Ibadah lazim diketahui banyak orang hanya sebuah hubungan teologis. Namun, apakah demikian? Lalu bagaimana tugas manusia yang terdapat dalam Al-Qur`an yang menyatakan bahwa manusia bertugas sebagai khalifah fil ardh untuk mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin . Bagaimana mungkin manusia melakukan tugasnya jika manusia malah menafikan hubungan antar manusia yang lain. Padahal dalam Islam terdapat trilogi fundamental yang menopang tugas manusia tersebut, yakni Hablu Min Allah, Hablu Min al-Alam, Hablu Min al-Nas. Trilogi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam ibadah yang mengemban tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.

Ihwal puasa yang diidentikkan dengan bulan Ramadhan diyakini oleh umat muslim sebagai sesuatu yang istimewa. Bagaimana tidak, terdapat banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi Shallahu `Alaihi Wa Salam yang menerangkan berbagai keutamaan bulan tersebut. Ibadah puasa pun demikian. Semisal dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah ra yang berbunyi “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan dengan keimanan dan keihklasan, maka diampuni dosanya yang telah berlalu”.

Dalam peribadatan pun, frekuensi umat Islam untuk berlomba-lomba untuk melakukan hal demikian meningkat drastis. Ramainya masjid sewaktu ibadah shalat tarawih adalah salah satu buktinya. Belum lagi dengan deresan al-Qur`an yang menggemakan masjid setelah shalat tarawih selesai. Namun, apakah hanya dengan mendengungnya lantunan al-Qur`an, ramainya halaqah-halaqah kajian keagamaan, penuhnya shaf-shaf dalam shalat tarawih, antusiasnya jamaah dalam khalwah di dalam masjid dapat mendatangkan kebaikan bagi orang-orang di luar sana? Apakah dapat mengisi perut kosong orang-orang jalanan yang setiap harinya untuk makan saja kesusahan?

Tentu hal demikian menjadi refleksi kembali bagi umat Islam. Walaupun banyak teks keagamaan yang menjelaskan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan dan Ibadah puasa jangan sampai hanya memikirkan dirinya sendiri. Akan aneh rasanya, jika ada orang yang berbuka puasa dengan menu yang paling komplit sedangkan tetangganya hanya menghirup bau sedap hidangannya saja. Maka dari itu, perlunya untuk melakukan aktifitas yang berdimensi sosial. Sehingga akan mendapatkan kesalehan penuh baik kesalehan sosial mapun kesalehan invidual.

Kesalehan Sosial seakan menjadi syarat bagi terwujudnya Islam Rahmatan lil `Alamin. Perlunya mengasah kepedulian terhadap sesama manusia dengan empati dan simpati. Memanusiakan manusia adalah sikap paling pokok dalam konsep saleh sosial. Dalam puasa pun, tidak dianjurkan untuk menafikan kesalehan tersebut. Jangan sampai ibadah puasa sekedar untuk menggugurkan kewajiban yang pada akhirnya hanya akan mendapatkan lapar dan haus dari fajar hingga magrib.

Secara sistemik pun, Ibadah puasa ditopang dengan berbagai anjuran-anjuran dalam Islam yang mengharuskan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti sombong, angkuh, tidak adil, dan berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Dengan itu, sifat kehambaan manusia terhadap Allah akan meningkat. Sifat keterbatasan, ketidakmampuan, kekerdilan, kelemahan dan segala sifat kerendahan akan membuat sadar manusia atas keagungan Allah.

Di samping itu, terdapat pula anjuran-anjuran yang bernilai sosiologis dalam ibadah berpuasa. Seperti, bersedekah, berderma, berbagi dan lain sebagainya. Fenomena bagi takjil,sahur on the road, santunan anak yatim adalah sebagian dari aktifitas-aktifitas Islami yang ramai digarap pada bulan puasa.

Rasa kemanusiaan seperti itulah yang perlu dipertahankan dan dilanggengkan. Akan lebih baik lagi jika perlombaan menuju kebaikan seperti hal diatas tidak hanya digarap pada bulan tertentu saja, melainkan turut mewarnai dan meramaikan bulan-bulan lainnya. Syukur-syukur menjadi suatu tradisi dan indentitas umat islam.

Nilai kemanusiaan seharusnya menjadi dasar atas segala hal yang mancakup peribadatan termasuk puasa. Ihwal demikianlah yang juga turut mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin.

Satrio Dwi Haryono, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said.

Komentar