Konsep berhala, pada dasarnya, diawali dari perkara sederhana.
Datang dari satu orang dengan kebaikan serta keteladanan, lalu jadi dongeng dan cerita. Kadang tidak hanya cerita-cerita kebaikan, tapi juga kisah-kisah luar biasa—yang kadang memang pernah terjadi; atau hanya karangan si pencerita yang menambah-nambahinya.
Setidaknya, begitulah kisah berhala manusia pertama muncul. Seseorang bernama Wadd. Yang hidup era pasca-bahtera Nabi Nuh.
Seseorang yang baik, saleh, dan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Kebaikan yang begitu melumerkan hati manusia-manusia di sekitarnya. Hidup terasa indah bagi para penggemarnya. Barangkali, cara manusia mengatasi masalah pada era itu adalah dengan melihat atau mendengar petuah Wadd saja—sudah.
Masalahnya, Wadd ini manusia. Dia bisa mati. Penggemarnya tidak terima. Tak tahan merasakan sakit hati yang mengiris ulu hati terdalam, si penggemar membuatkan patung dan mengawetkan cerita. Penggemar ini bernama Kaum Kalb di Daumatul Jandal. Mereka adalah—sebut saja—”oknum” dari kaum Nabi Nuh.
Yang saya ceritakan tadi bukan dongeng. Wadd termaktub dalam kitab idola orang-orang Arab. Kisah ini juga muncul dalam sebuah hadis riwayat Bukhari. Kadang juga muncul dalam cerita-cerita di pengajaran ngaji anak-anak. Ketika saya kecil, saya mendengar kisah Wadd ini dari bapak saya.
Pada dunia yang lebih modern (dibandingkan era Nuh), berhala muncul dalam bentuk bermacam-macam. Tidak hanya kisah-kisah kesalehan atau kebaikan, tapi juga dalam wujud heroisme. Kepahlawanan yang menginspirasi. Yang bisa mendorong seseorang untuk berani mati demi melindungi kaumnya.
Kisah ini lantas diceritakan dari dongeng demi dongeng ke anak-anak. Barangkali itu yang membuat kita mengenal kisah-kisah seperti Thor Odinson legenda Skandinavia, Hercules legenda Yunani Kuno, atau Sun Go Kong legenda Tiongkok. Orang-orang hebat masa lalu, yang dibikinkan tambahan cerita-cerita magis, sehingga generasi selanjutnya melihat mereka sebagai seseorang yang “melebihi” manusia.
Kisah serupa juga muncul di dunia modern. Di sudut utara Bumi, kisah itu ada dan masih dipakai sampai sekarang. Ada tiga dewa di daerah itu yang masih berproses menjadi sosok yang lamat-lamat mulai dipercaya sebagai sesembahan. Ketiga calon dewa itu adalah: Kim Il-sung, Kim Jong-il, dan Kim Jong-un. Pemimpin-pemimpin agung Korea Utara.
Satu-satunya prototipe kediktatoran negara yang sukses di dunia modern saat ini. Dan resepnya sederhana: buat rakyat Anda percaya Anda adalah manusia sempurna—atau minimal—buat orang lain percaya bahwa Anda adalah manusia dengan keajaiban.
Keajaiban-keajaiban inilah yang kerap kali muncul dari sepak bola. Kejaiban yang definisinya cukup sempit: sesuatu yang tadinya terlihat mustahil, akhirnya terjadi. Atau kejadian sederhana yang sudah menyentuh hati kita begitu dalam, sebelum otak kiri kita mampu mencernanya dengan baik.
Dan di sini, di kisah inilah keajaiban dari salah satu negeri paling selatan di planet Bumi pertama kali dimulai.
Datang dari negara yang hampir hancur karena Junta Militer dari jenderal kejam bernama Jorge Rafael Videla. Menguasai negara dengan sembarangan, bikin rakyatnya miskin meronta-ronta, lalu mendadak jadi tuan rumah Piala Dunia dan melahirkan juara dunia pertama yang diarsiteki oleh sosok bernama Mario Kempes.
Saat itu, Argentina, untuk kali pertama juara dunia. 1978.
Kisah Kempes adalah kisah kepahlawanan. Seseorang yang datang dari “ketiadaan”, memberikan kegembiraan luar biasa bagi orang-orang di sana. Sayang, kala itu kisah magisnya belum monumental. Sebabnya sepele, Kempes memang menaklukkan Belanda di laga puncak, tapi dia tidak mengalahkan “berhala”-nya Belanda; Johan Cruyff, di final.
Bertahun-tahun kemudian, muncul pahlawan Argentina berikutnya, yang membawa Argentina kembali ke puncak dunia. Sosok itu, Anda juga tahu betul namanya: Diego Armando Maradona.
Meksiko, 1986.
Maradona membawa Argentina juara dengan keajaiban-keajaiban yang diterima dengan keimanan oleh “kaum”-nya, alih-alih penjelasan. Anda bisa melihat rekamannya, bagaimana gol paling culas sepanjang Piala Dunia ikut serta menyingkirkan Inggris di perempatfinal. Gol culas yang saking ajaibnya karena disahkan oleh wasit, malah dilekatkan nama tuhan di dalamnya sebagai nama.
Tiga menit kemudian, keajaiban itu datang lagi. Ketika orang-orang masih belum bisa mencerna kejanggalan pada gol pertama Maradona, mereka disuguhkan lagi gol terbaik sepanjang masa di olahraga ini. Maradona melewati hampir setengah dari jumlah pemain Inggris. Gol ajaib yang lantas menjadi momentum bagi Argentina hingga mengalahkan Jerman barat di final.
Tentu saja keajaiban-keajaiban Maradona tidak selesai di sana. Dalam detail yang lebih kecil, Maradona adalah harapan manusia di seluruh planet ini untuk melihat bagaimana sepak bola seharusnya dimainkan. Ya, dimainkan. Tidak hanya memainkan bola, tapi juga “memainkan” lawan-lawan di lapangan.
Keajaiban bertahun-tahun inilah yang lantas mengisiasi lahirnya Curch of Maradona: agama setengah resmi di Rosario, Argentina.
Oke, kita tahu, para penggemarnya memang sudah lama menganggap Maradona “tuhan” karena saking ajaibnya Maradona bermain bola, kita paham itu. Tapi tuhan di sini—yang kita tahu—memakai tanda kutip, bukan “D10S” atau dibaca “dios” (sebutan mereka terhadap Maradona) yang berarti tuhan dalam bahasa Spanyol. Tuhan betulan. Maradona benar-benar disembah, dianggap seseorang yang diikuti dan dipercaya.
Seolah belum selesai dengan keabsurd-annya, Curch of Maradona ini bahkan sudah sukses membuka waralaba di Meksiko. Tidak hanya dianggap “tuhan” oleh orang-orang Argentina, kini kepercayaan itu sudah merambah ke jaringan internasional.
Uniknya, meski beberapa orang meledek “agama” baru ini, beberapa yang lain melihat kepercayaan ini dengan penuh respek. Termasuk orang-orang Argentina yang tidak menjadi jemaat Curch of Maradona, termasuk juga seorang Lionel Messi.
Iya, Lionel Messi. Sosok yang membawa beban begitu berat karena ada sosok “tuhan” yang diwariskan oleh orang-orang Argentina pada dirinya.
Dibandingkan Maradona yang dianggap “tuhan”, Messi justru akrab dengan sematan sebagai dewa yang terluka, atau manusia yang dikutuk. Dia sudah jatuh berkali-kali ketika merambat naik ke puncak dunia. Jatuh begitu dalam, lalu naik lagi. Jatuh lagi, lalu tetap naik lagi.
Sebelum malam tadi, Messi seperti sudah disiapkan menjadi pesepakbola yang terkutuk. Punya kemampuan ajaib, punya dukungan yang luar biasa, dicintai banyak orang, tapi ketika mencapai puncak dan gagal—cerita kegagalannya menjadi begitu akbar. Diulas secara terus-menerus sampai pada taraf yang memuakkan.
Akan tetapi, kisah kegagalan demi kegagalan Lionel Messi inilah yang justru membuat kisahnya mengangkat Piala Dunia 2022 menjadi begitu emosional secara manusia. Ada air mata yang menetes, tatapan kosong ke trofi Piala Dunia 2014, atau kaki-kaki kecil yang terhantam tekel-tekel horor di lapangan (sebelum era VAR tentu saja).
Dan kisah-kisah inilah yang seharusnya membuat Messi tidak layak menjadi berhala. Messi merupakan ramuan dari keterbatasan dan kegagalan, bertemu dengan pengalaman dan kesempatan, lalu menjadi kisah kesuksesan paling manusiawi dalam sejarah sepak bola.
Kesuksesan yang apabila Messi disembah kemudian, disebut sebagai “the next D10S”, atau lantas menginisiasi lahirnya The Curch of Messi di Rosario—tempat lahirnya, maka hal tersebut justru mengerdilkan segala macam pencapaian yang pernah Messi dapat selama ini.
Seolah-olah kesuksesan Messi datang karena sudah digariskan, segala kemampuannya seolah sudah dituliskan, atau kisah happy ending-nya sudah direncanakan sejak dia lahir ke dunia. Hal-hal yang menihilkan segala macam keberanian Messi dalam menghadapi risiko-risiko kegagalan selanjutnya.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut (menjadikan Messi sebagai “tuhan” baru di Argentina) sebenarnya juga termasuk menihilkan perjuangan pemain dan staf di tim Argentina, yang berkorban sampai pada tarikan nafas terakhir…
…bukan untuk membawa negara mereka juara dunia, tapi untuk membawa idola mereka jadi juara.
Karena bukan Messi yang membawa Argentina juara, tapi Argentina-lah yang membawa Messi ke puncak dunia.