Masyarakat Indonesia kembali dikagetkan dengan adanya serangan aksi teror berupa bom bunuh diri yang menyasar Gereja Katedral di Makassar. Pelaku diketahui berjumlah dua orang yang merupakan pasangan suami-istri dengan mengendarai sepeda motor dan dipastikan meninggal dunia dengan jasad yang hancur. Sementara korban luka-luka berjumlah 14 orang (Sumber: Kompas.TV). Tragedi yang kesekian kalinya tercatat dalam sejarah tragedi berdarah atas nama slogan agama di tanah air (baca: Indonesia), seakan menjadi sayatan luka dalam hati bagi manusia beriman dan berperikemanusiaan. Lebih ironisnya lagi, kedua pelaku adalah pasangan yang baru melaksanakan pernikahan selama 6 bulan.
Menjadi suatu renungan bagi kita bersama, betapa rumah ibadah berupa masjid, gereja, kuil, klenteng dan lainnya saat ini bukan lagi menjadi lokasi yang sakral dan aman bagi pemeluk agama. Dibuktikan dengan rentetan kasus perusakan hingga pengeboman yang menyasar bangunan dan jamaahnya. Hingga mengakibatkan penumpahan darah dan hilangnya nyawa manusia oleh para peng-klaim kebenaran mutlak dan sejati, serta gagap dalam menghargai dan menghormati kesucian darah yang dimiliki oleh orang lain.
Model pelaku aksi teror bom di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia berasal dari gerombolan-gerombolan yang memiliki hobi instanisme dan formalisme dalam memahami dan mempraktekkan ritus keagamaannya. Model gerombolan ini memiliki ciri gila spiritual yang keluar dari jalur-Nya yang lurus, terpental dari memanusiakan manusia dan minim suri tauladan dari para tokoh kharismatik (baca: kyai kampung) yang menjadi pewaris ajaran Nabi dan Rasul dan alergi dengan kearifan-kearifan lokal di masyarakat.
Model beragama Salafi-Wahabi, FPI, HTI, JI-JAD dan kroni-korninya keseluruhannya bermuara kepada model yang demikian. Agama apapun, manakala dibawa untuk tampil di panggung tatanan konstruksi formal, verbal, nominal dan simbolik, akan berujung kepada erosi sejarahnya, disebabkan oleh perebutan monopoli simbol agama yang tidak pernah muncul sebagai the power of history. Justru sebaliknya, malah menjadikan hampa, tak bermakna, dan diombang-ambingkan oleh nafsu jahat, tanpa nilai dan moral.
Dalam bahasa KH. Luqman Hakim, Ph.D., yang merupakan Direktur Sufi Center, Jakarta dijuluki sebagai gerombolan-gerombolan yang dimabuk oleh arogansi dalam memahami agama ini mempunyai sikap yang ngedenan dalam menyikapi suatu permasalahan yang berbeda di tengah-tengah permukaan masyarakat majemuk dan wegah (baca: tidak mau) menggunakan akal sehatnya untuk menelisik dan menyelam jauh lebih dalam.
Gerombolan yang lebih senang membangun kerajaan dan planetnya sendiri dalam kehidupan di alam semesta. Gerombolan model beragama yang Kebelet dan Ngedenan ini juga memiliki ciri berpendirian yang kaku dan menghasilkan legitimasi bahwa yang dilakukannya adalah benar dan yang berbeda adalah salah. Sok Suci yang lainnya Najis, sombong dan takabur menjadi pakainnya, sebagaimana pakaian yang dikenakan oleh iblis, yang emoh sujud menghormati Adam.
Sehingga, kaum Kebelet dan Ngedenan ini pada akhirnya mengaku telah mampu membuat stempel atau cap kepada orang lain, dengan berujar kami benar, kalian salah, kami beriman, kalian kafir dan sesat, kami surga dan kalian jahanam. Kekuasaan dan Hak Preogratif Tuhan telah diambilnya, padahal lisensi itu semua adalah masuk area privasi Tuhan, bukan makhluk-Nya. Lalu, didapatkan tiga fakta dari gerombolan kaum Ngedenan ini, yaitu mereka merasa-rasa dan mengaku-ngaku telah mempunyai nomor barcode untuk booking surga dan sekaligus membeli isinya; serta Tuhan bukan lagi menjadi pemilik yang sah surga dan neraka, melainkan manusia sendirilah yang menjadi penguasanya.
Kesombongan adalah Pakaian Tuhan, Dia yang berhak dan layak mengenakannya, pintu surga tertutup rapat bagi manusia yang sombong dan menyombongkan diri, begitu pesan Tuhan.
Soekarno pernah mengatakan, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Orang Islam menyembah Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw., yang orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, orang Budha dan Hindu menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Seyogyanya pula, Negeri Nusantara adalah yang setiap penduduknya dapat menyembah dan mengagungkan Tuhannya dengan cara yang tuma’ninah (baca: tenang) dan leluasa. Tanpa diiringi dengan adanya egoisme agama, berupa penyerangan, perusakan, intimidasi, intoleransi hingga melakukan pembunuhan dengan keji.
Sebagai manusia yang beriman dan mengakui adanya Tuhan, membangun dan mengokohkan kembali suatu bentuk kesadaran yang hakiki, berasal dari hati dan nurani paling dalam masing-masing diri sendiri. Kelembutan dalam mewujudkan praktek keagamaan merupakan bagian paling penting, sekaligus menjadi ruh beragama yang sesungguhnya. Kita semua tentu sudah lelah dengan deretan peristiwa mengerikan yang terjadi di depan mata ini.
Drs. Moh. Hatta berpesan, di bawah nilai-nilai sakral Ketuhanan yang menaungi cita-cita negara kita, semua manusia jagad raya dan Nusantara dipandang sama, setara dan bersaudara, yang mengandung keharusan untuk melaksanakan harmoni, melalui cara memupuk persahabatan dan persaudaraan antar manusia dan bangsa.
Mari kita juga mengambil hikmah dan berkah dari sosok KH. Wahid Hasyim yang berjiwa besar, putra dari pendiri Jam’iyah Nadhlatul ‘Ulama (NU) KH. M. Hasyim Asya’ari, dalam sejarahnya telah berhasil menengahi aspirasi politik kelompok “nasionalis Islam” dan “nasionalis sekuler” dalam perebutan penggunaan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dicoret dari Konstitusi demi lahirnya Indonesia.
Sebagai umat dengan pemeluk agama terbesar, tentu kita sebagai umat Islam mempunyai tanggungjawab paling besar juga untuk merawat dan menjaga negara agar tetap menjadi rumah bersama. Kalau negara ini rusak, tentu umat Islam yang paling mempunyai tanggungjawab untuk memperbaikinya.
Wallahu a’lam bishawab…