Hemat saya, di antara manasik haji yang makna dan pesannya paling relevan dengan kondisi kaum Muslim dewasa ini adalah sa’i. Dalam tulisan ini saya akan banyak mengemukakan pemaknaan sa’i dan penggalian pesannya yang dilakukan Ali Syariati dalam bukunya yang cukup masyhur: Hajj.
Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (QS 2: 158).
Secara leksikal sa’i berarti upaya, usaha, pengerahan tenaga dan perjuangan. Sa’i tak lain dari kegiatan pergi-pulang antara dua bukit harapan berusaha mendapatkan ampunan dan keridhaan. Sa’i adalah sebuah pencarian. Jadi ia adalah sebuah gerakan yang memiliki tujuan dan digambarkan dengan sebuah gerak berlari-lari serta bergegas-gegas. Ketika bersa’i, seseorang sedang meneladani dan menapaktilasi Hajar.
Hajar yang merupakan teladan kepasrahan itu tidak duduk berdiam diri. Ia bangkit berlari-lari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya untuk mencari air. Ia terus mencari, bergerak dan berjuang. Tekadnya adalah bersandar kepada dirinya sendiri, kepada usahanya, kepada kemauannya dan kepada pikirannya. Hajar adalah sosok perempuan yang bertanggung jawab. Karena tanggung jawabnya ia rela hidup sendirian, mengelana dan terus mencari sambil menanggung penderitaan demi sebuah harapan. Yang diharapkannya bukanlah hal-hal yang “aneh” atau sesuatu yang metafisis, melainkan sesuatu yang sederhana tapi nyata; air. Pencarian air ini melambangkan pencarian kehidupan materil di dunia ini. Kebutuhan materil adalah kebutuhan riil manusia; sebuah kebutuhan yang menunjukkan adanya hubungan yang niscaya antara manusia dengan alam.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafâ. Secara harfiah shafâ berarti kesucian dan ketegaran. Ini memberi pesan bahwa hidup harus dicapai dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran. Usaha Hajar berakhir di bukit Marwa. Dari kata marwa, yang secara harfiah berarti air yang menghilangkan rasa haus, tercermin makna-makna ini: ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain. Begitulah, hidup harus diawali dengan sebuah usaha berdasarkan kesucian dan ketegaran demi meraih hasil sesuai yang diharapkan. Setelah yang diharap didapat, jadilah manusia sejati yang pandai menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain.
Jika dalam thawaf orang seperti kupu-kupu yang berputar-putar menghampiri nyala lilin sehingga tubuhnya terbakar dan hangus sedang abunya diterbangkan angin lalu hilang dalam cinta dan mati dalam cahaya; maka dalam sa’i orang bagaikan elang yang melayang-layang di atas bukit dengan mengepak-ngepakkan sayapnya yang kuat untuk mencari makan dan menyambar mangsanya yang ada di antara bebatuan. Angin yang bertiup menerpa sayapnya sehingga ia dapat dengan leluasa terbang di angkasa. Di bawah rentangan sayapnya bumi terlihat begitu hina. Bumi takluk kepada tatapan matanya yang tajam serta awas.
Jika dari thawaf terpancar nilai-nilai ini: penghambaan, spiritualitas, moralitas, kesucian, kebenaran, kesalehan, pengabdian, kepasrahan, keagungan dan kehendak Tuhan, perjuangan demi orang lain, berorientasi pada akhirat dan segalanya demi Allah; maka dari sa’i terpancar nilai-nilai berikut: ilmu pengetahuan, logika, kebutuhan, fakta, objektif, bumi, materil, alam, akal-pikiran, sains, industri, ekonomi, peradaban, kemerdekaan, kemauan dan keberdayaan di dunia.
Jika dalam thawaf yang ada hanya cinta yang mutlak maka dalam sa’i yang ada hanya akal yang mutlak. Jika dalam thawaf semuanya adalah “Dia” maka dalam sa’i semuanya “kamu”. Jika dalam thawaf yang ada hanya kehendak Allah maka dalam sa’i yang ada hanya kehendakmu. Dan jika thawaf melambangkan jiwa maka sa’i menyimbolkan raga. Haji memadukan kedua kelompok nilai ini; kelompok nilai yang ada dalam thawaf dan kelompok nilai yang terbingkai dalam sa’y, sehingga terjadi keseimbangan.
Seperti terbaca, Ali Syariati sedemikian ”menggebu” memaknai dan menggali pesan sa’i. Dugaan kuat saya, Syariati ”geram” melihat kondisi umat ini yang secara belum juga dapat ”meng-sa’i-kan” diri dalam banyak aspek kehidupan, terutama dalam bidang-bidang yang ia sebutkan di atas: ilmu pengetahuan, logika, kebutuhan, fakta, objektif, bumi, materil, alam, akal-pikiran, sains, industri, ekonomi, peradaban, kemerdekaan, kemauan dan keberdayaan di dunia. Padahal, tegas Syariati, sa’i sesungguhnya memancarkan nilai yang terang dalam bidang-bidang tersebut.