabiy (224-310 H); dan dalam kitab berjudul “al-Fawāid” yang ditulis oleh Abu Syekh al-Ashfahani (887-979 M). Menurut al-Murtadla az-Zubaidi (1145-1205 M) ketika mengomentari hadis ini dalam salah satu karyanya “al-Takhrīj fi Ahādīts al-Ihyā” menyebutkan bahwa hadis ini setelah dilakukan penelitian isnād, statusnya adalah dha’īf.
Namun demikian, terdapat riwayat sahih yang berasal dari riwayat an-Nasai yang menukil hadis yang maknanya sama seperti diatas dengan redaksi yang berbeda:
أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ :فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
“Bahwa Jahimah datang menemui Nabi saw dan berkata, “wahai Rasulullah, saya ingin sekali berangkat untuk berjihad, maka saya datang kepadamu untuk meminta nasehat. Berkata Rasulullah saw, “apakah engkau masih punya ibu?” Jahimah menjawab, “iya”. Maka, tinggalah bersama ibumu, karena surga ada dibawah kedua kakinya” (al-Nasai/Bab Jihad/Hadis 3104).
Untuk dapat memahami secara menyeluruh tentang kedudukan maupun hadis ini, saya akan merujuk kepada salah satu kitab syarh Sunan an-Nasai, yaitu “Dzakhīrah al-‘Uqbā fi Syarhi al-Mujtabā” yang ditulis oleh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Atsyubi al-Walawiy. Ketika menjelaskan hadis ini, al-Atsyubi terlebih dahulu melakukan kritik sanad melalui kajian transmisi intelektual antara pemberi-penerima terhadap 6 jalur (thabaqat), di antaranya:
[1] Abdul Wahab bin Abd al-Hakim al-Warraq yang dinilainya “tsiqat” sebagaimana penilaian oleh Abu Daud dan Tirmidzi. [2] Hajjaj bin Muhammad al-A’war al-Mashishi sebagai “tsiqatun tsābitun” bahkan Ibn Juraij memberikan penilaian terhadap Hajjaj sebagai “orang yang paling konsisten menjaga ke-tsiqatan-nya”. [3] Muhammad bin Thalhah bin Abdillah bin Abdi al-Rahman memiliki kedudukan “suddhuq” (terpercaya). [4] Thalhah bin Abdillah bin ‘Abdirrahman berkedudukan “maqbūl” (diterima). [5] Mu’awiyah bin Jahimah adalah salah seorang sahabat Nabi yang tentu saja kedudukannya dalam meriwayatkan hadis sebagaimana penilaian ulama hadis secara umum adalah “’adūl” (adil/jujur). [6] Jahimah bin al-‘Abbas, kedudukannya sama dengan sahabat Nabi lainnya dimana seluruh sahabat statusnya “kulluhum ‘adūlun”.
Terdapat nama Ibnu Juraij dalam mata rantai isnad ini ketika hadis ini diungkapkan oleh an-Nasai melalui jalur Sufyan bin Habib, bahwa penilaian atas Ibnu Juraij ada yang memberikan penilaian baik (jawwad) dan juga ada ulama hadis yang masih meragukan kebaikannya sebagaimana penilaian al-Amawiy. Hadis ini jelas memiliki jalur periwayatan yang beragam, sekalipun secara keseluruhan berasal dari jalur Mu’awiyah bin Jahimah. Tidak hanya dalam Sunan an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Baihaqi juga meriwayatkan hadis dari jalur Hajjaj yang bersambung sampai Mu’awiyah bin Jahimah.
Sedangkan al-Thabrani meriwayatkannya dari jalur Sulaiman bin Harb dari Muhammad bin Thalhah bin Musharrif dari Mu’awiyah bin Dirham dengan redaksi sedikit berbeda, menggunakan “ji’tuka asytasyīruka fi al-ghazw” (saya mendatangi Nabi dan meminta pendapatnya soal berperang) yang tentu saja nama Mu’awiyah bin Jahimah berubah menjadi “bin Dirham” dalam redaksi hadis yang dikeluarkan oleh al-Thabrani. Namun demikian, hampir dipastikan sekalipun hadis ini memiliki redaksi yang berbeda-beda, keseluruhan maknanya tetap sama dimana Nabi memberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berperang karena masih ada ibu yang dapat menggantikan kedudukan jihad dengan berbakti kepadanya.
Hadis ini juga berkaitan dengan konteks peperangan, di mana para ulama juga berbeda pendapat tentang asbāb al-wurūd hadis ini. Ada yang mengatakan dalam konteks perang Hunain sebagaimana disebut oleh Ibnu Majah. Dan ada yang menyatakan perang Khandaq sebagaimana diungkap Ibnu Sa’ad dalam kitabnya “Thabaqat”. Mengingat bahwa secara historis hadis ini terkait peperangan (jihad), seolah-olah bahwa Nabi menekankan betapa pentingnya kedudukan seorang ibu dalam batin setiap manusia, bahkan kewajiban jihad ternyata mampu dikalahkan oleh kemuliaan kedudukan seorang ibu, di mata Allah dan rasul-Nya.
Jika semangat berperang di jalan Allah (jihad) memiliki nilai kebaikan yang dapat menyebabkan siapa yang melaksanakannya memperoleh penghargaan tertinggi dari Tuhan, berupa surga, maka berbakti dan taat kepada ibu nilai kebaikannya setara—atau jauh lebih tinggi—dari jihad itu sendiri.
Secara redaksional bahwa hadis yang menyebut “al-jannatu tahta aqdami al-ummahat” tentu saja tidak dikategorikan hadis maudlu’—sebagaimana juga ada yang menilai demikian—kecuali ada yang menilainya dha’if karena ada salah satu perawi yang terindikasi “munkar al-hadits,” yaitu Musa al-Muqaddisi. Padahal, hadis dengan redaksi dimaksud tersebar dalam beberapa kitab yang membicarakan tentang tema “al-targhib wa al-tarhib” (motivasi dan resiko), di mana dorongan penghormatan dan ketaatan kepada kedua orangtua—terutama ibu—untuk memotivasi segala perbuatan baik, sekaligus juga mengandung suatu resiko atau ancaman jika seseorang justru menentang atau melawan perintah ibunya.
Terlebih, bahwa dalam redaksi lain tetapi dengan makna yang sama, jelas menyebutkan bahwa surga terletak di kaki seorang ibu sebagai bentuk alegoris bahwa ibu merupakan sosok yang tak pernah habis kebaikannya dan seseorang tentu tidak akan mampu membalas kebaikan ibunya sendiri. Surga, tentu saja adalah personifikasi dari segala kebaikan dan kenikmatan yang diserupakan dengan kebaikan dan kasih sayang ibu atau orang tua kepada anak-anaknya. Berjihad? Berbaktilah kepada kedua orang tuamu!