Indonesia sedang menghadapi cobaan hubungan antar warganya. Di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang berusia 74 tahun, kita justru mendapat kabar mengejutkan tentang adanya dugaan aksi persekusi dan rasisme terhadap warga Papua. Hal ini tentu bukan hadiah kemerdekaan yang indah bagi segenap anak bangsa.
Di era informasi yang sangat cepat, tindakan atau respons masyarakat terhadap suatu peristiwa juga begitu cepat. Apa yang terjadi di suatu tempat, bisa dengan cepat ditanggapi oleh masyarakat di tempat lain. Dinamika yang demikian membuat orang mudah tersulut oleh perbuatan yang belum jelas asal muasalnya. Dalam kondisi yang demikian, kita perlu menyaring informasi dan memutuskan berbuat sesuatu setelah mencermati apa yang sebetulnya terjadi.
Jika kita tidak cermat, maka kita akan mudah tersulut amarahnya. Kasus persekusi maupun rasisme bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Yang paling berbahaya adalah ketika aksi tersebut dilakukan secara kolektif. Mengapa demikian? Karena sikap untuk marah itu sangat mudah apalagi ketika dilakukan secara berjamaah. Sikap marah ini juga mudah tersulut ketika ada hasutan yang dibumbui dengan aroma kebencian.
Dalam situasi tersebut, kata kunci yang perlu diwaspadai adalah hasutan dan kebencian. Jika kedua sifat ini bercampur jadi satu, maka orang mudah untuk melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan dampaknya. Secara langsung atau tidak, kedua sifat ini adalah termasuk diantara tantangan terbesar dalam mengaruutamakan Islam yang santun dan penuh kasih sayang.
Dalam ajaran Islam, sejatinya kita dianjurkan untuk memberikan maaf. Bahkan, dalam Al Quran Surat Ali Imron (134) disebutkan bahwa menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah bagian dari ciri-ciri orang bertakwa. Dengan kata lain, agama jelas menganjurkan dan mengajarkan umatnya untuk memiliki kemampuan menahan amarah terutama dalam kondisi dimana seseorang tersebut berpotensi melakukannya.
Hal yang demikian merupakan sikap yang sangat sulit terutama bagi orang yang merasa mayoritas. Dimanapun, orang yang merasa dirinya mayoritas selalu merasa paling benar dan bebas melakukan apa saja. Orang yang melakukan persekusi dan aksi rasisme biasanya merasa dirinya mayoritas sehingga merasa bebas melakukan apa yang diinginkan. Lihat saja tindakan rasisme di dunia sepak bola, misalnya. Pesepakbola berkulit hitam seringkali menjadi sasaran rasisme terutama di tengah penonton yang mayoritas berkulit putih.
Lebih dari itu, kita harus mengakui bahwa meminta maaf itu perbuatan yang tidak ringan. Mengapa? Karena orang yang meminta maaf akan menunjukkan kalau dirinya bersalah. Sudah menjadi watak manusia, tidak mudah menemukan orang yang mau mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf. Tetapi, orang yang memberi maaf itu jauh lebih berat dan menunjukkan bahwa dirinya sebetulnya orang yang hebat. Jika dibuat rumus, maka minta maaf itu berat, tetapi memberi maaf itu ciri orang hebat.
Penulis teringat dengan salah satu kutipan dalam buku 99 Mutiara Pesantren. Sebagaimana dirujuk dari Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bik dalam kitab Muhktarul Ahadis al-Nabawiyyah wa al-Hikam al-Muhammadiyyah, disebutkan bahwa Musa bin Imron bertanya kepada Tuhan, “Tuhanku, siapakah hambaMu yang paling mulia di sisiMu?” Allah menjawab, “Orang yang mampu untuk membalas (kesalahan orang lain) tetapi ia memilih memaafkan!”
Jika mengutip apa yang pernah disampaikan Gus Dur, maka kita maafkan kesalahannya, tetapi kita menolak lupa atas perbuatannya. Artinya, memberikan maaf itu bagian dari aksi anti kekerasan dan pro humanisme tetapi jangan pernah melupakan peristiwa yang membuat seseorang tersebut meminta maaf.