Islamsantun.org. Umat Islam sedang memasuki musim ibadah, yakni rangkaian salat Idul Adha, malam takbiran dan penyembelihan hewan kurban. Tentu masalahnya bukan perayaan itu tetapi bagaimana perayaan keagamaan di musin pandemic dapat berjalan tanpa meninggalkan jejak-jejak yang justru memperparah laju pandemi. Persoalannya adalah bagaimana rangkaian ibadah Idul Adha tersebut tidak memunculkan kerumunan yang justru menciderai PPKM Darurat untuk Jawa dan Bali yang dicanangkan pemerintah mulai 3-20 Juli 2021.

Surat Edaran Menteri Agama Nomor 17 tahun 2021 sudah secara tegas meniadakan takbiran dan salat Idul Adha di masjid, mushalla maupun lapangan, khusunya masyarakat yang berada di wilayah PPKM Darurat, baik zona 3 maupun 4. Surat Edaran ini tentu dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan, bukan larangan ibadah.

Masyarakat perlu menyadari bahwa ritual Idul Adha tahun 1442 H. ini masih berada dalam musim pandemi covid-19, terlebih-lebih laju perkembangannya sedang memuncak hingga diberlakukan PPKM Darurat. Segala bentuk kumpul-kumpul (Jawa: kemruyuk) seharusnya dihindarkan, baik kumpul-kumpul dalam rangka ibadah maupun acara sosial, lebih-lebih acara yang sifatnya hiburan.

Akhir-akhir ini banyak masyarakat sudah mulai bosan, dan tidak tahan lagi untuk stay at home, work from home, dan pray for home. Dengan berbagai alasan, baik alasan ekonomi, ataupun alasan keagamaan. Setiap hari grafik kasus selalu bertambah, tetapi masyarakat semakin ceroboh dan gegabah.

Surat Edaran Menteri Agama nomor 17 tahun 2001 jangan sampai dimaknai larangan beribadah. Ini persepsi yang tidak ilmiah. Himbauan tersebut didasarkan pada kaidah fikih “Dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-mashâlih”, atau dengan redaksi lain, ” dar’ul mafâsid aulâ min jalbi al-mashôlih”, yang artinya mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan.

Al-Mafâsid artinya berbagai hal yang merusak atau dapat merusak, berbagai bahaya atau yang dapat menimbulkan bahaya, berbagai hal yang menciptakan petaka, kesulitan, penularan penyakit atau dampak buruk lainnya baik pada diri seseorang, dan atau berdampak pada masyarakat luas.

Berbagai bentuk kumpul-kumpul, terutama yang tidak mengindahkan social distancing maupun physical distancing, adalah nyata-nyata merupakan al-mafsadat yang harus dihindari. Ini lebih penting daripada tetap menjalankan ritual keagamaan dengan kumpul-kumpul, walaupun dengan tujuan yang mulia.

Jadi dalam konteks ini, menghindari penyebarluasan dan penularan virus corona dengan tidak melakukan pesta keagamaan di masjid atau temnpat umum, harus lebih diutamakan ketimbang mencari keutamaan dan manfaat ibadah berjama’ah (dengan kumpul-kumpul)

Beragama memang harus rasional dan tidak boleh mengedepankan nafsu. Bernafsu dalam ibadah merupakan hal yang sulit dicerna akal sehat. Beragama harus rasional dan menggunakan nalar sehat. Jangan sampai euphoria keagamaan menjadi sebuah api nafsu yang membara, yang dapat membakar kesejukan iman dan tauhid sehingga lupa situasi dan kondisi yang sedang melingkupinya.

Mengendalikan “nafsu” dalam ibadah dengan tidak mengadakan acara kumpul-kumpul, dan menggantinya dengan pray for home adalah perilaku beragama yang rasional. Rasionalitasnya terletak bahwa pray from home adalah tindakan yang bermanfaat dalam memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pray from home pun menjadi ibadah yang sangat mulia, yang keutamaannya tidak dapat diukur dengan angka-angka.

Beragama harus mengindahkan ilmu pengetahuan. Pemikiran keagamaan tidak cukup hanya berbasis pada teologi dan metafisika, tetapi juga harus berpijak pada teori empiric-positivistik yang dilahirkan dari riset terhadap hukum alam (sunnatullah).

Musim ibadah di musim pandemi, memerlukan kecakapan psiko-spiritual dan nalar yang lurus. Ini penting agar ibadah yang dilakukan tidak malah menyumbangkan penambahan angka penularan covid-19. Pray from home menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar. Ibadah Ifdul Adha tetap dapat dijaga kualitasnya, dan pada saat yang sama sudah melakukan usaha untuk menghindarai  mafsadat (keburukan).

Ibadah itu perang melawan nafsu, termasuk nafsu dalam beribadah, dan  bukan memujanya, Hanya Allah yang pantas untuk dipuja. Dengan pray from home pada musim ibadah Idul Adha di musim pandemi ini, sesungguhnya umat Islam sudah melakukan penyeimbangan kuasa langit dan fenomena bumi. Dan, komorbid penyerta pandemi paling berbahaya adalah perilaku keagamaan yang tidak mempercayai ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam.

Komentar