Semenjak wabah corona muncul, kita mengenal istilah populer Work From Home (WFH) alias bekerja dari rumah. Dosen bekerja dari rumah, mahasiswa pun kuliah dari rumah. Dengan memanfaatkan teknologi, kegiatan perkuliahan dapat berjalan semestinya di tengah wabah pandemi. Demikian ikhtiar kampus untuk memutus rantai penularan Covid-19. Maka dari itu, kita memperoleh sebuah pengalaman baru yang berharga, namun memerlukan adaptasi, baik bagi dosen maupun mahasiswa sendiri. Tentu saja, ada sebagian mahasiswa yang tak mempermasalahkan kuliah daring, tetapi tak sedikit juga yang menggerutu (sambat). Kurang efektif, perlu persedian kouta yang berlimpah, jaringan internet yang kurang baik, menjadi kendala kuliah daring.
Akan tetapi, mau tidak mau, kuliah daring telah melahirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan. Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah memberi manfaat bagi pendidikan, terlebih di saat kondisi social and physical distancing (menghindari kegiatan berkerumun) seperti sekarang.
Ada banyak hal positif yang muncul karena pandemi ini, salah satunya ialah maraknya diskusi online. Fenomena ini cukup membahagiakan sekaligus membawa angin segar bagi pendidikan Indonesia mutakhir. Diskusi online yang bertebaran baik via WhatsApp Group (WAG), zoom cloud meeting, google classroom dan sebagainya setidaknya mendorong mahasiswa untuk tetap produktif, menjaga kewarasan, membuka pikiran ditengah kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, dan yang terpenting ialah memelihara semangat berilmu pengetahuan.
Diskusi online pastinya berbeda dengan diskusi offline (seminar). Kalau boleh saya membandingkan, diskusi online dirasa memiliki banyak keunggulan, meski tak sedikit juga kendalanya. Keunggulan yang paling terlihat terletak pada nilai ekonomisnya. Dengan diskusi online, kita tak perlu merogoh kocek terlalu dalam guna membuat forum ilmiah karena tak dibutuhkannya dana untuk menyewa gedung, kursi, dan lain sebagainya. Selain murah, diskusi online tak membutuhkan persiapan panjang yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran.
Oleh karena itu, ini menjadi peluang emas bagi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan juga Organisasi mahasiswa (Ormawa) untuk melestarikan diskusi online kelak di kemudian hari. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa problem mendasar yang menjadi hambatan organisasi ialah pendanaan. Tanpa dana yang cukup, roda organisasi tak akan bisa bergulir dengan semestinya. Alur administrasi dan prosedural yang berbelit-belit di kampus ditambah lambannya pencairan, tak jarang memaksa ketua organisasi beserta anggotanya memutar otak untuk mencari dana guna membiayai kegiatannya.
Jerih payah yang mereka lakukan pun berbeda-beda, ada yang menyisihkan waktunya untuk berjualan makanan dan minuman secara bergiliran, memproduksi kaos kemudian menjualnya, membuat aneka macam souvenir, hingga hal yang ekstrem sekalipun, yakni menggadaikan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Mereka patut diapresiasi atas usaha yang sudah dikerjakan, rela berdarah-darah demi menyelenggarakan kegiatan yang bermaslahat untuk umat (mahasiswa).
Ironisnya, proses pencairan dana kadang tak mudah. Tentu saja hal seperti ini meresahkan aktivis mahasiswa. Kampus dan mahasiswa merupakan kesatuan yang tak bisa dipisah. Tanpa mahasiswa, kampus layaknya bangunan tua tak berguna, tak ada perputaran ekonomi di dalamnya. Sejatinya, mereka tak lebih dari sekadar “pelayan” mahasiswa. Namun, pada kenyataanya terbalik.
Guna menyiasati kondisi demikian, diskusi online dapat menjadi langkah alternatif. UKM dan Ormawa tak perlu memaksakan diri untuk terlihat megah-megahan dalam membuat serangkaian acara. Kegiatan yang memakan dana berlimpah tetapi tak memiliki andil untuk menyemai ilmu pengetahuan, alangkah lebih baiknya dipertimbangkan kembali. Teknologi informasi yang tersedia dapat dimanfaatkan sekaligus menjadi solusi akan keterbatasan yang dimiliki. Bukankah organisasi yang baik adalah organisasi yang bermanfaat dan memiliki finansial yang sehat?