Islamsantun.org. Akhir-akhir ini cukup ramai perbincangan tentang celana cingkrang, kira-kira sampai setengah betis dan di atas mata kaki. Dalam khazanah Islam, ada jenis celana atau sarung yang disebut dengan isbal, yakni memanjangkan pakaian hingga terseret di tanah. Tidak sedikit orang yang menyuarakan agar kaum muslim memakai pakaian celana cingkrang setengah betis dan jangan sampai melewati mata kaki atau sampai menyetuh tanah atau lantai. Bahkan sekarang, celana cingkrang sudah dikomodifikasi dengan label hukum agama.
Ironisnya, komodifikasi celana cingkrang ini dengan menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengklaim masuk neraka bagi orang-orang yang memakai celana panjang hingga menutupi kedua mata kaki, melewati kedua mata kaki, atau sampai menyentuh lantai. Dengan rigid, mereka mengklaim bahwa orang-orang yang mengenakan celana panjang hingga menutupi kedua mata kaki, maka tidak diterima ibadahnya dan akan masuk neraka. Bahkan ada salah satu komodifikasi agama terhadap celana cingkrang dengan menggunakan slogan to the point: ‘Ada neraka di celanamu.’
Sikap rigiditas dan truth claim sepihak yang mengemuka di ruang-ruang publik ini menjadikan atmosfer komunikasi antara sesama kaum muslim yang plural menjadi terdistorsi, menjadi tidak sehat. Lazimnya, pandangan rigid tersebut berpijak pada sebuah hadis sahih populer berikut ini:
ما أسفل من الكعبين من الازار ففى النار
“Sesuatu yang berada di bawah kedua mata kaki yakni sarung (atau celana), maka tempatnya di dalam neraka”. Hadis ini memang sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Tapi jangan lupa, hadis ini merupakan hadis mutlak yang dibatasi oleh beberapa hadis sahih lainnya (muqayyad). Hadis ini dibatasi, misalnya oleh sebuah hadis sahih yang berstatus muttafaq alaih, yakni yang disepakati oleh Iman Bukhari dan Muslim status kesahihannya. Berikut bunyi hadis tersebut:
لا ينظر الله إلى من جرّثوبه خيلاء “Allah tidak akan memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya (memanjangkan pakaiannya hingga terseret tanah) karena sombong” (HR. Bukhari)
Mari kita lihat poin-poin penting dari hadis tersebut dan akan kita lihat pula hadis muqayyad lainnya. Hadis ini berisi ancaman yang sangat keras bagi orang-orang yang memanjangkan pakaiannya hingga ke bawah mata kaki (musbil), karena didasari oleh sikap sombong, bahwa Allah SWT akan berpaling darinya dan tidak akan memandangnya dengan pandangan rahmat, kasih sayang dan lemah lembut.
Ulama telah sepakat tentang haramnya perbuatan isbal (memanjangkan pakaian sehingga terseret di tanah) jika dilakukan dengan kesombongan, namun mereka berbeda pendapat jika hal itu tidak mereka lakukan atas dasar kesombongan.
Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan isbal itu adalah sesuatu yang diharamkan secara mutlak. Mereka berkata bahwa sesungguhnya dalil-dalil agama menunjukkan akan keharaman hal tersebut yakni siapa yang memanjangkan kainnya hingga menyentuh tanah, maka mereka itulah orang-orang yang diancam Allah dengan azab yang pedih.
Kedua, kelompok ulama lainnya membawa kemutlakan dari dalil-dalil tersebut kepada dalil-dalil yang bersifat muqayyad dan mereka mengatakan bahwa sebab dari ancaman tersebut adalah satu yaitu isbal yang disertai dengan perasaan sombong. Sesungguhnya kaidah ushuliyyah menyebutkan:
حمل المطلق على المقيد
bahwa dalil-dalil yang mutlak hendaklah pengertiannya itu di bawa kepada dalil-dalil yang sifatnya muqayyad.
Allah SWT yang Maha Bijaksana tentulah tidak akan membatasi (mentaqyid) keharaman isbal ini “dengan sifat sombong” kecuali karena adanya sebuah hikmah yang Allah kehendaki dari hal tersebut. Kalau saja bukan karena hikmah tersebut, niscaya Allah SWT tidak akan mentaqyid (membatasi) hukum itu.
Sedangkan, hukum asal dari pakaian itu adalah mubah, diperbolehkan, maka tidak ada satu pun yang haram kecuali apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan. Dan Allah SWT hanyalah menyatakan keharaman isbal itu jika disertai dengan rasa sombong, namun jika tidak ada unsur kesombongan, maka tetaplah ia pada hukum asalnya, yaitu mubah.
Jika kita cermati akan keumuman bentuk pakaian dan cara memakainya, maka tidak akan kita temui satu pun yang diharamkan kecuali pengharaman tersebut mempunyai suatu sebab dan jika tidak demikian, maka apakah maksud dari pengharaman hal itu? Untuk itu, maka siapa yang memanjangkan kainnya di bawah mata kaki (isbal) dengan tidak bemaksud sombong, maka ia tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang di kenai ancaman neraka yang disebutkan dalam hadits tersebut.
Pendapat ini dikuatkan dengan hadits yang tercantum dalam Sahih AI Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya hingga menyentuh tanah, niscaya Allah SWT tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat”.
Maka Abu Bakar r.a berkata, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya sarung yang saya gunakan ini terkadang menjulur melewati mata kaki kecuali jika saya memperhatikannya.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Sesunguhnya engkau tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena sombong.”
Hadis ini merupakan dalil yang sahih lagi jelas dalam masalah ini yang menunjukkan bahwa maksud dari pengharaman tersebut semata-mata hanyalah karena kesombongan dan bukan karena banyak atau sedikitnya kain yang melewati batas mata kaki dan kalau tidak demikian pastilah Rasulullah SAW akan memberikan batasan kadar kain tersebut.
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarah Muslim, “Adapun sabda beliau SAW (orang yang memanjangkan sarungnya), maka makna dari sabda beliau itu, yaitu: seorang yang memanjangkan kainnya dan berjalan dengan ujung kain itu terseret di atas tanah dengan sombong. Batasan inilah yang mengkhususkan keumuman dari pengertian orang-orang yang isbal. Hal ini menunjukkan bahwa yang termasuk dalam ancaman itu adalah orang-orang yang melakukannya karena sombong.
Imam Ash-Sha’ani dalam Subulus Salam pun menegaskan bahwa faktor kesombongan-lah yang menjadi illat murkanya Allah SWT. Dengan adanya pengaitan hukum tersebut dengan sikap sombong, maka dapat dipahami bahwa bagi yang menjulurkan kainnya atau celananya tanpa disertai sikap pongah, angkuh, dan sombong, maka tidak akan mendapat ancaman tersebut, yakni murka Allah SWT dengan tidak memandangnya.
Bila kita lihat secara historis-sosiologis dalam konteks masyarakat Arab kala itu, salah satu indikator yang menunjukkan tingginya status sosial seseorang adalah panjangnya kain atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki dan menyentuh tanah. Sebagian masyarakat Arab saat itu, mempunyai kebiasaan berpakaian seperti itu. Konteks sosiologis ini pula yang perlu kita baca.
Lalu bagaimana jika kita hubungkan dengan konteks masyarakat Indonesia dalam hal berpakaian, khususnya dalam memakai celana? Konteks masyarakat Arab tentu berbeda dengan konteks masyarakat Indonesia; apalagi konteks Arab abad ke-7 dengan konteks Indonesia sekarang ini. Sejak awal, tradisi dan adat kebiasaan masyarakat Indonesia dalam hal berpakaian sangat berbeda dengan masyarakat Arab abad ke-7. Kebanyakan nenek moyang kita dulu, misalnya salah satu model celananya celana panjang cutbrai. Celana panjang model cutbrai ini, modelnya lebih besar di bagian bawah dan panjangnya sampai menutupi mata kaki.
Walaupun sekarang model celana cutbrai ini sudah tidak trend lagi, tapi mayoritas kaum pria masih memakai celana panjang yang rata-rata menutupi kedua mata kakinya. Baik itu anak kecil, anak remaja, dewasa dan orang tua kalau mengenakan celana panjang, mayoritas panjangnya sampai menutupi kedua mata kaki. Model ini sudah menjadi tradisi, sudah menjadi budaya dan kebiasaan mayoritas kaum pria di nusantara. Dan model celana ini, tidak ada kaitannya sama sekali dengan status sosial seseorang. Tidak ada hubungannya dengan kesombongan dan keangkuhan.
Ketika di ruang publik, hampir semua kaum pria dewasa, remaja dan orang tua memakai model celana panjang yang menutupi kedua mata kakinya; baik mereka orang elite atau orang alit; orang kaya atau kaum papa; para konglomerat atau orang-orang melarat, semuanya sama tidak ada perbedaan dalam model celana panjangnya. Orang-orang kaya, kaum elite, dan konglomoerat tidak menunjukkan kesombongan dan kepongahan mereka hanya dengan memakai celana panjang yang menutupi kedua mata kaki mereka, sebab model celana panjang yang mereka kenakan sama dengan celana panjang yang dipakai oleh kaum alit dan melarat.
Jadi sekali lagi, ketika masyarakat kita, para kaum pria-nya memakai celana panjang yang menutup kedua mata kaki, maka hal ini merupakan suatu yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kesombongan dan keangkuhan yang diisyaratkan dalam hadis Nabi Saw. Konteks sosiologis, tradisi, dan adat kebiasaan ini harus kita pertimbangkan pula dalam menghukumi sesuatu. Sebab salah satu kaidah ushul fikih yang cukup populer menitahkan: al-‘adatu muhakkamah, yakni ‘Adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat dapat dijadikan sandaran hukum.’
Wallahu a’lam bish showab…