Pada malam yang kudus, sebuah peristiwa mengkoyak perut dan mata batin umat manusia. Terdengar rongga-rongga mengaung, mendesak mata untuk melihat keluar, apa yang terjadi dan bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Di malam itu, angin tak mendesir, bunyi cicak tak kedengaran lagi. Tapi air mata lepas membanjiri ruang-ruang ritual.
Ya, tepat 23 tahun lalu, bom meledak serentak di sejumlah gereja di Indonesia saat bersamaan Misa Natal pada malam Natal 24 Desember 2000. Bom meledak di gereja di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram.
Tragedi bom natal itu, mematikan lonceng jam dan piano yang kudus. Natal menjadi saksi dan momen pilu. Puluhan orang mati, ratusan orang luka-luka. Indonesia seperti banjir bandang darah dan kekalutan. Indonesia suram, natal menjadi buram.
Natal dihancurkan oleh sebuah kelompok orang yang berhati kalap. Nurani yang busuk, dan pemintan-permintaan dingin di luar ajaran agama. Jihad dan alasan-alasan agama yang ekstrem menjadi panglima, bahwa dengan meneror lian adalah lorong kebenaran.
Teror Ketakutan
Kita dipaksa untuk takut. Para teroris sengaja ingin menyebar teror. ISIS dan Al-Qaeda yang mencoba mengebom gereja, sekadar untuk menoror orang yang tidak berdaya. Atau sekadar melakukan perintah atasan untuk mengirim signal pada negara-negara tujuan.
Masyarakat, khususnya negara ingin dibuat takut olehnya. Kelompok mereka ingin terlihat digdaya. Tapi dunia ini tak mungkin sirna jika kita melawan. Dunia tak mungkin mati jika kita memupuskan hasrat mereka. Tapi ada masalah yang luar biasa runyam dari bom yang dialokasikan oleh seorang muslim ke umat Kristiani. Apa itu?
Yang saya lihat, serangan bom itu ingin memperburuk hubungan antara Muslim dan Kristen di seluruh wilayah Indonesia. Ini terbukti hingga sekarang. Dalam skala lokal, nasional, dan internasional, kerukunan masih selalu dipertanyakan. Artinya, keragaman menjadi sesuatu yang banyak orang tegangkan dan dipermasalahkan, khususnya dalam tubuh muslim.
Bukti kongkritnya adalah maraknya Islamofobia di banyak negara. Bagi mereka, dengan segala perbuatan brengsek teroris muslim, umat-umat non-Muslim masih merasa takut akan ajaran Islam. Dengan bomnya, dengan swipingnya, dengan grudukannya, dan dengan bahasa-bahasa kasarnya: kafir, masuk negara jahanan, dan lain-lain.
Tujuan lainnya adalah untuk meredam konflik di Ambon. Manurut Syaifullah, peristiwa peledakan bom-bom malam Natal pada tahun 2000 salah satunya didorong oleh konflik Ambon. Bom natal dijadikan sebagai shock therapy agar kisruh di Ambon segera berakhir. Waktu itu sebulan sebelum insiden bom natal 2000, Edy, Dulmatin, Imam Samudera, Muklas, dan Hambali melakukan pertemuan untuk merancang aksi tersebut di Jalan Anggrek Raya No. 4, Malakasari, Klender, Jakarta Timur. Saya kira taktik shock therapy tetap digunakan sampai sekarang.
Sisa Cerita
Namun, natal pada tahun 2022 ini masih meninggalkan sesak cerita. Noordin M. Top sudah mati. Tapi peninggalan terornya masih membekas tiap acara perhelatan natal di Indonesia. Sebab, hanya Noordin M. Top yang bisa membuat bom meladak di mana-mana. Ia yang merangkai dan mengorganisir di setiap peledakan bom pada malam natal itu.
Kita masih mengingatnya, kelompok yang dikomandani Noordin M. Top merupakan kubu teroris sempalan dari Jamaah Islamiyah. Tujuan perjuangan kelompok teroris Noordin M. Top ini adalah untuk menyerang kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia.
Ledakan-ledakan di malam natal itu masih tersisa hingga sekarang. Natal baru berjalan. Semoga damai senantiasa untuk kasih dan sayang bagi umat manusia. Selamat hari natal, Teman.