Islamsantun.org – Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (1974), karya lawas Indonesianis Karel A. Stennbrink ini, paling tidak telah menggambarkan potret perjalanan sejarah pendidikan, baik format, visi, dan misi pendidikan Islam di Indonesia sejak saat itu, bahkan jauh-jauh hari sebelum buku tersebut di tulis.
Narasi Pesantren, Madrasah dan Sekolah dalam ruang lingkup pendidikan Islam di Indonesia terbukti memang selalu menarik dan juga tak ada habisnya, bahkan selalu aktual. Saat ini saja, Pesantren, Madrasah dan Sekolah telah mengalami perkembangan dan pergeseran dengan corak yang sangat beragam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, saya kira, pesantren di Jawa dan Surau di Sumatera dianggap satu-satunya format dan bentuk paling awal sebagai tempat belajar agama Islam di Indonesia. Sejak dulu bahkan hingga kini, pesantren dikenal menjadi sarana belajar agama yang dipahami dengan baik dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sini kemudian pesantren dikenal sebagai lembaga yang mencetak dan melahirkan sosok manusia berpengetahuan agama mempuni, berakhlak mulia, dan penuh kesehajaan sebagai bagian dari ciri lahiriah. Kemandirian dan ketaatan kepada guru atau kiai sebagaimana sering kali diinisiasikan sebagai pengkultusan sebagai ciri fisik pesantren.
Kalau kita mau mengulik, jauh sebelum pesantren dikenal sebagai sebuah lembaga seperti saat ini. Orang-orang yang datang ke pesantren hanya untuk mendapatkan kekuatan batin sekaligus mempersenjatai batin dalam menghadapi kehidupan dimana kala itu lebih banyak bersifat tradisional agraris pedesaan, bernuansa sakral religius, kadang magis, dan bahkan supranaturalis.
Karenanya, tak mengherankan jika kajian yang ada di Pesantren dan di Surau, seringkali lebih banyak diwarnai ilmu-ilmu kebatinan dan mistik tasawuf. Pengajaran ilmu-ilmu kebatinan dan mistik tawasuf ini bertahan cukup lama.
Tradisi jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara juga sedikit banyak ikut mempengaruhi pendidikan agama Islam di Indonesia. Pendidikan pesantren yang awalnya lebih banyak diwarnai aspek tawasuf bergeser ke arah Fiqih, dari Fiqih kemudian bergeser lagi ke arah Dirasat Islamiyah atau studi Islam. Dan, menjadikan kitab kuning sebagai kajian utama, serta di dominasi berhazhab Syafi’i.
Dalam tradisi akademik, di pesantren juga banyak di pengaruhi jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara seperti, Hijaz dan Saudi Arabia Mekkah dan Madinah, terutama Kairo Mesir dapat dikatakan sangat memberi warna yang cukup berbeda. Hal paling tampak dan cukup bertahan hingga kini adalah kalau sebelumnya model kajian agama menggunakan model sorogan menjadi ciri khas pesantren.
Maka di kemudian hari kita mengenal dengan berbagai tradisi penjabaran mata pelajaran agama ke dalam mata pelajaran dengan sistem kurikulum dan ijazah. Format dan bentuk tradisi ini dikenal sebagai Madrasah.
Kalau dalam tradisi Pesantren dan Surau model kajian agama memiliki kecenderungan tradisional, maka dalam tradisi madrasah, lengkapi dirinya dengan pelbagai kajian ilmu, seperti ilmu penalaran (mantiq) melalui debat dan diskusi, perbedaan sudut pandang sudah bisa dimaklumi, serta berorganisasi. Meski demikian, visi dan misi serta tradisi pesantren tetap mewarnai kajian agama di Madrasah. Misalnya, yang terlihat nampak jelas istilah Madrasah Diniyah masih digunakan hingga saat ini.
Dalam sejarah kemunculannya, madrasah telah mengalami perkembangan corak dan perubahan yang terbilang relatif signifikan, ini tak lain dan tak bukan sebagai respon dari perubahan zaman dan pendidikan yang lahir dari rahim pendidikan tradisional pesantren yang dianggap kurang mampu mengatasi kebutuhan masyarakat, terutama dalam konteks sosial budaya, ekonomi sosial yang pada giliran sangat mempengaruhi pada tatan sosial masyarakat saat ini.
Jika pada masa-masa awal para santri yang datang ke pesantren sudah hampir dipastikan tak ada memikirkan tentang masa depan, karena ketika selesai bisa mendirikan pesantren dan menjadi seorang kiai atau bisa bekerja lainnya seperti menjadi petani belum jadi persoalan signifikan.
Kini, menjadi kiai atau menjadi petani sudah menjadi persoalan tersendiri yang dihadapi para santri atau alumni pesantren dan madrasah. Untuk saat ini, misalnya, jumlah pesantren dan madrasah sudah cukup relatif banyak dan tersebar di berbagai pelosok di negeri ini, dengan berbagai pilihan dan fasilitas mulai dari pesantren kecil hingga pesantren besar.
Sementara untuk menjadi petani, diakui atau tidak, banyak alumni pesantren yang masih enggan dan ogah turun ke sawah, di samping lahan yang semakin terbatas. Kondisi seperti ini, menuntut jalan keluar yang sangat cerdas, cermat, antisipatif, dan inovatif dari berbagai pihak tak hanya pemerintah.
Menghadapi realitas ini, nyata-nyatanya banyak masyarakat yang tak puas dengan sistem pendidikan pesantren dan madrasah. Bagi masyarakat yang terdidik dan banyak dana lebih memilih pendidikan alternatif yang lebih bagus. Bagi masyarakat yang kurang terdidik dan kurang mampu, akan memilih pendidikan biasa saja, bahkan relatif rendah, sambil menggerutu frustasi, “daripada jadi anak berandalan di jalan, lebih baik dimasukan ke pesantren atau madrasah”. Belum lagi tantangan lain yang harus dihadapi pesantren saat ini.
Maka juga tak mengherankan kalau sebagian umat Islam dari dulu hingga kini kemudian mengirimkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah umum, dimana format dan tradisi pendidikan yang ada di sekolah sebagai bagian dari perkembangan sekolah warisan Belanda. Dan, sekaligus berbeda dengan sistem pendidikan yang sudah ada, utamanya pesantren dan madarasah.
Pendek kata, dari sini kemudian kita mengenal dikhotomi lembaga pendidikan di Indonesia, pesantren tetap dikenal sebagai sarana pendidikan agama hingga batas-batas tertentu yang masih mempertahankan, corak, watak dan tradisi asli tradisionalnya; mengkaji agama melalui kitab-kitab kuning. Sedangkan madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan agama, sementara sekolah dikenal sebagai lembaga pendidikan umum.
Dalam bahasa keseharian dikhotomi ini dikenal, madrasah terdiri dari Taman Pendidikan al-Quran (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madarasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) yang dikelola Departemen Agama. Sedangkan sekolah terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA)yang berada bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.
Selain itu, dari narasi ini kemudian memunculkan, pesantren dan madrasah mempelajari pelajaran-pelajaran yang miliki orientasi pada kehidupan akhirat, sedangan sekolah umum, mempelajari hal-hal berorientasi pada kehidupan dunia. Di sini kemudian melahirkan narasi dikhotomi ulang antara ilmu agama dan ilmu umum di tengah-tengah masyarakat. Dan, masih dipertahankan hingga kini, bahkan ada rasa bangga yang berlebih dengan dikotomi ini.
Sampai di sini kita kemudian mengengal dilema tiga format pendidikan yang ada di Indonesia: pesantren, madrasah, dan sekolah. Ketiganya tumbuh dan berkembang secara beruntun, tak berarti yang datang dikemudian hari mengganti sistem sebelumnya.
Tiga format pendidikan ini tetap ada dan dikenal secara luas, dimana diantara ketiganya berkembang sesuai masing-masing tuntutan zaman. Usaha untuk mempertemukan ketiga visi institusi pendidikan ini sudah banyak dilakukan kaum sarjana dan para intelektual Indonesia.