‘Masuk Islam’ itu tidak melulu teologis tetapi juga sosiologis, antropologis bahkan berpotensi menjadi politis dan ekonomis. Kalimat semacam ini mungkin sering ditemui dibanyak tempat “Zakir Naik adalah seorang yang sudah mengislamkan jutaan orang” Biasanya kalimat seperti itu ada dan berkembang di lingkaran yang sangat percaya pada otoritas memunafikkan, mengkafirkan ada ditangan manusia, mengislamkan juga demikian. Kalau melihat orang yang terlalu bersemangat berbicara mengenai seorang debator Muslim, persepsi mengenai Allah SWT yang nama lainnya adalah Yang Memberi Hidayah (al-Hadi), nama itu seperti telah dipensiunkan.
Masuk Islam itu tidak melulu karena debat teologis, ya sosiologis juga, seperti El-Loco, yang kita tahu seorang pemain sepak bola yang saat ini sedang bermain untuk PSIM Yogyakarta di Liga 2 Indonesia. Nama lengkapnya adalah Christian Gerard Alfaro Gonzales yang dulunya penganut Katolik yang taat. El-Loco tidak pernah datang ke acara debat agama manapun. Ia hanya jatuh cinta pada wanita Indonesia bernama Eva, seorang Muslimah yang sedang belajar Salsa di sekolah Vinadelmar di negara Cile. El-Loco menikahi Eva, istrinya tidak memaksanya masuk Islam, atas keputusaanya sendiri setelah membaca buku-buku keislaman lalu ia menjadi seorang Muslim.
Malcolm X lain lagi, seorang Amerika kulit hitam, ayahnya dibunuh oleh kelompok rasis dari kalangan kulit putih. Malcolm X tumbuh berkembang liar, mencuri kemudian masuk penjara, tapi justru dipenjara ia menemukan pencerahan, membaca buku sastera, filsafat, bahasa, dan agama, karena Islam bukan agama yang rasis, ia masuk Islam. Pada tahun 1964 Malcolm melaksanakan haji, dua pekan di Tanah Suci semakin membuka pikirannya, bahwa manusia itu sama dalam pandangan Islam. Adapun Mike Tyson, ia masuk Islam juga ketika dipenjara. Dasar hidayah, datang tidak hanya ke tempat acara debat teologi.
Cassius Marcellus Clay atau Muhammad Ali tumbuh dan berkembangan di lingkungan yang diskriminatif terhadap ras kulit hitam. Karena kulitnya yang gelap ia seringkali mendapatkan perlakuan buruk, mungkin karena alasan itu ia memilih menjadi seorang petinju, niat awalnya tinju akan digunakan untuk membalas dendam atas perlakuan jelek yang diterimanya. Bagi Cassius, Islam menjadi menarik karena tidak rasis. Di masa tuanya ia divonis mengidap penyakit Sindroma Parkinson tapi tetap kuat, Ali seorang Sufi, banyak membaca buku-buku tasawuf, terutama karya Hazrat Inayat Khan.
Jerald F. Dirks seorang kepala Gereja Methodis, sama sekali tidak tertarik pada Islam, ia menganggap Islam banyak kesamaan dengan Kristen, ia sedang melakukan kajian literatur mengenai sejarah kuda Arab, kondisi yang memaksanya berinteraksi dengan kalangan Muslim keturunan Arab untuk membantunya dalam proses penerjemahan. Akhirnya ia bertemu dengan Jamal, sosok yang selalu meminta izin untuk mengagunakan air dirumah keluarga Jerald untuk digunakan berwudhu, juga lembaran-lembaran koran bekas sebagai sajadah, momentum itu yang membuat Jerald tertarik pada Islam.
Preacher Moss seorang komedian kulit hitam pendiri kelompok “Allah Made Me funny”, keislamannya sama dengan cerita-cerita para mualaf yang lain yaitu menemukan persamaan manusia dalam Islam. Statusnya sebagai seorang Muslim tidak membuatnya tegang dan jarang ketawa. Kehidupanya sebagai seorang Muslim justru menjadi inspirasi humor-humornya. Di Philadelphia seorang Muslim garis keras mengkritik ketika Preacher sedang di atas panggung, Muslim garis keras itu mengatakan bahwa, komedi itu haram dalam Islam karena bid’ah. Si pengkritik itu lalu pergi dengan mobilnya, Preacher membalasnya dengan sangat kocak, komedi bid’ah tapi baru saja ia kabur dengan cara bid’ah.
Abu Bakar Ruben hidup dalam keluarga yang atheis, orang tuanya menganjurkan untuk menganut Kristen kalau ia sudah besar, keputusannya masuk Islam setelah mencoba mengkaji Alquran yang menjelaskan proses penciptaan dan kelahiran manusia, sejak berupa sel telur, menjadi darah, ditumbuhi tulang, ditiupi ruh hingga jadi janin lalu lahir kedunia ini. Ia kagum pada Alquran dan memutuskan masuk Islam.
Charles Le Gai Eaton seorang penulis yang romantis dan puitis, lahir di Swiss tahun 1921. Ia besar ditangan seorang pengasuh yang punya cita-cita menjadi seorang misionaris di kota Makkah dan Madinah. Ia harus menyelamatkan jiwa-jiwa tersesat yang disebutnya sebagai Kafir Muslim. Charles tertarik pada ajaran Taoisme dan Budhisme Zen, pada suatu hari seorang penggemarnya mengirim surat kepadanya yang intinya menyuruh Charles belajar Sufi Islam, Lamaran pekerjaanya di Universitas Kairo diterima, ia menjadi asisten dosen sastera Inggris lalu tinggal di kota Kairo, mempelajari Islam dan memutuskan memeluk agama Islam.
Sedangkan Malekh Yacov lahir di New York seorang Yahudi Hasidic, Yahudi ultraortodok, ia memulai keislamannya dengan kebingungan mengenai Yahudi sendiri, Yahudi itu bangsa, agama ataukah budaya?
Cat Steven hidup dalam keluarga yang berpandangan materialis, pada suatu hari ia menderita sakit, ia merenung lalu berkesimpulan, dirinya hanya sepotong daging. Setelah sembuh ia mempelajari Alquran yang isinya menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh. Cat Steven memiliki pertanyaan-pertanyaan. Siapa dirinya? darimana datangnya? dan mau kemana perginya? Alquran menjawab semua pertanyaan-pertanyaa Cat Steven, ia kemudian memilih masuk Islam.
Jefrrey Lang seorang matematikawan, besar ditengah-tengah keluarga katolik, dan setelah dewasa menjadi seorang atheis. Ia tidak mau beragama tanpa menggunakan logika, mempelajari Alquran yang membuatnya tertarik pada Islam, ia merasa penulis Alquran bisa membaca pikiran, karena semua pertanyaannya selalu menemukan jawaban di Alquran.
Lalu kapan ‘masuk Islam’ itu berpotensi politis dan ekonomis? ketika kegiatan politik dan ekonomi mengarah pada segmentasi berbasis Muslim dan Islam. Para politisi dan pengusaha yang atheis tidak menemukan akses pada kekuasaan dan bisnis kecuali masuk Islam.
Cerita mengenai keimanan dan keislaman berpotensi mengandung kebohongan sehingga perlu digagas semacam “filsafat mualaf”. Ceritanya, Neil Armstrong adalah orang pertama yang mendarat di Bulan menggunakan pesawat luar angkasa, tigapuluh tahun setelah dia kembali ke Bumi, Neil berlibur ke kota Kairo. Ia menginap di sebuah hotel dipinggir Sungai Nil di tengah kota. Ia berbaring di atas ranjang melepas lelahnya perjalanan Amerika-Mesir. Tiba-tiba ia mendengar suara adzan meraung-raung diluar sana tanda masuknya waktu salat, Neil bingung, seperti mengalami sebuah dejavu, suara itu kembali terdengar ketika Neil bersiap menyantap sarapan yang disediakan oleh pihak hotel.
Neil lantas bertanya kepada pelayan tentang suara itu. Si Pelayan kemudian memberikan jawaban, bahwa suara itu adalah panggilan salat, azan namanya. Neil kembali ke kamarnya, ia ingat betul bahwa suara itu adalah suara yang didengarnya tiga puluh tahun lalu di atas Bulan sana.
Liburan selesai, Neil kembali ke Amerika, setibanya disana ia memutuskan menjadi seorang Muslim, tidak lama kemudian datanglah surat pemecatan dari NASA tempatnya bekerja. Neil membuat pernyataan dalam sebuah majalah “memang aku kehilangan pekerjaan tetapi aku menemukan Allah”. Bagaimana kalau tempat syuting pendaratan di bulan itu ternyata di Gurun Nevada? hanya karena Amerika khawatir didahului Rusia yang pada tahun 1961 sudah mengorbitkan Yuri Alekseyevich Gagarin keluar angkasa? Sebab itu diperlukan filsafat mualaf yang sistematis lagi kritis, gunanya untuk menanggapi cerita-cerita masuk Islam yang berseliweran terutama di media sosial, di Indonesia.
Jacky Chan telah dituduh masuk Islam hanya karena ia memakai jubah dan Sorban di Dubai dalam rangka syuting film. Manny Pacquiao juga bernasib sama, dituduh masuk Islam, hanya karena pergi ke Dubai, mengenakan jubah, yang kalau di Indonesia berarti pakaian hijrah.