Dalam sebuah wawancara yang bertajuk “Belajar dan Bekerja Keras; Kunci Kemajuan Islam” di Panji Masyarakat Edisi No. 420 Tahun 1984, Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Ph.D, membeberkan banyak hal akan bagaimana keharusan kalangan ummat Islam menggagas serius terkait pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Achmad Baiquni merupakan sosok fisikawan atom pertama Indonesia kelahiran Surakarta, 31 Agustus 1923 yang pada masanya termasuk jajaran ilmu fisika atom internasional yang dihormati.
Achmad Baiquni yang merupakan jebolan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Kota Surakarta itu misalkan menyampaikan sejarah akan dinamika ummat Islam dalam konteks pengempangan ilmu pengetahuan. Terangnya, kurang lebih selama lima ratus tahun, tepatnya pada abad ke-VIII sampai XII, sains dan teknologi merupakan monopoli ummat Islam. Kemudianlah mulai abad ke-XIII, berangsur-angsur melepaskannya, menganggap sebagai unsur asing bahkan dikatakan menjauhi atau bahkan memusuhi. Artinya dalam hal tersebut, ada masa di mana dalam kalangan ummat Islam terjadi sebuah degradasi yang begitu berarti.
Kita perlu menilik kembali akan bagaimana Islam seharusnya memposisikan keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pastinya, Islam juga mendorong akan pengembangan baik ilmu maupun pengetahuan. Misalkan saja apa yang pernah ditulis oleh Gus Dur dalam sebuah esai yang termaktub dalam buku berjudulkan Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1983), bahwa penyatuan ilmu dan pengetahuan akan membentuk watak kehidupan manusia yang memiliki arah benar (menuju kesempurnaan diri di sisi Allah). Sementara teknologi sebagai buah ilmu pengetahuan, sebagai proses manusia dalam dirinya untuk mengetahui batas serta mewujudkan keseimbangan hidup.
Artinya, hemat kata, Islam mengidealkan dalam menghadapi perubahan maupun perkembangan zaman. Sebut saja hari ini peradaban dunia masuk pada abad ke-21, yang mana tak bisa dipungkiri perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin cepat dan dinamis. Muncul periodesasi berupa pergeseran akan memaknai hakikat dari ilmu pengetahuan, ambil contoh wacana revolusi industri keempat yang tak sedikit juga kerap kita dengar dalam ruang-ruang diskursus pengetahuan. Banyak tesis dari ilmuwan terkemuka akan transformasi maupun perubahan yang muncul.
Ketika menguliti lebih mendalam, barangkali tepat kalau perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan wacana keislaman di Indonesia itu tak terlepas dari kampus berbasis Islamic Sudies, seperti Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan lain sebagainya. Pada tahun 1998, salah satu penerbit yang bermarkas di Jogjakarta, Pustaka Pelajar menerbitkan bunga rampai berjudulkan Religiusitas IPTEK. Buku yang berisikan pembahasan terkait mengenai iptek dan perkembangan Islam itu banyak memuat penulis dengan masing-masing tulisan yang membawa perspektif maupun cara pandang.
Salah satu tulisan yang ada berjudul Paradigma dan Religiositas IPTEK. Esai yang ditulis oleh Umar A. Jeni itu membahas akan pergeseran paradigma yang ada dalam dunia sains yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu, pengetahuan maupun teknologi dalam peradaban dunia. Tidak lain adalah konsep Newtonian yang begitu mempengaruhi revolusi yang ada di dalam peradaban.Seperti halnya, tiga revolusi yang sudah berlalu, masing-masing adalah; revolusi pertama yang terjadi di abad ke-17 (ilmiah), revolusi kedua yang terjadi di abad ke-18 (energisasi), kemudian disusul revolusi ketiga yang terjadi di abad ke-18 sampai ke-19 (optimalisasi).
Penulis menggarisbawahi, bahwa setiap kejadian yang ada memberikan kecenderungan akan paradigma yang terbangun, tak memerlukan aspek religiositas. Dengan kata lain, corak kultur masyarakat yang atas konsep industrialisasi yang ada, memunculkan sekularistik dalam kehidupan. Seperti halnya tatkala pada abad ke-19, Charles Darwin mengenalkan konsep teori evolusi makhluk hidup dalam karyanya berjudul The Origin Species. Yang mana, diskursus tersebut tak jarang melahirkan perdebatan antara kalangan saintis yang bekerja tekun di laboratorium dengan ulama yang tekun mendalami agama.
Adakah jalan pintas? Penulis menemukan benang merah yang barangkali menjadi hal yang sejatinya perlu diperhatikan lewat esai tersebut. Ia berupa akan bagaimana relasi antara ulama dan ilmuwan. Tidak lain adalah membuka tabir kesenjangan yang barangkali sejauh ini masih terjadi. Kesenjangan itu berupa saling tak mau mengerti dan mengetahui antara keduanya. Situasi itu berupa pendakuan bahwa yang lain adalah bukan garapannya. Sebab, hal tersebut dapat dikatakan menjadi masalah mendasar dalam hal komunikasi antara satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, maka jalan itu berupa pendekatan. Di satu sisi, seorang ahli agama itu harus mau mengerti akan perkembangan ilmu, pengetahuan maupun teknologi yang ada. Di sisi lain, seorang ilmuwan tak boleh arogan akan pencapaian-pencapaian melalui kerja ilmiah tanpa mempertimbangkan aspek dari sisi keagamaan. Tujuannya apa? Tidak lain adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan martabat manusia itu tak melanggar hal-hal yang menjadi koridor dalam agama.
Sebagaimana apa yang pernah diutarakan oleh Achmad Baiquni melalui karyanya yang berjudul Al Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Dana Bhakti, 1994), bahwa untuk mencapai sebuah penguasaan kembali dalam ilmu pengetahuan, baik ilmu usul maupun ilmu kauniah, syarat mutlak yang harus dilakukan berupa generasi muda diberikan pendidikan ilmu secara utuh dan digembleng sekeras-kerasnya. Mereka layak dihadapkan pada tantangan yang berat dalam memecahkan berbagai masalah dan memiliki etos kerja sebagai habit menjalankan kehidupan.
Tugas generasi muda maupun kaum tepelajar Islam tentunya sangat banyak. Itu semua perlu dihadapi dengan keberanian dan keyakinan. Terlebih dalam hal ini adalah pada pergeseran maupun perubahan zaman yang menunjukkan keberadaan ilmu, pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu penopang penting dalam jalannya sebuah peradaban. Selain itu, upaya revolusioner yang terus juga dilakukan oleh negara-negara maju dalam mengembangkan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Hendaknya kita tidak boleh hanya memperpanjang kuldesak yang barangkali masih saja dihadapi bersama, seperti; politik identitas, perdebatan kusir hingga latah dalam membaca realitas perkembangan zaman. Begitu.[]