Islamsantun.org – Melihat kondisi kebangsaan saat ini bagai berkaca di cermin retak. Keretakannya sangat berkeping, sehingga kita tidak bisa melihat wajah asli di cermin tersebut. Untungnya, serpihan itu belum ada yang lepas dari bingkainya. Semuanya masih tertaut dan berada dalam satu bingkai yang kokoh dan kuat yaitu NKRI yang berdasar  Pancasila dan UUD 45. Namun kita tidak tahu sampai kapan bingkai itu bisa bertahan ketika saat ini banyak anak-anak bangsa yang mulai menggerogoti bahkan ada yang berupaya membongkar bingkai tersebut dan menggantinya dengan yang lain.

Tak hanya membongkar dan menggerogoti bingkai yang melindungi keutuhan cermin, mereka juga merusak dan merobek “lembaraan kertas” perajut yang mempertautkan dan mempersatukan cermin agar tetap utuh. “Lembaran kertas” tersebut adalah tata nilai dan kearifan lokal masyarakat Nusantara yang berada dalam berbagai bentuk tradisi, seperti gotong royong, hidup rukun dan tenggang rasa dalam perbedaan.

Antropologis Kebangsaan

Secara antropologis sosiologis tata nilai dan tradisi tersebut sudah berakar di negeri ini. Misalnya tradisi gotong royong ini sudah termaktub dalam beberapa prasasti, di antaranya, prasasti Talang Tuo 684 dan Prasaasti  Sri Khulunan 824. Prasasti Talang Tuo berisi peraturan pembangunan taman Sriksetra yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Sriwijaya. Dalam taman tersebut terdapat berbagai macam jenis tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat bumi Sriwijaya (Mahmud,2007:24). Dalam pelaksanaan pembangunan taman tersebut, dilibatkan seluruh masyarakat secara gotong royong. Prasasti Kahulunan mencerminkan sikap gotong royong membangun candi Borobudur sebagai wujud kebaktian ajaran agama Buddha (J.G. de Casparis, 1950).

Selain gotong royong nilai-nilai yang memiliki spirit kerukunan dan persaudaraan dalam keberagaman ini juga tercermin dalam berbagai istilah dan tradisi yang ada di kalangan masyarakat Nusantara. Misalnya di Poso kita kenal istilah “sintuwu maroso“, di Merauke ada “izakod bekai izakod kei” di kalangan Batak Parmalim ada upacara “Pameleon Bolon Sipaha Lima”, di kalangan masyarakat Lamaholot, Nusa Tenggara Timur di kenal tradisi “gemohing“, dalam masyarakat Dayak Rindang Banua ada istilah “Alek Tau“, di  Bengkulu dikenal “ngacau gelamai” , tadisi “Pela Gandong” di Ambon dan beberapa daerah atau suku lain di Indonesia memiliki istilah dan tradisi yang memiliki nilai dan spirit membangun persaudaraan.

Fakta-fakta ini menjelaskan bahwa persaudaraan dan kerukunan merupakan laku hidup bangsa Nusantara. Karena nilai-nilai dan tradisi tersebut dijalankan di semua suku bangsa yang beragam ini. Maka dia bisa menjadi tali perajut (common d’nominator) yang menyatukan berbagai serpihan bangsa yang beragam ini menjadi satu kesatuan Indonesia. Tradisi dengan berbagai nilai dan spirit persudaraan dan gotong royong yang hidup di masyarakat inilah yang ditangkap, direfleksikan dan diambil oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa ini, kemudian dirumuskan menjadi Pancasila.

Sayangnya beberapa nilai dan tradisi itu sekarang tidak hanya ditinggalkan tapi juga dihancurkan oleh sebagian anak bangsa. Dari sisi kanan penghancuran dilakukan kaum puritan agama yang menganggap tradisi mengotori kemurnian agama sehingga harus dihancurkan. Atas nama tugas suci membela agama dan menegakkan syariat sekelompok orang tega merusak seluruh tata nilai yang sudah baik dan bisa menimbulkan kebaikan.

Pelarangan upacara sedekah laut di Bantul tahu 2019 yang dilakukan oleh sekelompok orang, atas nama menjaga kemurnian agama. Penyerangan atas upacara midodareni di Solo tahun 2020 yang dilakukan oleh sekelomok orang dengan mengatasnamakan agama. Keluarga pengantin yang melakasanakan upacara adat midodareni mendapat kekerasan fisik dari massa. Gerakan kaum puritan agama terjadi di beberapa daerah dengan skala dan bentuk yang bergam.

Dari sisi kiri, penghacuran tradisi dilakukan oleh kelompok modernis liberal yang menganggap tradisi penghambat kemajuan, tidak efisien, dekaden, membelenggu kebebasan. Dari atas, nilai-nilai dan tradisi digerus oleh kepentingan pragmatis politik para elit. Demi ambisi kekuasaan dan mempertahankan berbagai kepentingan politik mereka mengabaikan dan menghancurkan tata nilai yang menjadi penyangga dan perajut keberagaman.

Merawat Cermin yang Retak

Untuk menjaga dan merawat cermin yang retak agar jangan sampai ambyar dan hacur, maka ada baiknya bangsa ini kembali menggali dan mengeksplorasi nilai-nilai dan tradisi baik untuk dijadikan sebagai sumber (sources) inspirasi dan kreatifitas. Ini bukan berarti jumud dan setback. Sebaliknya, hal ini  justru merupakan sikap kritis dan kreatif, karena dengan cara ini bangsa Indonesia dapat keluar dari jebakan puritanisme dan fundamentalisme agama yang fasis, yang membelenggu akal sehat, sekaligus melawan liberalism modernitas yang liar serta menolak perilaku para elit politik yang oligarki dan rakus.

Cara seperti ini sudah pernah dilakukan oleh para leluhur dan pendiri bangsa. Mereka menjadikan tradisi dan nilai-nilai lokal sebagai sumber inspirasi dan kreatfitas serta referensi hidup dalam menjawab berbagai problem kehidupan. Para pendiri bangsa mengolah dan mengaktualisasikan tradisi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya kemudian merekosntruksi agar sesuai dengan realitas dan tututan zaman.

Mereka mengkaji secara kritis berbagai pemikiran dan tradisi, baik yang ada di Eropa dan Arab (Timur Tengah). Kemudian menggali nilai-nilai dan tradisi yang ada di Nusantara. Selanjutnya, membandingkan keduanya secara kritis untuk menemukan yang terbaik. Inilah yang membuat para pendiri bangsa memiliki ketangguhan dan kemampuan merajut keberagaman kemudian membingkaianya menjadi NKRI.

Di sinilah pentingnya bangsa ini mengenali dan menggali nilai dan tradisi yang dimiliki untuk menjaga dan merawat keutuhan cermin yang sudah retak ini. Jika tidak demikian, bangsa ini hanya menjadi pemulung ide dan pengais sampah peradaban bangsa lain, kemudian dengan lantang berteriak memploklamirkan diri sebagai pejuang demokrasi, pemegang hak paten kebenaran agama dan penguasa yang didukung rakyat.

Mereka meneriakkan slogan mulia membela negara dan agama. Padahal dampak dari kelakuan mereka merobek keutuhan bangsa. Orang-orang seperti ini, meski terlihat mulai dan peduli pada banngsa, tapi hakikatnya mereka sedang menggali kubur untuk bangsa dan negarannya sendiri. Sudah saatnya menghentikan perilaku mereka dengan merawat dan menjaga cermin yang retak melalui aktualisasi tradisi secara kritis dan inovatif.

Komentar