Islamsantun.org. Pada 20 April 2021, koran Kompas memuat berita perkawinan anak menjadi problem penduduk dan kesejahteraan. Artikel berita tersebut memang mencerminkan persoalan sosial yang kini dihadapi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dan anak. Perkawinan anak mempunyai keterkaitan cukup kuat dengan tingginya penduduk dan rendahnya taraf ekonomi serta derajat pendidikan, yang akhirnya dapat memunculkan beban demografi Indonesia di masa mendatang. Di masa Pandemi ini, tercatat kenaikan kasus perkawinan anak begitu meningkat. Hal ini terjadi akibat banyaknya faktor di masyarakat yang masih menjunjung budaya patriarki.

Anak perempuan yang tinggal di pulau Jawa, sebagian masih mendapat diskriminasi pendidikan, budaya, sosial-politik, dan ekonomi yang membuat sejumlah orangtua memutuskan menikahkan anaknya. Namun, kasus perkawinan anak ini selalu hadir di lingkup perkotaan merambah ke perdesaan. Selain itu, perkawinan anak juga dipengarui oleh faktor perubahan sosial, gaya hidup, dan ekonomi. Bagi sejumlah orangtua yang tinggal di perdesaan, menikahkan anak diyakini sebagai tindakan yang dapat meningkatkan status sosial. Meskipun kebanyakan pada praktiknya, mereka menikahkan anak rata-rata masih di bawah umur. Tindakan seperti ini terlalu berisiko kepada anak perempuan. Dari segi kesehatan, baik dari faktor biologis maupun psikologis, sebenarnya belum memiliki kesiapan mental yang cukup untuk menempuh bahtera keluarga.

Data pada tahun 2020 yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Majelis Hukum dan HAM PWA Jawa Tengah, di Pengadilan Agama sekarisidenan Surakarta menunjukan terjadinya peningkatan pengajuan perkara Dispensasi Nikah (meminta izin menikahkan anak di bawah umur). Di masa Pandemi Covid-19, masyarakat justru banyak yang menikahkan anaknya di bawah umur. Seperti kasus pada tahun 2020, di Pengadilan Agama Klaten terdapat 226 perkara, Pengadilan Agama Sragen 349 perkara, Pengadilan Agama Boyolali  465 kasus, dan Pengadilan Agama Sukoharjo 432 perkara dispensasi nikah. Tingginya perkara dispensasi nikah ini sebenarnya terdapat alasan-alasan untuk diajukan dipersidangan. Namun, kebanyakan pada umumnya pengajuan perkawinan anak tersebut dikarenakan pihak perempuan sudah hamil di luar pernikahan.

Legalitas Hukum

Umur perkawinan sebenarnya sudah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan direvisi dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang batasan umur menikah. Sejak umur perkawinan direvisi menjadi 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, turut menambah perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Namun, menurut saya, sebenarnya revisi terhadap umur perkawinan tersebut sangat relevan ketika kita melihat kasus perceraian selama pandemi ini juga mengalami peningkatan yang tajam. Sebab batasan umur ini sebenarnya berdampak positif terhadap perempuan karena sudah dewasa dan untuk memantapkan mental serta pikiran ketika memutuskan untuk menikah.

Akan tetapi pada praktiknya, akibat kebebasan gaya hidup yang didukung dengan interaksi di media sosial begitu massif, membuat sejumlah anak-anak cenderung bebas bergaul sampai di luar batas kewajaran. Pada akhirnya, anak perempuanlah yang dominan mengajukan perkara dispensasi nikah dan tentunya sangat merugikannya. Sebab mereka sering kali sudah hamil di luar pernikahan. Dampaknya, ketika mereka sudah menikah rentan terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Fenomena sosial inilah yang sering saya ketahui dan mendengar secara langsung dari para korban KDRT ketika bertugas di Pos Bantuan Hukum Pengadilan Agama Sragen.

Jika kita mencermati kembali teori Ny Singgih D. Gunarsa dalam buku Psikologi Untuk Keluarga (1979), tentunya kita dapat memahami bahwa urgensi penting masalah keluarga sebenarnya tidak terletak pada masalah ekonomi. Tetapi keluarga juga harus memiliki interaksi-kolektif atau sikap keterbukaan dan saling ketergantungan antar anggota keluarga yang lain. Peran orangtua memanglah penting di dalam keluarga, terutama dalam mengajarkan pada aspek-aspek etika, budi pekerti, dan saling menyayangi. Namun, aspek-aspek inilah yang kini sulit kita temukan pada tataran keluarga masyarakat urban maupun perdesaan, terutama di masa Pandemi.

Dari permasalahan perkawinan anak ini sebenarnya dapat memicu tindakan kekerasan dan meningkatnya kasus perceraian. Namun, berkaitan dengan itu, ada hal-hal yang sebenarnya kurang maksimalnya usaha-usaha yang dikerjakan pemerintah. Seperti dengan cara sosialisasi tentang pendidikan pra-nikah yang sebetulnya dapat dilaksanakan oleh penyuluh KUA, BKKBN, dan instansi-instansi pemerintah yang lain. Tentu seharusnya juga ada upaya untuk tidak melegalkan perkawinan anak bagi para orangtua yang mengajukan dispensasi kawin tanpa ada madharat, sehingga tidak semuanya perkara dikabulkan di Pengadilan Agama. Langkah-langkah seperti ini semestinya dapat meminimalisir kasus-kasus kekerasan yang rentan terjadi pada perempuan dan anak, jika berbagai kasus dispensasi anak ini diperiksa secara teliti oleh Pengadilan Agama.

Sebab, dari berbagai kasus perkawinan anak ini terus terjadi, secara mental mereka untuk menghadapi problematika sosial-keluarga cenderung belum memiliki kesiapan. Bahkan, fakta di lapangan anak yang ingin menikah di bawah umur rela memutuskan sekolah demi segera membangun keluarga. Di satu sisi, kesiapan baik formil maupun materiil tidak dipikirkan secara matang oleh pasangan muda. Akibat tindakan seperti ini membuat keluarga yang dibangun oleh pasangan muda ini sering mengalami perselisihan dan percekcokan.

Dari pengalaman kasus di atas menunjukan, bahwa banyaknya kasus perkawinan anak di Jawa juga didasari budaya patriarki, kebebasan bermain media sosial, mengikuti gaya hidup, dan pergaulan bebas. Perubahan sosial telah membawa pengaruh yang begitu signifikan terhadap anak-anak muda di Indonesia. Perkawinan anak yang marak terjadi ini sebenarnya membawa ancaman nyata terhadap masa depan perempuan dan anak-anak Indonesia.

Komentar