Di tengah panasnya suhu politik internasional belakangan ini, ketika AS masih bersikeras untuk menyerang Irak, ketika Israel masih terus menyerang bangsa Palestina, ketika sebagian elemen Amerika masih menciptakan opini bahwa Indonesia termasuk sarang teroris, Majalah Times edisi 30 September 2002 menabur hawa sejuk dengan mengungkap figur spiritual Ibrahim sebagai Bapak umat Yahudi, Kristen dan Islam yang tengah bersitegang.

Mengapa para penganut Yahudi, Kristen, dan Islam masih saling membenci, padahal mereka adalah keturunan dari Bapak spiritual yang sama? Apakah mereka begitu frustasi sehingga kesalingpahaman tidak bisa dicapai lagi? Bahwa perbedaan demikian lebar sehingga tidak mungkin dicapai titik temu? Bahwa dendam demikian menghujam sehingga rekonsiliasi sulit diraih? Bahwa kepentingan keduniaan demikian kuat sehingga ketuhanan dan kemanusiaan bukan lagi milik bersama? Bahwa kitab-kitab suci demikian berbeda bahasa dan isinya sehingga kesamaan tidak mudah ditemukan?

Ibrahim sebenarnya dicintai oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Tapi dicintai secara sendiri-sendiri. Sedikit sekali mereka yang memahami posisi Ibrahim dalam tradisi agama-agama lain. Masing-masing penganut agama masih mengklaim keistimewaan Ibrahim bagi agamanya sendiri, sambil menegasikan posisinya bagi penganut agama-agama lain. Orang Yahudi dan Kristen tidak tahu banyak peran Ibrahim dalam Islam. Begitu pula, sedikit orang Islam mengetahui posisi Ibrahim dalam agama Yahudi dan Kristen.

Ibrahim ditafsirkan dan dicintai secara berbeda dan bahkan bertolak belakang. Bagi Yahudi, adalah Ishak, anak yang diistimewakan dan kemudian (hampir) dikorbankan oleh Ibrahim. Banyak orang Yahudi percaya bahwa hanya bangsa Yahudi yang memiliki hak untuk tinggal di Tanah Suci Palestina, keyakinan yang menggerakkan gerakan migrasi Israel dan kebencian terhadap bangsa Palestina. “Our connection to the land goes back to our first ancestor. Arabs have no right to the land of Israel”, ujar Rabi Haim Druckman dari Partai Agama Nasionalis, Israel.

Di pihak lain, bagi umat Islam, Ibrahim bukan Yahudi, tapi Muslim. Dan putra Ibrahim yang dikorbankan adalah Ismail, bukan Ishak. “The people who supported Abraham believed in one God and only one God, and that was the Muslims. Only the Muslims”, tegas Syaikh Taysir Tamimi, orang dekat Yaser Arafat dalam masalah dialog agama. Bagi umat Kristen, Ibrahim merupakan rahmat bukan melalui hukum Yahudi (Old Testament), tapi melalui New Testament, keyakinan yang mendorong anti-Semitisme. Orang Yahudi bilang orang Islam agresif seperti Ismail. Di pihak lain, Muslim menepisnya, bahwa semua klaim Yahudi yang didasarkan Genesis adalah kebohongan dan bertujuan politis sebagai justifikasi pendudukan Israel di tanah suci Palestina.

Pada tingkat itu, Ibrahim menjadi figur kontroversial, digunakan untuk mendukung satu keberagamaan, dan menegasikan keberagamaan lain. Di sini tampak sejarah Ibrahim mengalami ‘eksklusifikasi’ dan ‘mitologisasi’. Akibatnya, masing-masing memiliki klaim historis dan tekstual yang tampaknya hampir mustahil mengalami titik temu. Kebenaran tentang Ibrahim yang sesungguhnya seolah sulit dibuktikan secara historis dan obyektif yang dapat diterima semua penganut ketiga agama, karena Ibrahim hidup di masa yang amat jauh dari masa kini (mungkin antara 2100 dan 1500 sebelum masehi).

Kendala lain, ada pendapat bahwa Ibrahim bukan sosok universalis, tapi partikularis karena sejarahnya tidak lebih dari sejarah keluarga. Di samping itu, Yahudi, Kristen, dan Muslim mendasarkan klaim-klaim mereka dari teks-teks yang berbeda.

Namun demikian, di tengah perbedaan tafsir semacam itu, tidak adakah secercah harapan rekonsiliasi? Jawabannya ada. Terlepas dari beberapa klaim berbeda di atas, mereka semua mengenal dan mengakui eksistensi sosok Ibrahim. Yahudi, Kristen, dan Islam percaya, Ibrahim membuka Jalan Tuhan untuk melakukan kebaikan dan keadilan.

Presiden Sadat (Mesir) di tahun 1970-an pernah menyebut figur Ibrahim sebagai kakek orang Arab dan orang Yahudi, dengan harapan dapat mendekatkan keduanya. Presiden Muhammad Khatami pernah mengajukan proposal ‘Dialog Antar Peradaban’ dengan Ibrahim sebagai pijakan bersama, yang diamini Sekjen PBB Kofi Annan.
Para teolog Kristen pada Konsili Vatikan II 1962-1965, membaca kembali surat-surat Saint Paul, dan menemukan betapa pentingnya Ibrahim bagi umat Kristen. Pope John Paul II menulis pada bulan Maret 2000, “God of our fathers, you chose Abraham and his descendants to bring your name to the nations…we wish to commit ourselves to genuine brotherhood with the people of Covenant.”

Meskipun dalam simbol dan bahasa yang berbeda, ketiga agama itu juga mengakui pentingnya hubungan antara manusia dan Tuhan. Umat Kristen menyebutnya konversi, umat Islam menamainya tunduk, sementara umat Yahudi menyebutnya t’shuva (menghadap kepada Tuhan).

Karena itu, untuk membuka rekonsiliasi, upaya pertama adalah reinterpretasi teks-teks agama dengan pendekatan substantif ketimbang tekstual-simbolistik. Salah satu hikmah tersembunyi dari tragedi 11 September adalah mulai muncul keinginan dan ketertarikan dari masing-masing pihak yang bersitegang untuk mulai mengetahui tradisi yang lain. Namun, hal itu harus menyentuh inti agama-agama, tidak berhenti pada simbol-simbol.

Di Indonesia, lembaga-lembaga interfaith, yang baru berkembang sekitar tahun 1990-an, mulai melakukan dialog-dialog teologis dan etis, meski masih terbatas pada Islam-Kristen. Kini dalam konteks global, studi tentang agama dan budaya Yahudi juga diperlukan. Kita juga masih membutuhkan inisiatif-inisiatif baru mengenai topik dan metode dialog antaragama. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah harus lebih serius lagi dalam kajian, penerbitan, dan lainnya. Tulisan-tulisan, ceramah-ceramah, dan program-program televisi yang mengutamakan kesejukan antaragama dan peradaban harus mendapat tempat yang lebih banyak dan intensif ketimbang program-program yang mengedepankan eksklusifisme dan kebringasan.

Kita patut menghargai upaya-upaya dialog yang belakangan ini dilakukan baik atas inisiatif organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan NU maupun inisiatif kedutaan dan lembaga-lembaga luar negeri. Upaya-upaya di tingkat elit politik dan agama semacam ini belumlah cukup dan harus ditindaklanjuti dengan program-program yang lebih konkrit dan menyentuh lebih banyak masyarakat. Visi dialog, ketimbang visi konflik, harus lebih mewarnai wacana dan program-program keagamaan masyarakat kita.

Dengan demikian, mudah-mudahan pemerintah dan masyarakat AS misalnya, tidak lagi mengopinikan Indonesia sebagai sarang teroris. Di pihak lain, semoga sebagian Muslim Indonesia tidak terus menerus mencurigai Amerika (seperti anti-Amerikanisme), hanya karena sebagian mereka Yahudi atau Kristen. Di Timur Tengah, semoga Israel mau berkompromi dan meredam fundamentalisme politik mereka. Semoga Islam dan Barat yang telah mengalami stigmatisasi, benar-benar bersedia menengok kembali sejarah masing-masing.

Figur patriarki yang diakui tiga agama besar dunia adalah Ibrahim. Figur Ibrahim tidak hanya bisa menjadi point of departure bagi trialog Yahudi-Kristen-Islam, tapi juga mampu memiliki dampak psikologis dan politis yang kondusif bagi hubungan antar bangsa dan peradaban yang lebih damai dan menyejukkan.

Pernah terbit Kompas, Kamis 3 Oktober 2002

Komentar